MAKALAH
HADITS DHO’IF
Untuk Memenuhi
Tugas Ilmu
Kritik Hadits yang diampu oleh :
Drs.H. Abdul Ghaffar, M.H.I
Disusun
Oleh :
MOH. ABDUS SALAM
18201102010046
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
HUKUM
PERDATA ISLAM
JURUSAN
SYARIAH
2013
KATA
PENGANTAR
Pertama
kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunianya yang
telah diberikan kepada kita. Semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan
kepada junjungan Nabi besar Muhammaad SAW, beserta sahabat dan keluarganya,
serta pengikutnya hingga akhir zaman. Amin.
Kami
penyusun makalah, alhamdulillah telah berhasil menyelesaikan makalah “Ilmu
Kritik Hadits“ tentang “Hadits Dho’if”. Dan makalah ini kami ajukan sebagai
tugas untuk melaksanakan kewajiban sebagai mahasiswa.
Kami
menyadari bahwa penulisan dan penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu adanya masukan, pendapat, maupun kritik dan saran yang
membangun sangat diperlukan. Semoga hasil makalah ini dapat bermanfaat bagi
yang membutuhkan dan mendapat ridho Allah SWT. Amin.
Pamekasan,
07 Mei 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
KATA PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang..................................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah................................................................................. 1
C.
Tujuan................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hadits Dho’if..................................................................... 2
B.
Kedudukan Dalam Islam...................................................................... 4
C.
Pendapat Ulama Tentang hadits Dho’if............................................... 4
D.
Macam-macam Hadits Dho’if.............................................................. 10
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
.......................................................................................... 14
B.
Saran .................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Al-Qur’an sebagai sumber
hukum Islam yang pokok banyak mengandung ayat-ayat yang bersifat global. Oleh
karena itu kehadiran hadits berfungsi sebagi penjelas dari ayat ayat tersebut.
Tanpa kehadiran hadits umat islam tidak akan mampu menangkap dan merealisasikan
hukum-hukum yang terkandung di dalam Al Quran secara mendalam.
Hadits mempunyai fungsi dan kedudukan begitu besar namun hadits tidak
seperti Al-Qur’an yang secara resmi telah di tulis pada zaman Nabi dan
dibukukan pada masa khalifah Abu Bakar As Shidiq. Sedangkan
hadits baru ditulis dan dibukukan pada masa khalifah Umar Ibn Abd Al Azizi
(abad ke-2).[1]
Dengan
seiring perkembangan zaman banyak sekali hadits-hadits yang muncul. Sehingga
kita perlu mempelajari ilmu tentang hadits dan pembagian hadits. Diketahui
bahwa macam-macam hadits yaitu shahih, hasan dan dho’if. Pada makalah ini akan dibahas tentang hadits dhoif.
B.
RUMUSAN MASALAH
Dari pembahasan materi tentang hadits
dhoif ini, ada beberapa rumusan masalah yang harus diselesaikan diantaranya:
1. Apa
itu hadits dho’if?
2. Bagaimana kedudukan hadits dho’if dalam hukum islam ?
3. Bagaimana pendapat ulama mengenai penggunaan hadits
dho’if?
4. Apa
saja macam-macam hadits dho’if?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN HADITS DHO’IF
Secara etimologi, kata dho’if berasal dari bahasa Arab dhuf’un yang berarti lemah,
lawan kata dari al qowiy yang berarti kuat. Dengan makna bahasa ini, maka yang
dimaksud dengan dho’if dari segi bahasa berarti hadits yang lemah atau tidak
kuat.[2]
Secara terminologi, terdapat perbedaan rumusan di antara para ulama dalam
mendefinisikan hadits dho’if ini. Tetapi, pada dasarnya, isi dan maksudnya
adalah sama. Beberapa definisi, di antaranya dapat dilihat di bawah ini.
An-Nawawi mendefinisikannya dengan :
مَا لَمْ يُوْجَدْ فِيْهِ شُرُوطُ الصِّحَّةِ وَ لاَ شُرُوْطُ الْحَسَنِ
Artinya :
“Hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat
hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan.”
Ulama lainnya menyebutkan bahwa hadits dho’if ialah :
كُلُّ حَدِيْثٍ لَمِ تَجْتَمِعْ فِيْهِ صِفَةُ الْقَبُوْلِ
Artinya :
“Hadits yang didalamnya tidak terkumpul sifat-sifat
maqbul.”[3]
Sedangkan yang dimaksud Hadits Maqbul di sini adalah hadits yang diterima,
yaitu sempurna padanya syarat-syarat diterimanya.[4]
Menurut Nur Ad-Din ‘Atr definisi hadits dhoif ialah :
مَا
فَقِدَ شَرْطًا مِنْ شُرُوْطِ اْلحَدِيْثِ اْلمَقْبُوْلِ
Artinya :
“Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari
syarat-syarat hadits maqbul (hadits yang shahih atau hadits yang hasan).”
Pada definisi yang ketiga disebutkan secara tegas bahwa jika satu syarat
saja (dari persyaratan hadits shahih atau
hadits hasan hilang, berarti hadits
itu dinyatakan sebagai hadits dho’if. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai
dua atau tiga syarat, seperti perawinya tidak adil, dan adanya kejanggalan
dalam matan. Hadits seperti ini dapat dinyatakan sebagai hadits dho’if yang
sangat lemah.[5]
Selain itu, Ibnu
Shalah memberikan definisi hadits dho’if
ialah :
ما لم يجمع صفات الصحيح ولاصفات الحسن
“Yang tidak terkumpul
sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan”.
Zinuddin
Al-Traqy menanggapi bahwa definisi tersebut kelebihan kalimat yang seharusnya dihindarkan,
menurut dia cukup :
ما لم يجمع صفات الحسن
“Yang tidak terkumpul
sifat-sifat hadits hasan”
Karena sesuatu yang
tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan sudah barang tentu tidak memenuhi
syarat-syarat hadits shahih.
Drs. Fatkhur Rahman
memberikan definisi hadits dho’if
ialah:
ما فقد شرطا او اكثر من شروط الصحيح اوالحس
“Hadits yang kehilangan satu
syarat atau lebih dari syarat –syarat hadits shahih atau hadits hasan”
Para
ulama memberikan batasan bagi hadits dha’if :
الحديث الضعيف هو الحديث الذي لم يجمع صفات الحديث الصحيح ولا صفات الحديث
“Hadits
dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih dan juga
tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
DR.
Subhi As-Shalih, mengatakan hadits dha’if menempati urutan ketiga dalam
pembagian hadits. Batasannya yang paling tepat adalah hadits yang padanya tidak
terdapat ciri-ciri hadits shahih atau hasan.
Berdasarkan definisi rumusan di atas, dapat kita pahami bahwa hadits yang
kehilangan salah satu syarat dari syarat-syarat hadits shahih atau hasan, maka
hadits tersebut dapat kita kategorikan sebagai hadits dho’if.[6]
B.
KEDUDUKAN DALAM HUKUM ISLAM
Sebagaimana kita ketahui bahwa hadits merupakan dasar hukum islam yang
kedua setelah Al-Qur’an. Hadits dari segi kualitasnya terbagi atas tiga, yaitu Hadits
Shahih, Hadits Hasan, dan Hadits Dho’if.
Berdasarkan dari pendapat DR. Subhi As-Shalih pada sub-materi sebelumnya,
hadits dho’if menempati urutan ketiga dalam pembagian hadits. Oleh karena itu,
bagi ulama yang memperbolehkan untuk menggunakan hadits dho’if, apabila suatu
hal tertentu tidak ditemukan pada hadits shahih dan hadits hasan sementara hal
tersebut ditemukan pada hadits dho’if, maka yang digunakan adalah hadits dho’if
karena hadits dho’if mempunyai derajat yang lebih tinggi dari pendapat seorang
ulama.
Jadi, dapat dikatakan bahwa kedudukan hadits dho’if dilihat dari segi
kualitasnya walaupun berada setelah hadits shahih dan hadits hasan, akan tetapi
mempunyai derajat yang lebih tinggi dari pendapat para ulama.
C.
PENDAPAT ULAMA TENTANG HADITS DHO’IF
Pendapat para ulama dalam hal penggunaan Hadits Dho’if terbagi
atas tiga mazhab, yaitu :
Mazhab pertama,
mereka mengatakan bahwa hadits dho’if boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam
masalah halal, haram, fardh maupun wajib dengan syarat tidak ditemukan hadits
lain dalam bab tersebut. Pendapat ini dipilih oleh beberapa ulama seperti Imam
Ahmad, Abu Dawud dan lain-lain.
Yang dimaksud dengan hadits dho’if di sini adalah hadits
yang kadar kedho’ifannya tidak parah -- karena sudah jelas bahwa hadits yang
keadaannya demikian pasti ditinggalkan oleh para ulama -- dan juga tidak ada hadits
lain yang menyelisihinya.
Adanya kemungkinan bahwa hadits yang dinilai dho’if
tersebut mengandung kebenaran sementara tak ada hadits lain yang
menyelisihinya, maka hal ini menjadi alasan kuat bahwa hadits tersebut memiliki
kemungkinan shahih sehingga boleh diamalkan.
Al-Hafizh Ibnu Mandah meriwayatkan bahwa ia mendengar
Muhammad bin Sa'd Al Bawardi berkata: "Konsep yang dipakai oleh Imam
Nasa'i adalah bahwa beliau menyebutkan setiap hadits yang tidak ada kesepakatan
– dari para ulama -- untuk meninggalkannya". Ibnu Mandah menambahkan, "Demikian pula Abu Dawud menyetujui
pendapat tersebut. Beliau menyebutkan riwayat-riwayat lemah (dho’if) jika tidak
ditemukan hadits lain dalam suatu bab karena hadits tersebut dianggapnya lebih
kuat daripada pendapat murni seseorang".
Mazhab ini juga diikuti oleh Imam Ahmad, beliau
mengatakan: "hadits dho’if lebih aku sukai daripada pendapat pribadi
seseorang", karena beliau tidak beralih kepada Qiyas kecuali setelah
dipastikan bahwa benar-benar tidak ada nash.
Beberapa ulama mentakwilkan riwayat-riwayat tersebut
dengan mengatakan bahwa yang dimaksud hadits dho’if tersebut bukanlah hadits-hadits
dho’if menurut istilah Ilmu Hadits melainkan yang dimaksud adalah hadits hasan,
karena hadits tersebut bermakna lemah (dho’if) dibandingkan hadits shahih.
Akan tetapi, takwil tersebut bermasalah sebagaimana
dikatakan oleh Imam Abu Dawud: "ada beberapa hadits dalam kitabku,
As-Sunan yang sanadnya tidak tersambung (terputus), yaitu mursal dan mudallas,
hal itu dikarenakan tidak adanya hadits-hadits shahih pada (riwayat) para ahli hadits
secara umum yang bersambung (muttashil). Contohnya seperti riwayat Al-Hasan dari Jabir, Al-Hasan dari Abu
Hurairah, Al-Hakam dari Muqsim dari Ibnu Abbas…". Imam Abu Dawud
menganggap hadits yang tidak tersambung (sanadnya) boleh diamalkan ketika tidak
ditemukan hadits shahih, padahal sebagaimana diketahui bahwasannya hadits
munqathi' (terputus sanadnya) merupakan salah satu jenis hadits dho’if.
Mazhab kedua, mereka
mengatakan bahwa beramal dengan hadits dho’if hukumnya mustahabb (disukai)
dalam hal keutamaan-keutamaan (fadhail). Ini adalah pendapat mayoritas (Jumhur)
Ulama ahli hadits, ahli fikih dan lain-lain. Imam Nawawi mengatakan bahwa
pendapat ini menjadi kesepakatan di antara para ulama, demikian pula Syaikh Ali
Al-Qari dan Ibnu Hajar Al-Haitami.[7]
Menurut Imam
An-Nawawi kita boleh mempergunakan hadits yang dho’if untuk fadha ‘ilul a’mal,
baik untuk yang bersifat targhib maupun yang bersifat tarhib, yaitu sepanjang
hadits tersebut belum sampai ke derajat maudhu (palsu). Imam An-Nawawi
memperingatkan bahwa diperbolehkannya hal tersebut bukan untuk menetapkan
hukum, melainkan hanya untuk menerangkan keutamaan amal, yang hukumnya telah
ditetapkan oleh hadits shahih, setidak-tidaknya hadits hasan.
Ulama-ulama
hadits sepakat boleh mempergunakannya dalam bidang :
1.
Fadha ‘ilul A’mal
(Keutamaan-Keutamaan Amal)
Yaitu hadits-hadits yang menerangkan tentang keutamaan-keutamaan amal yang sifatnya sunnah ringan, yang sama sekali tidak terkait dengan masalah hukum yang qath’i, juga tidak terkait dengan masalah aqidah dan juga tidak terkait dengan dosa besar.
Yaitu hadits-hadits yang menerangkan tentang keutamaan-keutamaan amal yang sifatnya sunnah ringan, yang sama sekali tidak terkait dengan masalah hukum yang qath’i, juga tidak terkait dengan masalah aqidah dan juga tidak terkait dengan dosa besar.
2.
At-Targhiib (Memotivasi)
Yaitu hadits-hadits yang berisi pemberian semangat untuk mengerjakan suatu amal dengan janji Pahala dan Surga.
Yaitu hadits-hadits yang berisi pemberian semangat untuk mengerjakan suatu amal dengan janji Pahala dan Surga.
3.
At-Tarhiib (Menakuti)
Yaitu hadits-hadits yang berisi ancaman Neraka dan hal-hal yang mengerikan bagi orang yang mengerjakan suatu perbuatan.
Yaitu hadits-hadits yang berisi ancaman Neraka dan hal-hal yang mengerikan bagi orang yang mengerjakan suatu perbuatan.
4.
Kisah-kisah Tentang Para Nabi Dan
Orang-Orang Sholeh
Akan tetapi tidak semua hadits dho’if dapat digunakan, Al-Hafizh Ibnu Hajar Asqalani menjelaskan syarat-syarat yang harus
dipenuhi, berikut ini cuplikan perkataan beliau:
"Persyaratan yang harus dipenuhi dalam mengamalkan hadits
dho’if ada tiga: Pertama, telah disepakati, yaitu bahwa hadits dho’if tersebut
tidak parah kedho’ifannya. Oleh karena
itu, hadits yang diriwayatkan oleh seorang pendusta (kazzab), atau orang yang
tertuduh berdusta atau orang yang memiliki kesalahan fatal tidak termasuk dalam
kategori ini. Kedua, hadits tersebut harus berada dalam koridor Syariat Islam
secara umum. Oleh karena itu, hadits yang sengaja dibuat-buat padahal tidak
memiliki dasar sama sekali dalam Syariat Islam tidak dapat diterima. Ketiga,
ketika mengamalkan hadits tersebut tidak disertai keyakinan bahwa hadits
tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah saw, dengan tujuan agar tidak
terjadi penyandaran sesuatu yang tidak berasal dari beliau".
Ibnu Hajar Al-Haitami lebih mengarahkan pada pengamalan hadits
dho’if dalam masalah keutamaa-keutamaan amal, beliau menyebutkan: "Para
ulama telah bersepakat mengenai bolehnya mengamalkan hadits dho’if dalam hal
keutamaan-keutamaan amal, karena andaikan hadits tersebut ternyata benar
keberadaannya (shahih), maka dengan mengamalkannya berarti hak-hak hadits
tersebut telah terpenuhi. Kalaupun tidak demikian – terbukti dho’if -- maka hal
tersebut tidak akan menimbulkan pengaruh buruk apapun seperti menghalalkan atau
mengharamkan sesuatu atau hilangnya hak orang lain".
Mazhab ketiga,
mereka mengatakan bahwa mengamalkan hadits dho’if adalah tidak boleh secara
mutlak, baik dalam masalah fadhail amal maupun halal dan haram. Pendapat ini
diklaim sebagai pendapat Al-Qadhi Abu Bakr Ibnul Arabi.
Asy-Syihab Al-Khafaji dan Al-Jalal Ad-Dawani juga berpendapat
demikian. Beberapa penulis kontemporer lebih cenderung memilih pendapat ini
dengan alasan bahwa perkara-perkara tersebut di atas sama hukumnya seperti
halal dan haram karena semuanya merupakan perkara syar'i. Lagipula hadits-hadits
shahih dan hasan sudah mencukupi dan tidak diperlukan lagi hadits dho’if.
Demikianlah, permasalahan ini mengundang banyak polemik dan
perdebatan-perdebatan. Kendatipun demikian, tampak bahwa pendapat yang bersifat
paling menengahi di antara mazhab-mazhab tersebut adalah pendapat kedua. Hal
itu dikarenakan menimbang persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh para ulama
dalam masalah beramal dengan hadits dho’if tersebut yang menunjukkan bahwa hadits
dho’if yang menjadi perdebatan di sini bukanlah hadits yang divonis palsu,
melainkan hadits yang belum jelas kemungkinan kebenarannya (validitas) sehingga
masih menyisakan peluang, dan peluang ini dapat diselesaikan ketika tidak
ditemukan hadits lain yang menentangnya atau jika hadits tersebut sejalan
dengan prinsip-prinsip Islam sehingga dibenarkan beramal dengan hadits tersebut
demi menjaga hak-haknya,
tetapi dengan harus memiliki dasar dalam syariat islam sebelumnya.
Adapun anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwa
beramal dengan hadits dho’if dalam masalah fadhail adalah sama dengan
menciptakan ibadah baru dan membuat aturan baru dalam agama yang tidak direstui
oleh Allah swt, maka hal itu telah dijawab oleh para ulama, mereka mengatakan
bahwa diutamakannya beramal adalah sejalan dengan prinsip-prinsip dasar Islam
yang menganjurkan beramal demi menjaga (berhati-hati) dalam masalah agama. Beramal dengan hadits dho’if termasuk dalam kategori ini, dengan
demikian tak terdapat penambahan apapun dalam syariat Islam.
Menurut pandangan DR. Nuruddin 'Eter,
seseorang yang mengamati persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh para
ulama tersebut menafikan adanya peluang untuk menambah hal-hal baru dalam
syariat. Hal itu tampak jelas dari syarat mereka bahwa sebuah hadits dho’if
diharuskan tidak keluar dari koridor syariat dan prinsip-prinsip syar'i yang
sudahbaku secara umum. Oleh
karena itu, status hukum asal hal ini adalah legal menurut hukum syar'i, baru
kemudian muncullah hadits dho’if tersebut yang tidak bertentangan dengan
syariat.
Contoh:
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, sebagai
berikut:
Abu Ahmad al-Marrar bin Hammuyah mengabarkan kami, ia berkata:
Muhammad bin Mushaffa mengabarkan kami, ia berkata: Baqiyyah bin Al-Walid
mengabarkan kami dari Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Mi'dan dari Abu Umamah
dari Rasulullah saw bahwasannya beliau bersabda: "Barangsiapa yang
mendirikan shalat pada dua malam hari raya dengan mengharapkan ridha Allah,
maka hatinya takkan mati di saat hati-hati yang lain sedang mati".
Pada sanad tersebut, para perawi adalah Tsiqat, kecuali Tsaur bin
Yazid, ia dituduh dengan tuduhan bid'ah Qadariyah. Akan tetapi dalam hal ini ia
meriwayatkan hadits yang tidak ada sangkut pautnya dengan kebid'ahannya
tersebut sehingga tidak berpengaruh terhadap haditsnya. Muhamad bin Mushaffa
adalah seorang yang sangat jujur (Shaduq), ia banyak meriwayatkan hadits
sehingga Ibnu Hajar memberikan label "Hafizh" kepadanya. Adz-Dzahabi
berkomentar bahwa ia adalah seorang tsiqah masyhur (sangat terpercaya dan
populer), akan tetapi dalam riwayat-riwayatnya terdapat riwayat yang munkar.
Dalam sanad tersebut juga terdapat Baqiyyah bin Al-Walid, dia termasuk di
antara jajaran para imam huffahz yang sangat jujur. Akan tetapi ia sering
sekali melakukan tadlis (pengaburan) dari para perawi lemah (dho’if). Imam
Muslim menukil riwayatnya hanya sebagai penguat saja (mutaba'ah). Sementara dia
(Baqiyyah) tidak menyebutkan secara terus terang bahwa ia benar-benar telah
mendengar hadits tersebut, sehingga hadits tersebut dianggap dho’if.
Para ulama
berpendapat bahwa menghidupkan dua malam hari raya, baik dengan berzikir maupun
ibadah-ibadah lainnya hukumnya sunnah (mustahab) sesuai dengan hadits dho’if
ini, karena hadits dho’if boleh diamalkan dalam hal keutamaan-keutamaan amal
sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya, Al-Adzkar.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa qiyamullail (shalat pada
malam hari) dan mengisi malam tersebut dengan ibadah adalah sesuai anjuran
agama sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah yang mutawatir.
Mendekatkan diri kepada Allah dengan cara berdoa, berzikir dan lain sebagainya
adalah perkara yang dianjurkan di setiap waktu dan tempat, termasuk dua malam
hari raya.
Di sini tampak jelas bahwa hadits tersebut tidaklah
membawa ajaran baru, melainkan membawa sesuatu yang bersifat parsial yang
sejalan dengan prinsip-prinsip Syariat dan teks-teks syar'I secara umum
sehingga tidak diragukan lagi bahwa beramal dengan hadits tersebut hukumnya
adalah boleh.[9]
D.
MACAM – MACAM HADITS DHO’IF
Berdasarkan
penelitian para ulama hadits, bahwa kedho’ifan suatu hadits bisa terjadi pada
tiga tempat, yaitu pada sanad, matan dan pada perowi hadits. Dari bagi ketiga
ini, lalu mereka membagi hadits ke dalam beberapa macam hadits dho’if.
- Dho’if ditinjau dari segi persambungan sanad.
Hadits
yang tergolong dalam kelompok ini, diantaranya:
a. Hadits
Mursal
Hadits mursal adalah hadits yang disandarkan langsung
oleh tabi’in pada Rosulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun
taqrirnya, tabi’in yang di maksud bisa tabi’in kecil ataupun besar.
Pada dasarnya hukum hadits
mursal adalah dho’if dan ditolak. Hal tersebut karena kurangnya (hilangnya)
salah satu syarat ke-shahih-an dan syarat diterimanya suatu hadits, yaitu
persambungan sanad. Selain itu juga tidak dikenalnya tentang keadaan perawi
yang dihilangkan tersebut, sebab boleh jadi perawi yyang dihilangkan tersebut
adalah bukan sahabat. Dengan adanya kemungkinan demikian, maka ada kemungkinan
hadits tersebut adalah dho’if.
b. Hadits
Munqothi’
Hadits munqothi’ adalah hadits yang
gugur pada sanadnya seorang perawi atau pada sanad tersebutkan seseorang yang
tidak dikenal namanya. Tetapi kebanyakan
ulama hadits menggunakan istilah Munqothi’
secara umum, meliputi setiap hadits yang terputus sanadnya seperti hadits
mursal, mu’dhal, dan mu’allaq.
c. Hadits
Mu’dhal
Hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur
dua orang sanadnya atau lebih secara berturut-turut. Dengan pengertian diatas,
menunjukkan bahwa hadits mu’dhal berbeda dengan hadits munqothi’. Pada hadits
mu’dhal, gugurnya dua orang perawi terjadi secara berturut-turut. Sedangkan
pada hadits munqothi’, gugurnya dua orang perawi, terjadi secara terpisah (
tidak berturut-turut).[10]
d. Hadits
Mu’allaq
Hadits mu’allaq adalah hadits yang
dihapus dari awal sanadnya seorang perawi atau lebih secara berturut-turut.
Hadits mu’allaq hukumnya adalah mardud (tertolak), karena
tidak terpenuhinya salah satu syarat qabul, yaitu persambungan sanad,
yang dalam hal ini adalah dihapuskannya satu orang perawi atau lebih dari
sanadnya, sementara keadaan perawi yang di hapuskan tersebut tidak diketahui.
e. Hadits
mudallas
Kata “Mudallas” secara etimologi diambil
dari kata “dals” yang berarti “bercampurnya gelap dan terang”, dan kata itu
digunakan untuk menyebut sebuah hadits yang didalmnya mengandung unsur-unsur
kesamaan dengan unsur-unsur yang dikandung oleh makna kata tersebut. Sedang
pengertian hadits mudallas menurut terminologi ialah hadits yang disamarkan oleh rawi
dengan berbagai macam penyamaran.
Hadits
mudallas ada dua macam yaitu:
-
Tadlisu Al Sanad
Yaitu
hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi dari orang yang satu masa dengannya,
namun disebutkan seolah-olah dia benar-benar mendengar darinya, agar hadits tersebut dipandang baik.
-
Tadlisu Al Syuyuukhi
Yaitu
meriwayatkan hadits yang didengarnya dari seorang guru, namun dia menyebut nama
gurunya itu dengan menggunakan sebutan yang tidak populer misalnya dengan
menggunakan nama kuniahnya, nisbatnya atau sifatnya dengan pertimbangan agar
tidak di ketahui dengan jelas identitas gurunya yang lemah, sehingga tertutupi
kelemahannya.[11]
2. Dho’if
ditinjau dari segi cacatnya perawi.
Yang
dimaksud dengan cacat pada perawi adalah
terdapatnya kekurangan atau cacat pada diri perawi, baik dari segi keadilannya,
agama, atau dari segi ingatan, hafalan, dan ketelitiannya.
Cacat
yang berhubungan dengan keadilan perawi diantaranya adalah berbohong, dituduh
berbohong, fasik, berbuat bid’ah dan tidak diketahui keadaanya.
Cacat yang berhubungan dengan ingatan dan hafalan adalah
sangat keliru/ sangat dalam kesalahannya, buruk hafalannya, lalai, banyak
prasangka dan menyalahi perawi yang tsiqah.
Macam-macam
hadits dho’if berdasarkan cacat yang dimiliki oleh perawinya yaitu
:
a.
Hadits Matruk
Hadits Matruk adalah hadits yang
perawinya mempunyai cacat tertuduh dusta, pembohong atau pendusta.
b.
Hadits Munkar
Hadits munkar adalah hadits yang
terdapat pada sanadnya seorang perawi yang sangat keliru, atau sering kali
lalai dan terlihat kefasikannya secara nyata.
c.
Hadits Mu’allal
Hadits Mu’allal adalah hadits
yang perawinya cacat karena al-wahm, yaitu banyaknya dugaan atau sangkaan yang
tidak mempunyai landasan yang kuat.
d.
Hadits Mudroj
Hadits mudroj adalah hadits yang
terdapat tambahan yang bukan dari hadits tersebut.
e.
Hadits Maqlub
Hadits maqlub adalah hadits yang
mengganti suatu lafadz dengan lafadz yang lain pada sanad hadits atau pada
matannya dengan cara mendahulukan atau mengakhirkannya.
f.
Hadits Mudhorib
Hadits mudhorib adalah hadits yang
diriwayatkan dalam beberapa bentuk yang berlawanan yang masing-masing sama-sama
kuat.
g.
Hadits Mushoffaf
Hadits mushoffaf adalah
mengubah kalimat yang terdapat pada suatu hadits menjadi kalimat yang tidak
diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqoh, baik secara lafadz maupun maknanya.[12]
h. Hadits Syadz
Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi
yang maqbul, namun bertentangan dengan riwayat perawi yang lebih tsiqat atau
yang lebih baik dari padanya.[13]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Setelah
memahami, membuat dan mempelajari makalah ini maka penyusun dapat menyimpulkan:
1.
Secara etimologi,
kata dho’if berasal dari bahasa Arab dhuf’un
yang berarti lemah, dan yang dimaksud
hadits dho’if dari segi bahasa berarti hadits
yang lemah atau tidak kuat.
Secara terminologi, di antara para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam
mendefinisikan hadits dho’if ini. Akan tetapi, pada dasarnya, isi dan maksudnya
adalah sama yaitu hadits yang hilang
salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul.
2.
Kedudukan hadits
dho’if dalam hukum islam yaitu berada setelah hadits shahih dan hadits hasan.
3.
Terdapat 3 madzhab
pendapat para ulama mengenai pengamalan hadits dho’if, yaitu :
a.
Mazhab Pertama mengatakan bahwa hadits dho’if boleh diamalkan secara mutlak,
baik dalam masalah halal, haram, fardh maupun wajib dengan syarat tidak
ditemukan hadits lain dalam bab tersebut.
b.
Mazhab
kedua mengatakan mempergunakan hadits yang dho’if
untuk fadha ‘ilul a’mal, baik untuk yang bersifat targhib maupun yang bersifat
tarhib, yaitu sepanjang hadits tersebut belum sampai ke derajat maudhu (palsu).
Imam An-Nawawi memperingatkan bahwa diperbolehkannya hal tersebut bukan untuk menetapkan
hukum, melainkan hanya untuk menerangkan keutamaan amal, yang hukumnya telah
ditetapkan oleh hadits shahih, setidak-tidaknya hadits hasan.
c.
Mazhab ketiga mengatakan bahwa mengamalkan hadits dho’if adalah tidak boleh secara mutlak,
baik dalam masalah fadhail amal maupun halal dan haram.
4.
Berdasarkan ke-dho’if-an
suatu hadits, maka hadits dho’if terbagi atas :
a.
Dho’if ditinjau
dari segi persambungan sanadnya : Hadits Mursal, Hadits Munqothi, Hadits
Mu’dhal, Hadits Mu’allaq, Hadits Mudallas
b.
Dho’if ditinjau dari
segi cacatnya perawi : Hadits Matruk,
Hadits Munkar, Hadits Mu’allal, Hadits Mudroj, Hadits Maqlub, Hadits Mudhorib,
Hadits Mushoffaf, dan Hadits Syadz.
B.
SARAN
Saran yang dapat kami berikan terkait pembahasan Hadots Dho’if ini adalah :
1.
Bagi pembaca
diharapkan dapat membedakan hadits dho’if dengan hadits lainnya.
2.
Untuk lebih
memahami mengenai hadits dho’if, diharapkan pembaca dapat mencari lebih banyak
lagi informasi dari berbagai sumber.
DAFTAR PUSTAKA
Al Maliki , Muhammad Alawi; 2009; Ilmu
Ushul Hadis; Pustaka
Pelajar; Yogyakarta.
Ash Shiddieqy, M. Hasbi; 1987; Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid 1;
PT Bulan Bintang; Jakarta.
Ichwan , Mohammad Nor; 2007; Study Ilmu Hadits;
Rasail Media Group; Semarang.
Mudasir; 1999; Ilmu Hadits; Pustaka Setia; Bandung.
Riesky, Eida; http://eidariesky.wordpress.com/2010/06/18/pendapat-para-ulama-tentang-mengamalkan-hadits-dho’iflemah/
Suparto, Munzier; 2003; Ilmu Hadits; PT RajaGrafindo Persada; Jakarta.
Wicaksono, Danang Kuncoro; http://moslemz.multiply.com/journal/item/6?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
Yuslem , Nawir; 2001; Ulumul Hadits; PT Mutiara Sumber Widya;
Jakarta.
[4] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok
Ilmu Dirayah Hadits Jilid 1, (Jakarta : PT Bulan Bintang, 1987), hlm 220
[7] Danang Kuncoro Wicaksono, http://moslemz.multiply.com/journal/item/6?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
[9] Danang Kuncoro Wicaksosno, http://moslemz.multiply.com/journal/item/6?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
Tidak ada komentar:
Posting Komentar