BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Untuk
memahami makna dan hakekat hukum atau aturan-aturan yang telah disyariatkan
Allah SWT. Yang berfungsi sebagai alat untuk mengatur hidup dan kehidupan umat
manusia bukanlah persoalan yang mudah. Hal ini dapat dipahami bahwa semua
aturan yang telah ditetapakn Allah tersebut, pada akhirnya Dia sendiri yang
mengetahui hakikatnya.
Secara
lebih tegas dapat dinyatakan bahwa segala ketentuan hukum yang telah diterapkan
oleh Allah baik perintah maupun larangan, dengan tujuan untuk menciptakan
kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Selain itu dijadikan sebagai landasan
pemikiran untuk melihat dan menentukan kira-kira apa yang menjadi pendorong
atau yang melatarbelakangi suatu ketentuan hukum syara’ tersebut.
Untuk
memahami dan mengetahui apa yang menjadi pendorong atau alasan-alasan logis
dari semua ketentuan hukum yang telah ditetapkan itu, maka para ulama Ushul
Fiqh berupaya meneliti nash Al-Qur’an dan Sunnah dengan melihat hubungan antara
suatu ketentuan hukum dengan alasan yang mendasar. Upaya ini, pada akhirnya
melahirkan suatu teori yang kemudian dalam Ilmu Ushul Fiqh disebut dengan
‘Illat. Di dalam makalah ini akan dijelaskan tentang ‘Illat, Masalik
‘Illat dan Qawadihnya pada halaman selanjutnya.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dari ‘Illat?
2. Apakah Syarat-Syarat ‘Illat?
3. Apa Saja Rincian dan Macam-Macam
Illat?
4.
Apa Saja Status, Kedudukan dan Fungsi ‘Illat?
5.
Bagaimana cara mencari sebuah illat (Masalikul
‘Illat)
6.
Apa yang disebut dengan Qawadih ‘Illat?
7.
Bagaimana Cara Penggunaan Sebuah Illat?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui apa itu ‘Illat dan syarat-syaratnya.
2.
Mengetahui
status, Kedudukan dan fungsi debuah ‘illat serta cara mencari sebuah Illat.
3.
mngetahui
apa itu Qawadih ‘Illat dan cara penggunaan sebuah illat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
‘Illat
Secara
etimologi ‘illat berasal dari kata علة-عل yang berarti sakit, yang
menyusahkan, sebab, udzur.[1]
Secara
terminologi menurut Atho bin Khalil ‘illat adalah sesuatu yang keberadaanya
maka hukum menjadi ada. Atau perkara yang memunculkan hukum berupa pensyariatan
suatu hukum. Illat adalah dalil, tanda, dan yang memberi tahu adanya hukum.
Menurut
Abdul Wahhab Khallaf ‘illat adalah sifat dalam hukum ashal yang dijadikan dasar
hukum.
Menurut
Muhammad Abu Zahrah, ‘illat adalah sebagai suatu sifat lahir yang menetapkan
dan sesuai dengan hukum.
Menurut
Mu’in Umar, ‘illat ialah suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi
dasar untuk menetapakan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum pada fara’
yang belum ditetapkan hukumnya.
Maka dapat
disimpulkan ‘illat ialah sesuatu yang memberikan batasan terhadap hukum,
sehingga disebut juga tanda yang dijadikan dasar hukum, jadi hukum itu
disyariatkan karena adanya ‘illat.
Contoh Illat adalah sebagai berikut:
·
Seperti
menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat yang terdapat pada
perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi dasar untuk menetapkan
harapannya hukum menjual harta anak yatim.[2]
·
Sifat
memabukkan pada khamr, sehingga semua yang memabukkan dihukumi sebagai khamr.[3]
·
Atau
pembunuhan sengaja dengan pedang sebagai ‘illat qishas, sebab tindak pidana
yang diancam dengan hukuman qishas ialah segala bentuk penganiayaan dengan alat
atau senjata yang mematikan.[4]
B.
Syarat-Syarat
‘Illat
Ada empat macam syarat-syarat ‘illat
yang disepakati para ulama yaitu:
1. Sifat ‘illat itu hendaknya nyata
masih terjangkau oleh akal dan panca indera. Hal ini diperlukan karena ‘illat
itulah yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada fara’.
2. Sifat ‘illat itu harus pasti,
tertentu, terbatas, dan dapat dibuktikan bahwa ‘illat itu ada pada fara’.
3. ‘Illat harus berupa sifat yang
sesuai dengan kemungkinan hikmah hukum, dengan arti bahwa keras dugaan ‘illat
itu sesuai dengan hikmah hukumnya.
4. ‘Illat itu tidak hanya terdapat pada
ashal saja tetapai harus berupa sifat yang dapat pula diterapkan pada
masalah-masalah lain selain dari ashal itu.[5]
Perbedaan
antara ‘illat dengan hikmah adalah,
bahwa ‘illat merupakan pendorong atau pemicu disyariatkannya suatu hukum dengan
kata lain, sesuatu penyebab disyariatkannya hukum. Sedangkan hikmah adalah
perkara yang menjelaskan hasil dan tujuan hukum. Berdasarkan hal itu, ‘illat
ada sebelum adanya hukum dan bukan merupakan hasil dari pelaksanaan hukum.
Sedangkan hikmah adlah hasil yang mungkin diperoleh dari pelaksanaan hukum. Hikmah
dengan makna seperti ini kadangkala terpisah dari hukum pada kondisi tertentu.
Perbedaan
‘illat dengan sebab yaitu
sebab merupakan tanda yang memberitahu adanya suatu hukum seperti
tergelincirnya matahari merupakan tanda yang memberitahu adanya sholat, sedangkan
‘illat adalah perkara yang karenanya terwujud hukum. Jadi, ‘illat adalah sebab
pensyariatan hukum, bukan sebab adanya hukum, sehingga ‘illat termasuk dalil
hukum. Contohnya: Firman Allah Ta’ala (QS. Al-Jumu’ah: 9)
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) ÏqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqt ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î) Ìø.Ï «!$# (#râsur yìøt7ø9$# 4 öNä3Ï9ºs ×öyz öNä3©9 bÎ) óOçGYä. tbqßJn=÷ès? ÇÒÈ
Artinya: “
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah
kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih
baik bagimu jika kamu Mengetahui.
Melalaikan
sholat, menjadi sebab disyari’atkannya suatu hukum yaitu haramnya berjual beli
ketika adzan jum’at. Dengan demikian disebut ‘illat bukan sebab. Berbeda dengan
tergelincirnya matahari, bukan merupakan ‘illat karena sholat Dzuhur tidak
disyari’atkan karenanya. Itu hanya merupakan tanda bahwa sholat dzuhur telah
tiba.[6]
C.
Rincian
dan Macam-Macam ‘Illat
‘Illat
adalah sesuatu yang mendorong disyariatkannya hukum. Oleh karena itu,
‘illat harus terdapat di dalam dalil baik secara jelas (sharih), menunjukkan
(dilalah), penggalian (istinbath), atau secara qiyas. Itulah macam-macam ‘illat
yang akan dituturkan dibawah ini yaitu sebagai berikut:
Pertama,
‘Illat yang terdapat secara jelas
(Shurahatan), contonya:
ان كنتم ثلاثة فلا يتنا ج اثنان دون الثالث من اجل ان ذلك
يحزنه
Artinya: “ Apabila tiga
orang diantara kalian sedang berkumpul maka tidak boleh dua orang di antara
kalian saling berbisik tanpa melibatkan orang yang ketiga karena hal itu akan
membuatnya sedih.”( HR. Ahmad).
‘Illat pada hadits ini adalah karena
perkara itu akan membuatnya sedih. Termasuk ‘illat karena menggunakan lafazh
yang sharih, yaitu lafazh min ajli.
Kedua, Illat yang terdapat pada nash secara dilalah (penunjukan),
contohnya dalam firman Allah SWT: (QS.Al-Anfal:60).
(#rÏãr&ur Nßgs9 $¨B OçF÷èsÜtGó$# `ÏiB ;o§qè% ÆÏBur ÅÞ$t/Íh È@øyÜø9$# cqç7Ïdöè? ¾ÏmÎ/ ¨rßtã «!$# öNà2¨rßtãur tûïÌyz#uäur `ÏB óOÎgÏRrß w ãNßgtRqßJn=÷ès? ª!$# öNßgßJn=÷èt 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« Îû È@Î6y «!$# ¤$uqã öNä3ös9Î) óOçFRr&ur w cqßJn=ôàè? ÇÏÉÈ
Artinya: Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan
dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan
musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak
mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada
jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan
dianiaya (dirugikan).
Kata
menggentarkan musuh adalah sifat yang sesuai dengan mafhum bagi keharusan untuk
mengadakan persiapan menghadapi musuh, lafazh tersebut merupakan ‘illat
dilalah.
Ketiga, ‘illat yang terdapat dalam nash dengan jalan istinbath
(mustanbath), contohnya dalam sabda Rasulullah SAW:
ارايت
لو تمضمضت هل يفسد صومك ؟ قال : لا . قال: فكذلك القبلة
Artinya: “Apa pendapatmu
andaikata engkau berkumur-kumur (pada saat berpuasa) apakah akan rusak
berpuasamu?” Umar menjawab” Tidak”. Beliau bersabda begitu juga mencium.” (HR.
Ahmad, Ibnu Khuzaimah)
Dari nash ini digali bahwa ‘illat
batalnya puasa karena mencium adalah keluarnya sperma. Apabila seseorang
mencium istrinya tidak keluar sperma maka tidak membatalkan puasa. Jadi Al-Inzal
adalah ‘illat istinbatiyyah karena sama seperti berkumur-kumur.
Keempat, ‘Illat melalui qiyas,
contohnya:
نهى
رسول الله ص م ان يبيع حا ضر لباد
Artinya: “ Rasulullah SAW
melarang orang kota (menyongsong guna membeli barang) kepada orang yang datang
dari pelosok (pedesaan)”. (HR. Bukhari Muslim).
Dari segi syar’i telah menganggap
sifat itu sesuai atau tidak, maka Ulama Ushul telah membagi sifat yang sesuai
itu menjadi empat macam:
1)
Sesuai
dan berpengaruh ( Al-Munasib Al-Mu’tsir), yaitu sifat yang sesuai yang oleh
syar’I telah disusun hukum yang sesuai dengan sifat itu, baik dalam nash maupun
ijma’. Sifat tesebut telah ditetapkan sebagai ‘illat hukum. Seperti firman
Allah: (QS. Al-Baqarah: 222).
tRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]r& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙÅsyJø9$# ( wur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜt ( #sÎ*sù tbö£gsÜs? Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]øym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§qG9$# =Ïtäur úïÌÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ
Artinya: Mereka
bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu
kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci apabila
mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan
Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Hukum pasti dalam nash ini adalah
keharusan menghindari wanita di waktu haidh dan telah tersusun sebagi dasar,
bahwa ia adalah kotoran (adza). Sedangkan sighat nash telah jelas bahwa ‘illat
hukum ini adalah kotoran. Maka oleh karena itu kotoran yang menjadi sebab
keharusn menghindari wanita di waktu haidh adalah sifat yang sesuai dan
mempengaruhi (munasib dan mu’tsir).
2) Sesuai dan sepadan ( Al-Munasib
Al-Mula’im), yaitu sifat yang sesuai yang oleh syar’I telah disusun hukum yang
sesuai dengan hukum itu. Dan nash atau ijma’ belum menetapkannya sebagai ‘illat
hukum yang telah disusun atas dasar sesuai dengannya. Contoh sifat yang sesuai
yaitu keadaan seorang perempuan yang masih kecil sebagai ketetapan kewalian
ayah dalam mengawinkan perempuan yang masih kecil hal ini telah terdapat
ketetapan nash bahwa kewalian ayah adalah mengawinkan anak perempuan yang masih
kecil dan perawan itu. Jadi hukumnya ialah ketetapan kekuasaan yang disusun
atas dasar menyesuaikan sifat perawan dan kecil.
3) Sesuai dan dibiarkan (Al-Munasib
Al-Mursal), yaitu sifat yang oleh syar’I tidak disusun hukum yang sesuai
dengannya. Tidak pula terdapat dalil syara’ yang menunjukkan pengakuannya atau
menyia-nyiakan pengakuannya bahawa sifat itu munasib, artinya dapat menunjukkan
maslahah, namun ia mursal, artinya terlepas dari dalil pengakuan dan dalil
pembatalan (ilgha’) yang disebut dengan al-Maslahatul Mursalah. Contohnya, kemslahatan-kemaslahatan
yang oleh sahabat dijadikan dasar pensyariatan keharusan pajak bagi tanah
pertanian, mencetak uang, pembukuan Al-Qur’an dan prenyebarannya.
4) Sesuai dan disia-siakan (Al-Munasib
Al Mulgha’), yaitu sifat yang nyata bahwa pendasaran hukum adalah mewujudkan
kemaslahatan hukum. Contohnya, menetapkan seseorang yang berbuka pada bulan
Ramadhan secara sengaja dengan hukuman secara khusus adalah pengajaran baginya.[7]
D.
Status,
Kedudukan dan Fungsi ‘Illat
Status dan
kedudukan ‘Illat adalah latar belakang penetapan hukum, yang kedudukannya
terletak sebelum hukum disyariatkan. Jadi kedudukan illat sebenarnya sederajat
dengan dalil suatu hukum syara’, yaitu illat itu ada sebelum atau bersamaan
dengan hukum. Kedudukan illat adalah seperti halnya nash yang mendasari suatu
hukum.[8]
Sedangkan fungsi ‘illat adalah
sebagai berikut:
1. Penyebab atau
penetap adanya hukum.
2. Penolak (
dafi’ah ) keberadaan hukum akan terjadi, tetapi tidak mencabut hukum itu
seandainya `illat tersebut terdapat pada saat hukum tengah berlaku.
3. Pencabut (
rafi’at ) kelangsungan suatu hukum, bila `illat terjadi pada masa tersebut,
tetapi `illat ini tidak menolak terjadinya suatu hukum.
4. Penolak dan
pencegah suatu hukum. Mencegah terjadinya suatu hukum dan sekaligus dapat mencabut
bila hukum itu telah berlangsung.[9]
E.
Masalikul
‘Illat (Cara Mencari ‘Illat)
Masalikul
‘illat adalah cara atau metode yang digunakan untuk mencari sifat atau ‘illat
dari suatu peristiwa atau kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan
hukum. Diantara cara tersebut, ialah:
1.
Nash
yang menunjukkannya
Dalam hal
ini nash sendirilah yang menerangkan bahwa suatu sifat merupakan ‘illat hukum
dari suatu peristiwa atau kejadian. ‘Illat yang demikian disebut ‘illat manshus
alaih. Lakukan qiyas berdasarkan ‘illat yang disebutkan oleh nash pada
hakikatnya adalah menetapkan hukum sesuatu berdasarkan nash. Petunjuk nash
tentang sifat sesuatu kejadian atau peristiwa yang merupakan ‘illat itu ada dua
macam yaitu :
a. Dalalah Sharahah, ialah penunjukan
lafazh yang terdapat dalam nash kepada ‘illat hukum jelas sekali.Atau dengan
kata lain bahwa lafazh nash itu sendiri yang menunjukan ‘illat hukum dengan
jelas, seperti ungkapan yang terdapat dalam nash: supaya demikian atau
sebab demikian dan sebagainya.Dalalah sharahah ada dua macam, yang pertama
dalalah sharahah yang qath’I ( apabila penunjukan kepada ‘illat hukum itu pasti
dan yakin, tidak mungkin dialihkan kepada hukum yang lain). Dan yang kedua
ialah dalalah sharahah yang dzanni ( apabila penunjukan nash kepada ‘illat
hukum itu adlah berdasarkan dugaan keras).
b. Dalalah ima’ ( isharah ), ialah
petunjuk yang dipahami dari sifat yang menyertainya, atau dengan perkataan lain
dan sifat itu merupakan ‘illat ditetapkannya suatu hukum. Jika penyertaan sifat
itui tidak dapat dipahamkan demikian, maka tidak ada gunanya menyertakan sifat
itu
Ada beberapa macam dalalah ima’,
diantaranya ialah:
·
Mengerjakan
suatu pekerjaan karena ada terjadi sesuatu peristiwa sebelumnya. Contohnya
seperti Nabi Muhammad SAW mengerjakan sujud sahwi, karena beliau lupa
mengerjakan salah satu dari rukun shalat.
·
Menyebutkan
suatu sifat bersamaan ( sebelum atau sesudah ) dengan hukum. Seandainya sifat
itu dipandang bukan sebagai ‘illat tentulah tidak perlu disebutkan.Contohnya,
adalah Nabi SAW bersabda:
لا يحكم احدكم بين اثنين وهو غضبان
Artinya : “Seseorang tidak
boleh memberi keputusan antara dua orang ( yang berpekara ) dalam keadaan ia
sedang marah. ( HR. Bukhori Muslim ).
·
Membedakan
dua buah hukum dengan menyebutkan dua sifat yang berbeda pula, seperti
sabda Rasulullah SAW :
للراجل
سهم وللفارس سهم
Artinya : “ Barisan berjalan
kaki mendapat satu bagian, sedangkan barisan berkuda mendapat dua bagian. ( HR.
Bukhari Muslim ).
Barisan berjalan kaki dan barisan
berkuda menjadi ‘illat perbedaan pembagian harta rampasan perang.
·
Membedakan
dua hukum dengan syarat, seperti firman Allah SWT: ( QS.At-Thalaq : 6 )
Pada ayat ini diterangkan bahwa
hamil menjadi syarat wajibnya pemberian nafkah kepada istri yang ditalaq ba’in
dan menyusukan anak menjadi syarat pemberian upah menyusukan anak.
·
Membedakan
antara dua hukum dengan pengecualian ( istimewa ) dan pengecualian (Istidrak).
2.
Ijma
yang menunjukan
Maksudnya,
ialah ‘illat itu ditetapkan dengan ijma. Seperti belum baligh ( masih kecil )
menjadi ‘illat dikuasai oleh wali harta anak yatim yang belum baligh. Hal ini
disepakati oleh para ulama.
3.
Dengan
Penelitian
Ada beberapa cara penelitian itu
dilakukan :
a) Munasabah, ialah persesuaian antara
sesuatu hal, keadaan atau sifat dengan perintah atau larangan. Persesuaian tersebut
itu ialah persesuaian yang dapat diterima oleh akal,karena persesuaian itu ada
hubungannya, dengan mengambil manfaat dan menolak kerusakan atau kemadoratan
bagi manusia
b) Assabru wa taqsim. Assabru berarti
meneliti kemungkinan-kemungkinan dan taqsim berarti menyeleksi atau
memisah-misahkan.Assabru wa taqsim maksudnya ialah meneliti
kemungkinan-kemungkinan sifat-sifat pada suatu peristiwa atu kejadian. Tetapi
tidak ada nash atau ijma yang menerangkan ‘illatnya.Contohnya : Para ulama
sepakat bahwa wali mujbir boleh menikahkan anak kecil wanita tanpa persetujuan
anak itu, tetapi tidak ada nash yang menerangkan ‘illatnya. Karena itu para
mujtahid meneliti sifat-sifat yang mungkin yang dijadikan ‘illatnya. Diantara
sifat yang mungkin dijadikan ‘illat, ialah belum baligh, gadis dan belum
dewasa. Pada ayat 6 surat An-Nisa tidak dewasa dapat dijadikan ‘illat seorang
wali mengusai harta seorang anak yatim yang belum dewasa.Karena itulah
ditetapkan belum dewasa sebagai ‘illat kebolehan wali mujbir menikahkan anak
perempuan yang berada dibawah perwaliannya.
c) Tanqihul manath, ialah mengumpulkan
sifat-sifat yang ada pada fara’ dan sifat-sifat yang ada pada ashal, kemudian
dicari yang sama sifatnya. Sifat-sifat yang sama dijadikan sebagai
‘illat.Sedang sifat yang tidak sama ditinggalakan.Contohnya pada ayat 25 surat
An-Nisa diterangkan bahwa hukuman pada budak perempuan adalah separoh hukuman
orang merdeka, sedang tidak ada nash yang menerangkan hukuman bagi budak
laki-laki. Setelah dikumpulkan sifat-sifat yang ada pada keduanya, maka yang
sama ialah sifat kebudakan.Karena itu ditetapkanlah bahwa sifat kebudakan
itu sebagai ‘illat untuk menetapkan hukum bahwa hukuman bagi budak laki-laki
sama dengan yang diberikan kepada budak perempuan, yaitu separoh dari hukuman
yang diberikan kepada orang yang merdeka.
d) Tahqiqul Manath,ialah menetapkan
‘illat pada ashal , baik berdasarkan nash atau tidak. Kemudian ‘illat tersebut
disesuaikan dengan ‘illat pada fara’. Dalam hal ini mungkin ada yang
berpendapat bahwa ‘illat itu dapat ditetepkan pada fara’ dan mungkin pula ada
yang tidak berpendapat demikian.Contohnya, ialah ‘illat potong tangan bagi
pencuri, yaitu karena ia mengambil harta secara sembunyi pada tempat
penyimpanannya, hal ini disepakati para ulama. Berbeda pendapat ulama jika
‘illat itu diterapkan pada hukuman bagi pencuri kain kafan dalam kubur. Menurut
Syafi’iyyah dan Malikiyyah pencuri itu dihukum potong tangan, karena mengambil
harta dari tempat penyimpanannya ( kubur ). Sedangkan Hanafiyyah tidak
menjadikan sebagai ‘illat, karena itu pencuri kafan tidak potong tangannya.[10]
F.
Qawadih
‘Illat
Qawadih
secara bahasa adalah yaitu sesuatu yang mencacatkan atau melukai.
Sedangkan secara istilah Qawadih adalah sesuatu yang mempengaruhi atau
mencacatkan pada dalil dari segi ‘illat atau y ang lainnya.
Adapun
macam-macamnya adalah:
a. تخلق الحكم عن الوصف ( Perbedaan hukum menurut sifat )
Dinamakan oleh Imam Syafi’I
dengan: نقض
العلة فهو قادح في العلة
Contoh: لا
يزوج البكر الصغيرة الا وليها
Artinya: “Gadis kecil tidak
boleh kawin, melainkan dikawinkan oleh walinya.” (H.R Muslim. Abu Daud, dan
Nasa’i)
Hadits di
atas menunjukkan bahwa seorang wali mujbir memiliki hak untuk memaksa anak
gadisnya menikah. Sebagian ulama berpendapat bahwa ‘Illat bagi perwalian
tersebut adalah karena masih kecil. Akan tetapi meskipun masih kecil kalau ia
telah janda tidak bisa dipaksa oleh walinya untuk menikah. Sabda Rasulullah
SAW:
الايم احق بنفسها من وليها
Artinya: “Janda lebih berhak
terhadap dirinya dari pada walinya” (H.R Muslim).
b. قادح في العلة مبطل لها Apabila
‘illat batal, maka batal pula hukum di atasnya.
Contohnya,
‘illat dari hilangnya melaksanakan kewajiban bagi orang gila adalah karena
akalnya tidak berfungsi. Akan tetapi, jika ‘illat tersebut telah hilang
(akalnya telah dapat berfungsi kembali dengan baik), maka hokum yang semula
(hilangnya melaksanakan kewajiban) menjadi batal (hilang) pula. Dan orang
tersebut harus melaksanakan kewajiban-kewajiban, karma ‘illatnya telah hilang
(batal).
c. عدم التفسير Tak ada pengaruh. Maksudnya, apabila
sifat itu tak berpengaruh, maka batal lahsifat itu pada hukum
Misalnya,
kebolehan bagi laki-laki maupun perempuan untuk mengqashar shalat jika sedang
dalam perjalanan berdasarkan Q.S An-Nisa : 101. antara laki-laki dan perempuan
terdapat perbedaan sifat, yaitu perbedaan kelamin. Akan tetapi meskipun antara
laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan sifat, namun perbedaan sifat itu tak
berpengaruh pada hokum, yaitu kebolehan mengqashar shalat bagi siapa saja yang
sedang dalam perjalanan, baik laki-laki maupun perempuan.
G.
Cara
Penggunaanya
a. Penggunaan ‘illat ‘adami untuk
hukum tsubuti
Penggunaan ‘illat adami dalam
hukum tsubuti adalah guru yang boleh memukul muridnya karena ketidakpatuhannya.
Sebagian ulama (diantaranya al-Razi) membolehkan karena pada dasarnya ‘illat
‘adami dapat dipahami dalam bentuk tsubuti, sedangkan
al-Amidi menolak penggunaan ‘illat ‘adami untuk hukum tsubuti.
b. Penggunaan ‘illat Qashiroh
Sebagian ulama menolak penggunaan ‘illat
Qashiroh secara mutlak, karena tidak memenuhi syarat yang ditentukan.
Ulama Hanafiah menolak ‘illat Qashiroh yang tidak ditetapkan
berdasarkan Nash atau Ijma’. Ibnu Subki membolehkan ‘illat Qashiroh untuk
menetapkan suatu hukum meskipun tidak dapat digunakkan untuk qiyas.
c. Penggunaan dua ‘illat untuk satu
hukum
Jumhur Ulama membolehkan penggunaan
dua ‘illat untuk satu hukum secara mutlak karena ‘illat Syar’iyyah adalah
alamat atau tanda bagi adanya hukum. Oleh karena itu, tidak ada halangan bagi
beberapa alamat atau tanda untuk memberi petunjuk kepada sesuatu hukum tertentu.
Jumhur beranggapan bahwa contoh hal itu dalam pelaksanaannya secara praktis
seperti: bersentuhan, memegang kemaluan, dan buang air menjadi ‘illat batalnya
wudhu.
d. Penggunaan satu ‘illat untuk dua
hukum, baik hukumnya hukum tsubuti, seperti pencurian menjadi ‘illat berlaku
hukum potong tangan, dan hukuman ganti rugi, maupun bila hukumnya dalam bentuk
naïf, seperti ‘illat Haid bagi sebab tidak sahnya puasa dan tidak sahnya
sholat.[11]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
pembahasan yang sudah dijabarkan, dapat diambil kesimpulan bahwa ‘Illat
adalah sesuatu yang memberikan batasan terhadap hukum, sehingga disebut juga
tanda yang dijadikan dasar hukum, jadi hukum itu disyariatkan karena adanya
‘illat.
Sedangkan
masalikul ‘illat yaitu cara atau metode yang digunakan untuk mencari sifat atau
‘illat dari suatu peristiwa atau kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk
menetapkan hukum.
Dan yang
terakhir yaitu Qawadih ‘Illat adalah sesuatu yang mempengaruhi atau mencacatkan
pada dalil dari segi ‘illat atau yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Khalil,
‘Atha.2008.Ushul Fiqh.Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
Khallaf,
Abdul Wahhab.1996.Kaidah-Kaidah Hukum Islam.Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada.
Umar,
Muin Dkk.1985.Ushul Fiqh 1.Jakarta:Departemen Agama RI.
Yunus,
Mahmud.1975. Kamus Arab-Indonesia.Jakarta: PT Mahmud Yunus
Wadzurriyyah.
Zahrah,
Muhammad Abu.2008.Ushul Fiqh.Jakarta: Pustaka Firdaus
http://ayok.wordpress.com/2006/12/27/ragam-illat-qiya/ diakses tanggal 03 Juni 2012
[1] Prof. Mahmud Yunus. Kamus
Arab-Indonesia. (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzurriyah, 1972) hal: 276.
[7] Prof.
Abdul Wahhab Khallaf. Kaidah-Kidah Hukum Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1996) hal: 105-112).
[11] http://umarjabbar.files.wordpress.com/.../illat-masalik-qawadih1.doc diakses tanggal 03 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar