BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Larat Belakang
Peristiwa jual beli merupakan bagian dari hukum perdata yang
apabila terjadi suatu perkara merupakan hal yang dapat dituntut atau diajukan
tuntutannya di depan pengadilan. Faktanya; Peristiwa jual beli kerap kali kita lakukan
dalam kehidupan sehari-hari namun pada umumnya kita tidak benar-benar menyadari
bahwa apa yang kita lakukan adalah suatu perbuatan hukum yang dapat menimbulkan
suatu akibat hukum apabila terjadi kecurangan atau salah satu pihak
mengingkari adanya perjanjian tersebut. Jadi apapun yang kita lakukan dalam
suatu jual beli dapat di tuntuk ke muka hukum apabila ada sebuah kecurangan
didalamnya.
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari jual beli tersebut?
2. Apa saja syarat-syarat dan asas dari jual
beli tersebut?
3. Siapa yang menjadi objek dari jual beli?
4. Kewajiban apakah yang harus terpenuhi dalam
transaksi jual beli?
5. Bagaimana bentuk-bentuk dalam jual beli?
6. Apasaja resiko-resiko yang terdapat dalam
jual beli?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahu tentang apa itu jual beli
2. Untuk mengetahui syarat-syarat dan asas dari
jual beli tersebut
3. Mengetahui objek-objek dari jual beli
4. Mengetahui Kewajiban yang harus terpenuhi
dalam transaksi jual beli
5. Memahami bentuk-bentuk dalam jual beli
6. memahami resiko-resiko yang terdapat dalam
jual beli
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Perjanjian Jual Beli
Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya
undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara
khusus terhadap perjanjian ini. Pengaturan perjanjian bernama dapat diatur
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata maupun Kitab Undang-undang Hukum
Dagang.
Perjanjian jual beli diatur dalam pasal 1457-1540 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual
berjanji menyerahkan sesuatu barang / benda, dan pihak lain yang bertindak
sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga.
Dari pengertian yang diberikan pasal 1457 diatas, persetujuan
jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban yaitu :[1]
1. Kewajiban
pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.
2. Kewajiban
pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada penjual.
Menurut Salim
H.S., S.H.,M.S., Perjanjian jual beli adalah Suatu Perjanjian yang dibuat
antara pihak penjual dan pihak pembeli.[2] Di
dalam perjanjian itu pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual
beli kepada pembeli dan berhak menerima harga dan pembeli berkewajiban untuk
membayar harga dan berhak menerima objek tersebut.[3]
Unsur yang terkandung dalam defenisi tersebut adalah :
a. Adanya
subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli
b. Adanya
kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga
c. Adanya
hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan pembeli
Unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan
harga, dimana antara penjual dan pembeli harus ada kata sepakat tentang harga
dan benda yang menjadi objek jual beli. Suatu perjanjian jual beli yang sah
lahir apabila kedua belah pihak telah setuju tentang harga dan barang. Sifat
konsensual dari perjanjian jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal 1458 yang
berbunyi “ jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika
setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang
ini belum diserahkan maupun harganya belum dibayar ”.[4]
Apabila terjadi
kesepakatan mengenai harga dan barang namun ada hal lain yang tidak disepakati
yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut, jual beli tetap tidak
terjadi karena tidak terjadi kesepakatan. Akan tetapi, jika para pihak telah
menyepakati unsur esensial dari perjanjian jual beli tersebut, dan para pihak
tidak mempersoalkan hal lainnya, klausul-klausul yang dianggap berlaku dalam
perjanjian tersebut merupakan ketentuan-ketentuan tentang jual beli yang ada
dalam perundang-undangan (BW) atau biasa disebut unsur naturalia.[5]
Walaupun telah terjadi persesuaian antara kehendak dan
pernyataan, namun belum tentu barang itu menjadi milik pembeli, karena harus
diikuti proses penyerahan (levering) benda yang tergantung kepada jenis bendanya
yaitu :[6]
1. Benda
Bergerak
Penyerahan
benda bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata dan kunci atas benda tersebut.
2. Piutang
atas nama dan benda tak bertubuh
Penyerahan
akan piutang atas nama dan benda tak bertubuh lainnya dilakukan dengan sebuah
akta otentik atau akta di bawah tangan.
3. Benda
tidak bergerak
Untuk
benda tidak bergerak, penyerahannya dilakukan dengan pengumuman akan akta yang
bersangkutan, di Kantor Penyimpan Hipotek.
B.
Asas-asas dan syarat Perjanjian Jual Beli
Asas-asas yang terdapat dalam suatu perjanjian umumnya
terdapat dalam perjanjian jual beli. Dalam hukum perjanjian ada beberapa asas,
namun secara umum asas perjanjian ada lima yaitu :[7]
1. Asas
Kebebasan Berkontrak
Asas Kebebasan Berkontrak dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat
1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “ Semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Asas Kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada
para pihak untuk :[8]
a.
Membuat atau tidak membuat perjanjian,
b.
Mengadakan perjanjian dengan siapa pun,
c.
Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan
d.
Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang paling penting
di dalam perjanjian karena di dalam asas ini tampak adanya ungkapan hak asasi
manusia dalam membuat suatu perjanjian serta memberi peluang bagi perkembangan
hukum perjanjian.
2. Asas
Konsensualisme
Asas konsensualisme dapat dilihat dalam pasal 1320 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa salah
satu syarat adanya suatu perjanjian adalah adanya kesepakatan dari kedua belah
pihak.[9]
Asas konsensualisme mengandung pengertian bahwa suatu perjanjian pada umumnya
tidak diadakan secara formal melainkan cukup dengan kesepakatan antara kedua
belah pihak saja. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan
pernyataan dari kedua belah pihak.
3. Asas
mengikatnya suatu perjanjian
Asas ini terdapat dalam pasal 1338 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dimana suatu perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi pembuatnya. Setiap orang yang membuat
kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut
mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para
pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang.
4. Asas
iktikad baik (Goede Trouw)
Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik (Pasal 1338
ayat (3) KUHPerdata). Iktikad baik ada dua yaitu :[10]
a. Bersifat
objektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan. Contoh, Si A melakukan
perjanjian dengan si B membangun rumah. Si A ingin memakai keramik cap gajah
namun di pasaran habis maka diganti cap semut oleh si B.
b. Bersifat
subjektif, artinya ditentukan sikap batin seseorang. Contoh, si A ingin membeli
motor, kemudian datanglah si B (penampilan preman) yang mau menjual motor tanpa
surat-surat dengan harga sangat murah. Si A tidak mau membeli karena takut
bukan barang halal atau barang tidak legal.
5. Asas
Kepribadian
Pada umumnya tidak seorang pun dapat mengadakan perjanjian
kecuali untuk dirinya sendiri. Pengecualiannya terdapat dalam pasal 1317 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata tentang janji untuk pihak ketiga.
Namun, menurut Mariam Darus ada 10 asas perjanjian, yaitu :[11]
1.
Kebebasan mengadakan perjanjian
2.
Konsensualisme
3.
Kepercayaan
4.
Kekuatan Mengikat
5.
Persamaan Hukum
6.
Keseimbangan
7.
Kepastian Hukum
8.
Moral
9.
Kepatutan
10. Kebiasaan
Syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang terdapat dalam
pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan syarat sahnya perjanjian
jual beli dimana perjanjian jual beli merupakan salah satu jenis dari
perjanjian. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa
syarat dari sahnya perjanjian adalah :
1. Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya
Syarat pertama untuk sahnya suatu perjanjian adalah adanya
suatu kesepakatan atau konsensus pada para pihak. Yang dimaksud dengan
kesepakatan adalah persesuaian kehendak antara para pihak dalam perjanjian.
Jadi dalam hal ini tidak boleh adanya unsur pemaksaan kehendak dari salah satu
pihak pada pihak lainnya. Sepakat juga dinamakan suatu perizinan, terjadi oleh
karena kedua belah pihak sama-sama setuju mengenai hal-hal yang pokok dari
suatu perjanjian yang diadakan. Dalam hal ini kedua belah pihak menghendaki
sesuatu yang sama secara timbal balik. Ada lima cara terjadinya persesuaian
kehendak, yaitu dengan :[12]
a. Bahasa
yang sempurna dan tertulis
b. Bahasa
yang sempurna secara lisan
c. Bahasa
yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan.
Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa
yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya.
d. Bahasa
isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya
e. Diam
atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan
Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
terjadinya kesepakatan dapat terjadi secara tertulis dan tidak tertulis .
Seseorang yang melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan dengan
akta otentik maupun akta di bawah tangan. Akta di bawah tangan adalah akta yang
dibuat oleh para pihak tanpa melibatkan pejabat yang berwenang membuat akta.
Sedangkan akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang
berwenang. Menurut pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kata sepakat
tidak didasarkan atas kemauan bebas / tidak sempurna apabila didasarkan :
a. Kekhilafan
(dwaling)
b. Paksaan
(geveld)
c. Penipuan
(bedrog)
Dengan adanya kesepakatan, maka perjanjian tersebut telah ada
dan mengikat bagi kedua belah pihak serta dapat dilaksanakan.
2. Cakap
untuk membuat suatu perjanjian
Cakap artinya adalah kemampuan untuk melakukan suatu
perbuatan hukum yang dalam hal ini adalah membuat suatu perjanjian. Perbuatan
hukum adalah segala perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum. Orang yang
cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran
kedewasaan adalah berumur 21 tahun sesuai dengan pasal 330 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Dalam pasal 1330 disebutkan bahwa orang yang tidak cakap untuk
melakukan perbuatan hukum adalah :
a. Orang
yang belum dewasa
b. Orang
yang dibawah pengampuan
c. Seorang
istri. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah
Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi
digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan
hukum tanpa bantuan atau izin suaminya.
3. Suatu
hal tertentu
Suatu hal tertentu disebut juga dengan objek perjanjian.
Objek perjanjian harus jelas dan ditentukan oleh para pihak yang dapat berupa
barang maupun jasa namun juga dapat berupa tidak berbuat sesuatu. Objek
Perjanjian juga biasa disebut dengan Prestasi. Prestasi terdiri atas :[13]
a. memberikan
sesuatu, misalnya membayar harga, menyerahkan barang.
b. berbuat
sesuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak, membangun rumah, melukis suatu
lukisan yang dipesan.
c. tidak
berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk tidak mendirikan suatu bangunan,
perjanjian untuk tidak menggunakan merek dagang tertentu.
Prestasi dalam suatu perikatan harus memenuhi syarat-syarat :[14]
a. Suatu
prestasi harus merupakan suatu prestasi yang tertentu, atau sedikitnya dapat
ditentukan jenisnya. Misalnya : A menyerahkan beras kepada B 1 kwintal.
b. Prestasi
harus dihubungkan dengan suatu kepentingan.
Tanpa suatu kepentingan orang tidak dapat mengadakan
tuntutan. Misalnya Concurrentie Beding (syarat untuk tidak bersaingan). Contoh:
A membeli pabrik sepatu dari B dengan syarat bahwa B tidak boleh mendirikan
pabrik yang memproduksi sepatu pula. Karena A menderita kerugian, maka pabrik
sepatu diganti dengan produk lain. Dalam hal ini B boleh mendirikan pabrik
sepatu lagi, karena antara A dan B sekarang tidak ada kepentingan lagi
c. Prestasi
harus diperbolehkan oleh Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
d. Prestasi
harus mungkin dilaksanakan.
4. Suatu
sebab yang halal
Di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum perdata tidak
dijelaskan pengertian sebab yang halal. Yang dimaksud dengan sebab yang halal
adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.
Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif karena
berkaitan dengan subjek perjanjian dan syarat ketiga dan keempat merupakan
syarat objektif karena berkaitan dengan objek perjanjian. Apabila syarat
pertama dan syarat kedua tidak terpenuhi, maka perjanjian itu dapat diminta
pembatalannya. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak
cakap atau pihak yang memberikan ijinnya secara tidak bebas.[15]
Sedangkan apabila syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi, maka akibatnya
adalah perjanjian tersebut batal demi hukum artinya perjanjian tersebut
dianggap tidak pernah ada sama sekali sehingga para pihak tidak dapat menuntut
apapun apabila terjadi masalah di kemudian hari.
C.
Subjek dan Objek Perjanjian Jual Beli
Perjanjian jual beli adalah merupakan perbuatan hukum. Subjek
dari perbuatan hukum adalah Subjek Hukum. Subjek Hukum terdiri dari manusia dan
badan hukum. Oleh sebab itu, pada dasarnya semua orang atau badan hukum dapat
menjadi subjek dalam perjanjian jual beli yaitu sebagai penjual dan pembeli,
dengan syarat yang bersangkutan telah dewasa dan atau sudah menikah. Namun
secara yuridis ada beberapa orang yang tidak diperkenankan untuk melakukan
perjanjian jual beli, sebagaimana dikemukakan berikut ini:[16]
1. Jual
beli Suami istri
Pertimbangan hukum tidak diperkenankannya jual beli antara
suami istri adalah karena sejak terjadinya perkawinan, maka sejak saat itulah
terjadi pencampuran harta, yang disebut harta bersama kecuali ada perjanjian
kawin. Namun ketentuan tersebut ada pengecualiannya yaitu:[17]
a. Jika
seorang suami atau istri menyerahkan benda-benda kepada isteri atau suaminya,
dari siapa ia oleh Pengadilan telah dipisahkan untuk memenuhi apa yang menjadi
hak suami atau istri menurut hukum.
b. Jika
penyerahan dilakukan oleh seorang suami kepada isterinya, juga dari siapa ia
dipisahkan berdasarkan pada suatu alasan yang sah, misalnya mengembalikan
benda-benda si istri yang telah dijual atau uang yang menjadi kepunyaan istri,
jika benda itu dikecualikan dari persatuan.
c. Jika
si istri menyerahkan barang-barang kepada suaminya untuk melunasi sejumlah uang
yang ia telah janjikan kepada suaminya sebagai harta perkawinan.
2. Jual
beli oleh para Hakim, Jaksa, Advokat, Pengacara, Juru Sita dan Notaris.
Para Pejabat ini tidak diperkenankan melakukan jual beli
hanya terbatas pada benda-benda atau barang dalam sengketa. Apabila hal itu
tetap dilakukan, maka jual beli itu dapat dibatalkan, serta dibebankan untuk
penggantian biaya, rugi dan bunga.
3. Pegawai
yang memangku jabatan umum
Yang dimaksud dalam hal ini adalah membeli untuk kepentingan
sendiri terhadap barang yang dilelang.
Objek jual Beli
Yang dapat menjadi objek dalam jual beli adalah semua benda
bergerak dan benda tidak bergerak, baik menurut tumpukan, berat, ukuran, dan
timbangannya. Sedangkan yang tidak diperkenankan untuk diperjualbelikan adalah
: [18]
a. Benda atau barang orang lain
b. Barang yang tidak diperkenankan oleh undang-undang
seperti obat terlarang
c. Bertentangan dengan ketertiban, dan
d. Kesusilaan yang baik
Pasal 1457 Kitab Undang-Undang
hukum Perdata memakai istilah zaak untuk menentukan apa yang dapat
menjadi objek jual beli. Menurut pasal 499 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
zaak adalah barang atau hak yang dapat dimiliki. Hal tersebut berarti bahwa
yang dapat dijual dan dibeli tidak hanya barang yang dimiliki, melainkan juga
suatu hak atas suatu barang yang bukan hak milik.
D. Hak
dan Kewajiban para pihak dalam perjanjian Jual Beli
Hak dari Penjual menerima harga barang yang telah dijualnya
dari pihak pembeli sesuai dengan kesepakatan harga antara kedua belah pihak.
Sedangkan Kewajiban Penjual adalah sebagai berikut :
1. Menyerahkan hak milik atas barang yang
diperjualbelikan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenal tiga jenis benda
yaitu benda bergerak, benda tidak bergerak dan benda tidak bertubuh maka
penyerahan hak miliknya juga ada tiga macam yang berlaku untuk masing-masing
barang tersebut yaitu :[19]
Ø Penyerahan Benda Bergerak
Mengenai Penyerahan benda bergerak terdapat dalam pasal 612
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan Penyerahan kebendaan
bergerak, terkecuali yang tak bertubuh dilakukan dengan penyerahan yang nyata
akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik,
atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan itu
berada.
Ø Penyerahan Benda Tidak Bergerak
Mengenai Penyerahan benda tidak bergerak diatur dalam Pasal
616-620 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa penyerahan
barang tidak bergerak dilakukan dengan balik nama. Untuk tanah dilakukan dengan
Akta PPAT sedangkan yang lain dilakukan dengan akta notaris.
Ø Penyerahan Benda Tidak Bertubuh
Diatur dalam pasal 613 KUH. Perdata yang menyebutkan
penyerahan akan piutang atas nama dilakukan dengan akta notaris atau akta
dibawah tangan yang harus diberitahukan kepada dibitur secara tertulis,
disetujui dan diakuinya. Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa
dilakukan dengan penyerahan surat itu, penyerahan tiap-tiap piutang karena
surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen.
2.
Menanggung
kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung terhadap cacat-cacat
tersembunyi.
Pasal 30 sampai dengan pasal 52 United Nations Convention on
Contract for the International Sale of Goods mengatur tentang kewajiban pokok
dari penjual yaitu sebagai berikut :[20]
1.
Menyerahkan
barang
2.
Menyerahterimakan
dokumen
3.
Memindahkan Hak
Milik
Hak dari Pembeli adalah menerima barang yang telah dibelinya,
baik secara nyata maupun secara yuridis. Di dalam Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Penjualan barang-barang Internasional (United Nations
Convention on Contract for the International Sale of Goods) telah diatur
tentang kewajiban antara penjual dan pembeli.[21]
Pasal 53 sampai 60 United Nations Convention on Contract for the International
Sale of Goods mengatur tentang kewajiban pembeli. Ada 3 kewajiban pokok pembeli
yaitu:[22]
a.
Memeriksa
barang-barang yang dikirim oleh Penjual
b.
Membayar harga
barang sesuai dengan kontrak
c.
Menerima
penyerahan barang seperti disebut dalam kontrak
Kewajiban pembeli untuk membayar harga barang termasuk
tindakan mengambil langkah-langkah dan melengkapi dengan formalitas yang
mungkin dituntut dalam kontrak atau oleh hukum dan peraturan untuk memungkinkan
pelaksanaan pembayaran. Tempat pembayaran di tempat yang disepakati kedua belah
pihak. Kewajiban Pihak Pembeli adalah :
a.
Membayar harga
barang yang dibelinya sesuai dengan janji yang telah dibuat
b.
Memikul biaya
yang ditimbulkan dalam jual beli, misalnya ongkos antar, biaya akta dan
sebagainya kecuali kalau diperjanjikan sebaliknya.
Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa Kewajiban dari pihak
pembeli adalah merupakan Hak bagi pihak Penjual dan sebaliknya Kewajiban dari
Pihak Penjual adalah merupakan hak bagi pihak Pembeli.
E.
Bentuk
bentuk Perjanjian Jual Beli
Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk
tertentu, dapat dibuat secara lisan dan tulisan yang dapat bersifat sebagai
alat bukti apabila terjadi perselisihan. Untuk beberapa perjanjian tertentu
undang-undang menentukan suatu bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu
tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian bentuk tertulis
tidaklah hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan
syarat untuk adanya perjanjian tersebut. Misalnya perjanjian mendirikan Perseroan
Terbatas harus dengan akta Notaris. Bentuk perjanjian jual beli ada dua yaitu :
1.
Lisan, yaitu
dilakukan secara lisan dimana kedua belah pihak bersepakat untuk mengikatkan
dirinya melakukan perjanjian jual beli yang dilakukan secara lisan.
2.
Tulisan, yaitu
Perjanjian Jual beli dilakukan secara tertulis biasanya dilakukan dengan akta
autentik maupun dengan akta di bawah tangan.
Akta Autentik adalah suatu akta yang dibuat di dalam bentuk
yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai
umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana
akta dibuatnya.[23]
Mengenai Akta Autentik diatur dalam pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata. Berdasarkan inisiatif pembuatnya akta autentik dibagi menjadi dua,
yaitu :
1.
Akta Pejabat (acte
amtelijke)
Akta Pejabat adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi
wewenang untuk itu dengan mana pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat
serta apa yang dilakukannya. Jadi inisiatifnya tidak berasal dari orang yang
namanya diterangkan di dalam akta itu. Contohnya Akta Kelahiran.
2.
Akta Para Pihak (acte
partij)
Akta Para Pihak adalah akta yang inisiatif pembuatannyadari
para pihak di hadapan pejabat yang berwenang. Contohnya akta sewa menyewa.
Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat untuk tujuan
pembuktian namun tidak dibuat di hadapan pejabat yang berwenang.[24]
Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian berdasarkan pengakuan dari
para pihak yang membuatnya. Hal ini bermakna kekuatan pembuktian akta di bawah
tangan dapat dipersamakan dengan akta autentik sepanjang para pembuat akta
dibawah tangan mengakui dan membenarkan apa yang telah ditandatanganinya.
Dengan kata lain akta di bawah tangan merupakan akta perjanjian yang baru
memiliki kekuatan hukum pembuktian apabila diakui oleh pihak-pihak yang
menandatanganinya sehingga agar akta perjanjian tersebut tidak mudah dibantah,
maka diperlukan pelegalisasian oleh notaris,
agar memiliki kekuatan hukum pembuktian yang kuat seperti akta autentik.
Perbedaan prinsip antara akta di bawah tangan dengan akta
otentik adalah karena jika pihak lawan mengingkari akta tersebut, akta di bawah
tangan selalu dianggap palsu sepanjang tidak dibuktikan keasliannya, sedangkan
akta otentik selalu dianggap asli, kecuali terbukti kepalsuannya.[25] Maksudnya
adalah bahwa jika suatu akta di bawah tangan disangkal oleh pihak lain,
pemegang akta di bawah tangan harus dapat membuktikan keaslian dari akta di
bawah tangan tersebut, Sedangkan apabila akta otentik disangkal oleh pihak
lain, pemegang akta otentik tidak perlu membuktikan keaslian akta tersebut
tetapi pihak yang menyangkali yang harus membuktikan bahwa akta otentik
tersebut adalah palsu. Oleh karena itu, pembuktian akta di bawah tangan disebut
pembuktian keaslian sedangkan pembuktian akta otentik adalah pembuktian
kepalsuan.
F.
Risiko
dalam perjanjian jual beli
Di dalam hukum dikenal suatu ajaran yang dinamakan dengan
Resicoleer. Resicoleer adalah suatu ajaran , yaitu seseorang berkewajiban
memikul kerugian, jika ada sesuatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak
yang menimpa benda yang menjadi objek perjanjian.[26]
Risiko dalam Perjanjian jual beli tergantung pada jenis
barang yang diperjualbelikan, yaitu apakah :[27]
a.
Barang telah
ditentukan
Mengenai risiko dalam jual beli terhadap barang tertentu
diatur dalam pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal pertama yang
harus dipahami adalah pengertian dari barang tertentu tersebut. Yang
dimaksudkan dengan barang tertentu adalah barang yang pada waktu perjanjian
dibuat sudah ada dan ditunjuk oleh pembeli.[28] Mengenai
barang seperti itu pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menetapkan
bahwa risiko terhadap barang tersebut ditanggung oleh si pembeli meskipun
barangnya belum diserahkan. Dapat dilihat bahwa ketentuan tersebut adalah tidak
adil dimana pembeli belumlah resmi sebagai pemilik dari barang tersebut akan
tetapi ia sudah dibebankan untuk menanggung risiko terhadap barang tersebut. Si
pembeli dapat resmi sebagai pemilik apabila telah dilakukan penyerahan terhadap
si pembeli. Oleh sebab itu, dia harus menanggung segala risiko yang dapat
terjadi karena barang tersebut telah diserahkan kepadanya. Ketentuan pasal 1460
ini dinyatakan tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah
Agung No 3 tahun 1963. Menurut Prof. R. Subekti, Surat edaran Mahkamah Agung
tersebut merupakan suatu anjuran kepada semua hakim dan pengadilan untuk
membuat yurisprudensi yang menyatakan pasal 1460 tersebut sebagai pasal yang
mati dan karena itu tidak boleh dipakai lagi.
b.
Barang tumpukan
Barang yang dijual menurut tumpukan, dapat dikatakan sudah
dari semula dipisahkan dari barang-barang milik penjual lainnya, sehingga sudah
dari semula dalam keadaan siap untuk diserahkan kepada pembeli.[29] Oleh
sebab itu dalam hal ini, risiko diletakkan kepada si pembeli karena barang-barang
tersebut telah terpisah
c.
Barang yang
dijual berdasarkan timbangan, ukuran atau jumlah.
Barang yang masih harus ditimbang terlebih dahulu, dihitung
atau diukur sebelumnya dikirim (diserahkan) kepada si pembeli, boleh dikatakan
baru dipisahkan dari barang-barang milik si penjual lainnya setelah dilakukan
penimbangan, penghitungan atau pengukuran. Setelah dilakukannya penimbangan,
penghitungan atau pengukuran, maka segala risiko yang terjadi pada barang
tersebut adalah merupakan tanggung jawab dari si pembeli. Sebaliknya apabila
barang tersebut belum dilakukan penimbangan, penghitungan atau pengukuran maka
segala risiko yang ada pada barang tersebut merupakan tanggungjawab dari pihak
penjual. Hal ini diatur dalam pasal 1461 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jual
beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-undang telah
memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara khusus terhadap
perjanjian ini. Pengaturan perjanjian bernama dapat diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata maupun Kitab Undang-undang Hukum Dagang.
Persetujuan jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban
yaitu :
1. Kewajiban
pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.
2. Kewajiban
pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada penjual.
DAFTAR PUSTAKA
Handri Rahardjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Jakarta : Pustaka
Yustisia, 2009,
Salim H.S.,Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak,
Jakarta : Sinar Grafika, 2003,
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung : PT Citra Aditya Bakti,
1995,
[1]
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung : Alumni,1986,
hlm. 181.
[2]
Salim H.S.,Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta :
Sinar Grafika, 2003, hlm. 49
[3]
Ibid.
[4]
Prof.R.Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995, hlm. 2.
[5]
Dr. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 127.
[6]
Salim H.S.,Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta :
Sinar Grafika, 2003, hlm. 49.
[7]
Ibid, hlm. 9.
[8]
Ibid, hlm. 9.
[9]
Ibid, hlm. 10.
[10]
Handri Rahardjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Jakarta : Pustaka
Yustisia, 2009, hlm. 45.
[11]
Mariam Darus Badrulzaman, KUHPERDATA Buku III, Bandung : Alumni, 2006,
hlm. 108-120
[12]
Salim H.S.,Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta :
Sinar Grafika, 2003, hlm. 33.
[13]
Dr. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 69.
[14]
Komariah, Hukum Perdata, Malang : UPT Penerbitan Universitas
Muhamadiyah, 2008, hlm. 148.
[15]
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung : Alumni, 1982, hlm.
20.
[16]
Salim H.S.,Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta :
Sinar Grafika, 2003, hlm. 50.
[17]
Ibid.
[18]
Salim H.S.,Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta :
Sinar Grafika, 2003, hlm. 51
[19]
Dr. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 128.
[20]
Salim H.S.,Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta :
Sinar Grafika, 2003, hlm. 56.
[21]
Ibid
[22]
Ibid
[23]
Handri Rahardjo, Cara Pintar memilih dan mengajukan kredit, Yogyakarta :
Pustaka Yustisia, 2003, hlm. 10.
[24]
Ibid, hlm 10
[25]
Dr. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 15.
[26]
Salim H.S., op.cit., hlm 103
[27]
Dr. Ahmadi Miru, op.cit., hlm 103
[28]
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1995,
hlm. 25.
[29]
Ibid, hlm 27
Tidak ada komentar:
Posting Komentar