BAB I
PEMBUKAAN
A. Latar Belakang
Al-Ijarah adalah salah satu kegiatan muamalah yang sering kita jumpai dalam
kehidupan sehari-hari. Al-Ijarah, yang biasa kita kenal dengan persewaan,
sangat sering membantu dalam kehidupan, karena dengan adanya ijarah/persewaan
ini, seseorang yang terkadang belum bisa membeli benda untuk kebutuhan
hidupnya, bisa diperoleh dengan cara menyewa.
Sebagai transaksi umum, maka ijarah memiliki aturan-aturan tertentu.
Kebanyakan para pelaku ijarah saat ini melakukan transaksi ini hanya
berdasarkan kebiasaan saja, tanpa tahu dasar hukum dan aturan-aturan yang
berlaku.
Sehubungan dengan itu, maka kami susun makalah ini,
guna menambah wawasan kita tentang ijarah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka kami
rumuskan permasalahan dalam makalah ini sebagai berikut :
1. Apa
pengertian ijarah dan apa dasar hukumnya?
2. Apa saja
hukum dan syarat ijarah?
3. Bagaimana
berakhirnya ijarah?
C. Tujuan Pembahasan
Makalah ini kami susun bertujuan agar kita tahu
tentang ijarah. Bagaimana hukumnya, rukun dan syaratnya, serta dapat mengetahui
perbedaan pendapat para ulama’ yang berhubungan dengan ijarah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Dasar Hukum
Ijarah
1. Pengertian
Menurut bahasa Al Ijarah artinya adalah upah, sewa,
jasa atau imbalan. Sedangkan menurut istilah, beberapa ulama’ mendefinisikan
sebagai berikut :
Pertama, Ulama’ Hanafiah mendefinisikannya dengan :
عَقْدٌ عَلىَ مَنَافِعِ بِعِوَاضٍ
”Transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan”
Kedua, ulama’ Syafi’iyah mendefinisikan dengan :
عَقْدٌ عَلىَ مَنْفَعَةٍ مَقْصُوْدَةٍ
مُبَاحَةٍ قَابِلَةٍ لِلْبَذْلِ وَاْلأِبَاحَةِ بِعِوَاضٍ مَعْلُوْمٍ
”Transaksi terhadap suatu manfa’at yang dituju tertentu, bersifat mubah dan
boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu”
Ketiga, ulama’ Malikiyah dan Hanabilah mendefinisikan dengan :
تَمْلِيْكُ مَنَافِعِ شَيْئٍ مُبَاحَة
مُدَّة مَحْلُوْمٍ بِعِوَضِ
”Pemilikan manfa’at sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan
suatu imbalan”
Jadi, yang dimaksud ijarah adalah menyewakan suatu
benda kepada orang lain untuk diambil manfa’atnya, dengan imbalan yang telah
disepakati bersama.
2. Dasar Hukum
Para ibu
hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada
para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan
seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah
bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan
b.
Al- Hadits
· Hadist (H.R.
Bukhari dan Muslim)
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “berbekamlah kamu, kemudian
berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu”, (H.R.
Bukhari dan Muslim)
· Hadist (H.R.
Ibnu Majjah)
Dari Ibnu
Umar bahwa Rasulullah bersabda, “berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya
kering.
· Hadis riwayat Abu Dawud dari Saad bin Abi Waqqash, bahwa Nabi Muhammad saw.
Bersabada:
Artinya : Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil
pertaniannya, maka Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan
memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.
· Hadis riwayat
Abd.Razaq dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada :
Artinya : Barangsiapa yang mempekerjakan pekerja, beritahukanlah
upahnya.
c.
Ijma ulama tentang kebolehan melakukan akad sewa
menyewa / Ijarah.
· Kaidah fiqh
Artinya : Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali
ada dalilyang mengharamkannya.
· Kaidah fiqh
Artinya : Menghindarkan mafsadat (kerusakan/bahaya) harusdidahulukan
atas mendatangkan kemaslahatan.
d.
Kaidah-Kaidah
dalam Ijaroh :
·
Semua barang yang dapat dinikmati manfaatnya tanpa mengurangi substansi
barang tersebut, maka barang tersebut dapat disewakan.
·
Semua barang yang pemanfaatannya dilakukan sedikit demi sedikit tetapi
tidak mengurangi substansi barang itu seperti susu pada unta dan air dalam
sumur dapat juga disewakan.
·
Uang dari emas atau perak dan tidak dapat disewakan karena barang-barang
ini setelah dikonsumsi menjadi hilang atau habis.
e.
Dalam Hukum Islam ada dua jenis ijarah
a.
Ijarah yang
berhubungan dengan sewa jasa, yaitu mempekerjakan jasa seseorang dengan upah
sebagai imbalan jasa yang disewa. Pihak yang mempekerjakan disebut mustajir,
pihak pekerja disebut ajir dan upah yang dibayarkan disebut ujrah.
b.
Ijarah yang
berhubungan dengan sewa aset atau properti, yaitu memindahkan hak untuk memakai
dari aset atau properti tertentu kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa.
Bentuk ijarah ini mirip dengan leasing (sewa) pada bisnis
konvensional. Pihak yang menyewa (lessee) disebut mustajir, pihak
yang menyewakan (lessor) disebutmu’jir/muajir dan biaya sewa
disebut ujrah.
Ijarah bentuk pertama
banyak diterapkan dalam pelayanan jasa perbankan syari’ah, sementara ijarah bentuk
kedua biasa dipakai sebagai bentuk investasi atau pembiayaan di perbankan
syari’ah.
B.
Hak Dan Kewajiban Kedua Belah Pihak
Apa saja
kewajiban penyewa dan yang menyewakan? Yang menyewakan wajib
mempersiapkan barang yang disewakan untuk dapat dipergunakan secara optimal
untuk penyewa. Misalnya, mobil yang disewa ternyata tidak dapat digunakan
karena akinya lemah, maka yang menyewakan wajib menggantinya. Bila yang
menyewakan tidak dapat memperbaiinya, penyewa mempuyai pilihan untuk
membatalkan akad atau menerima manfaat yang rusak. Bila demikian keadaannya,
apakah harga sewa masih harus dibayar penuh? Sebagian ulama berpendapat, bila
penyewa tidak membatalkan akad, harga sewa harus dibayar penuh. Sebagian ulama
lain berpendapat harga sewa dapat dikurangkan dulu dengan biaya untuk perbaikan
kerusakan.
Penyewa
wajib menggunakan barang yang disewakan menurut syarat-syara atau menurut
kelaziman penggunaannya. Penyewa juga wajib menjaga barang yang disewakan agar
tetap utuh.[2]
C. Rukun dan Syarat Ijarah
Rukun ijarah ada lima, yaitu:
1.
Orang yang
menyewakan :
Syaratnya :
a. Baligh
b. Berakal
c. Atas kehendak sendiri
2.
Orang yang
menyewa
Syaratnya sama dengan orang yang menyewakan.
3.
Barang atau
benda yang disewakan
Syaratnya :
a. Barang yang disewakan harus
bermanfaat
b. Barang yang disewakan
termasuk yang dilarang agama
c. Barang yang disewakan
harus diketahui jenis, kadar, sifatnya dan ada ketentuan sampai seberapa
kemanfaatannya atau ditentukan waktunya.
4. Imbalan sebagai bayaran
(upah)
Syaratnya :
a. Tidak berkurang
nilainya
b. Harus jelas
c. Bisa membawa
manfaat yang jelas
5. Akad (Ijab qabul)
Syarat akad ijarah sama dengan akad jual beli
dengan tambahan menyebutkan masa waktu yang telah ditentukan
D. Berakhirnya Akad
Para ulama’ fiqh menyatakan bahwa akad Al-Ijarah
akan berakhir apabila:
a.
Obyeknya hilang
atau musnah, sebagai contoh, serperti rumah yang terbakar.
b.
Tenggang waktu
yang disepakati dalam akad al-ijarah telah berakhir. Apabila yang disewakan itu
adalah rumah, maka rumah itu dikembalikan pada pemiliknya, dan apabila yang
disewakan itu adalah jasa seseorang, maka ia berhak menerima upahnya. Kedua hal
ini disepakati oleh seluruh ulama’ fiqh.
c.
Menurut ulama’
Hanafiah, wafatnya salah seorang yang berakad, karena akad al-ijarah, menurut
mereka, tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama’, akad al-ijarah
tidak batal dengan wafatnya salah seorang yang berakad karena manfaat, menurut
mereka, boleh diwariskan dan al-ijarah sama dengan jual beli, yaitu mengikat
kedua belah pihak yang berakad.
d.
Menurut ulama’
Hanafiah, apabila ada uzur dari salah satu pihak, maka akadnya batal. Akan
tetapi, menurut jumhur ulama’, uzur yang boleh membatalkan akad ijarah hanyalah
apabila obyeknya mengandung cacat atau kemanfaatan yang dituju telah hilang.
E. Pembayaran
Upah dan Sewa
Jika
Ijarah itu suatu pekerjan, maka kewajiban pembayaran upahya pada waktu
berakhirnya pekerjaan. Jika akad sudah berlangsung dan tidak disyaratkan
mengenai pembayaran dan tidak ada ketentuan penangguhannya.
Sabda
Rosulullah SAW :
”Berikanlah olehmu upah
orang sewaan sebelum keringatnya kering”. (H.R Ibnu Majjah)
Menurut
Abu Hanifah, wajib diserahkan upahnya secara berangsur sesuai dengan manfaat
yang telah diterimanya. Jika Ijarah tersebut berupa penyewaan,
menurut Imam Syafi’i dan Ahmad, jika mu’jir telah menyerahkan zat benda yang
disewakan kepada musta’jir, ia berhak menerima bayaran karena musta’jir
(penyewa telah menerima manfaat dari barang yang disewakan. Jika menyewa
barang, maka uang sewa dibayar ketika akad sewa, kecuali bila dalam akad
ditentukan lain. Upah
yang adil :
Upah
yang adil merupakan upah yang wajib diberikan kepada pekerja. Upah yang adil
adalah upah yang setara yang ditentukan oleh upah yang diketahui (disetujui),
yang menjadi acuan bagi kedua belah pihak. Tingkat upah ditentukan oleh tawar
menawar antara pemberi kerja dengan pekerja. Upah yang setara diberikan sesuai
dengan kualitas pekerjaan.
F. Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
Ijarah
akan menjadi batal apabila terdapat hal-hal berikut :
1.
Terjadi cacat pada barang sewaan yang
terjadi pada tangan penyewa
2.
Rusaknya barang yang disewakan, (seperti
rumah yang menjadi runtuh)
3.
Rusaknya barang yang diupahkan (baju
yang diupahkan untuk dijahit)
4.
Terpenuhinya manfaat yang diadakan,
berakhirnya masa yang ditentukan, dan
selesainya
pekerjaan.
5.
Menurut ulama hanafiyah boleh fasakh
(membatalkan) ijarah dari salah satu pihak.
G. Keuntungan dan Kerugian Adanya
Sewa Menyewa
Keuntungan
adanya sewa menyewa :
1.
Adanya sewa-menyewa bisa membantu orang
mengambil manfaat dari yang disewakan tersebut.
2.
Membantu orang yang tidak mampu membeli
barang, jadi dengan adanya sewa ini orang tersebut bisa menyewa barang itu.
3.
Penyewa tidak dibebani biaya-biaya yang
diperlukan kepada pemiliknya untuk menyerahkan barang jika barang tersebut
rusak
Kerugian
adanya sewa menyewa :
1.
Bila barang rusak maka yang menanggung
resiko adalah pemilik barang
2.
Resiko yang ditanggung tak sebanding
dengan harga sewa.
3.
Ajir musytarok terikat pada waktu yang
telah dijanjikan namun bila waktu tersebut tidak dipenuhi maka penyewa
mengalami kerugian.
H.
Aplikasi
dalam Perbankan
Bank islam
yang mengoperasikan produk al-ijarah, dapat melakukan leasing, baik dalam
bentuk operating lease maupun finasial lease. Akan tetapi, pada umumnya bank
tersebut lebih banyak menggunakan al-iarah al-muntahian bit-tamlik karena lebih
sederhana dari sisi pembukuan.[3]
I.
Teknik Perbankan al-Ijarah
1.
Transaksi ijarah ditandai adanya pemindahan
manfaat jadi, dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli. Namun
perbedaan terletak pada objek barang, sedangkan pada sewa
2.
Pada akhir
masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakan kepada nasabah, karena
itu dalam perbankan syariah dikenal dengan al-Ijarah al-muntahiyah bit-tamlik
(sewa yang diikuti dengan perpindahan kepemilikan).
3.
Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian
antara bank dengan nasabah.
J.
Al- Ijarah
Al-Muntahaia Bit-Tamlik
IMBT merupakan kependekan dari Ijarah Mumtahiya bit Tamlik. Pembiayaan IMBT
tidak sama dengan IMBT, begitupun IMBT tidak sama dengan sewa beli, dan tidak
sama pula dengan leasing. Dalam sewa beli, lessee otomatis jadi pemilik barang
di akhir masa sewa. Dalam IMBT, janji pemindahan kepemilikan di awal akad
ijarah adalah wa’ad (janji) yang hukumnya tidak mengikat. Bila janji itu ingin
dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah
masa ijarah selesai. Sedangkan pada leasing, kepemilikan lessee tersebut hanya
terjadi bila hak opsinya dilaksanakan oleh lessee. Pada pembiayaan IMBT, bank
sebagai penyedia uang untuk membiayai transaksi dengan prinsip IMBT paling
tidak mempunyai dua pilihan[16][4].
Pertama, besarnya angsuran bulanan IMBT yang harus dibayarkan nasabah
kepada bank telah memasukkan komponen nilai perolehan barang IMBT, sehingga
pada akhir masa ijarah nilai perolehan barang IMBT yang masih tersisa telah
nihil. Dalam hal ini, meskipun secara teori fikih dikatakan hukumnya tidak
mengikat untuk memindahkan kepemilikan barang tersebut, namun secara praktik
bisnisnya barang tersebut akan diserahkan kepemilikannya kepada nasabah. Jadi
dalam hal ini pembiayaan IMBT lebih mirip dengan sewa beli dibandingkan dengan
leasing.
Kedua, besarnya angsuran bulanan IMBT yang harus dibayarkan nasabah kepada
tidak memasukkan komponen nilai perolehan barang IMBT, sehingga pada akhir masa
ijarah nilai perolehan barang IMBT yang masih tersisa tidak nihil (biasanya
disebut nilai residu). Dalam hal ini, bila nasabah membayar nilai residu
tersebut maka bank akan memindahkan kepemilikannya pada nasabah. Namun bila
nasabah belum membayar nilai residunya, bank belum memindahkan kepemilikan
tersebut. Jadi dalam hal ini pembiayaan IMBT lebih mirip dengan leasing dibandingkan
dengan sewa beli.
Pihak lessor dalam leasing hanya bermaksud untuk membiayai perolehan barang
modal oleh lessee, dan barang tersebut tidak berasal dari pihak lessor, tapi
dari pihak ketiga atau dari pihak lessee sendiri. Pada sewa beli, lessor bermaksud
melakukan semacam investasi dengan barang yang disewakannya itu dengan uang
sewa sebagai keuntungannya. Karena itu, biasanya barang tersebut berasal dari
milik pemberi sewa sendiri. Pada IMBT keduanya dapat terjadi, menyediakaan
barang sewa dengan cara menyewa, kemudian menyewakannya kembali. Juga
dimungkinkan menyediakan barang sewa dengan membeli kemudian menyewakannya.
Pada pembiayaan IMBT, bank sebagai penyedia uang untuk membiayai transaksi
dengan prinsip IMBT dapat saja membiayai penyewaan barang kemudian barang
tersebut disewakan kembali, dan dapat pula membiayai pembelian barang kemudian
barang tersebut disewakan. Yang jelas pembiayaan IMBT adalah penyediaan uang
untuk membiayai transaksi dengan prinsip IMBT, bukan akad IMBT itu sendiri.
Terakhir, leasing boleh dilakukan oleh perusahaan pembiayaan sedangkan sewa
beli tidak termasuk kegiatan lembaga pembiayaan. Pembiayaan IMBT boleh
dilakukan oleh bank syariah, sedangkan sewa beli, leasing, IMBT tidak termasuk
kegiatan bank syariah.
Fatwa MUI tentang IMBT
•
Pihak yang
melakukan al-Ijarah al-Muntahiah bi al-Tamlik harus melaksanakan akad Ijarah
terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau
pemberian, hanya dapat dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
•
Janji
pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad Ijarah adalah wa'd (الوعد), yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin
dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah
masa Ijarah selesai.
K.
Ijarah dan
Leasing
Ijarah
adalah akad yang mengatur pemanfaatan hak guna tanpa terjadi pemindahan
kepemilikan, sehingga banyak yang menyamakan ijarah dengan leasing. Hal ini
terjadi karena kedua istilah itu sama-sama mengacu hal ihwal sewa menyewa.
Karakteristik yang membedakan antara ijarah dan leasing terletak pada:[5]
a.
Objek
Objek yang
disewakan dalam leasing hanya berlaku untuk sewa menyewa barang saja, terbatas
pada manfaat barang saja, tidak berlaku untuk manfaat tenaga kerja. Sedangkan
objek yang disewakan dalam ijarah bisa berupa barang dan jasa/tenaga kerja.
Ijarah bila diterapkan untuk mendapatkan manfaat barang disebut sewa menyewa
dan untuk mendapatkan manfaat tenaga kerja/jasa disebut upah mengupah. Objek
yang disewakan dalam ijarah adalah manfaat barang dan manfaat tenaga kerja.
Dengan demikian, bila dilihat dari segi objeknya, ijarah mempunyai cakupan yang lebih luas daripada leasing.
Dengan demikian, bila dilihat dari segi objeknya, ijarah mempunyai cakupan yang lebih luas daripada leasing.
b.
Metode
Pembayaran
Dari segi
metode pembayaran, leasing hanya memiliki satu metode pembayaran yaitu yang
bersifat not contingent to formance (pembayaran tidak tergantung pada kinerja
objek yang disewa). Pembayaran ijarah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ijarah
yang pembayarannya tergantung pada kinerja objek yang disewa (contingent to
formance) dan ijarah yang pembayarannya tidak tergantung pada kinerja objek
yang disewa (not contingent to formance). Ijarah yang pembayarannya tergantung
pada kinerja objek yang disewa disebut ijarah, gaji, sewa. Sedangkan ijarah
yang pembayarannya tidak tergantung pada kinerja objek yang disewa disebut
ju’alah atau success fee.
c.
Pemindahan
Kepemilikan (Transfer of Title)
Dari aspek
perpindahan kepemilikan dalam leassing dikenal dua jenis yaitu operating lease
dimana tidak terjadi pemindahan kepemilikan baik di awal maupun di akhir
periode sewa dan financial lease. Ijarah sama seperti operating lease yakni
tidak ada transfer of title baik di awal maupun di akhir periode, namun pada
akhir sewa dapat dijual barang yang disewakan kepada nasabah yang dalam
perbankan syariah dikenal dengan ijarah muntahia bi al-tamlik. Harga sewa dan
harga jual disepakati pada awal perjanjian.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
1.
Al-Ijarah
adalah salah satu kegiatan mu’amalah, yaitu sewa menyewa pada sebuah
kemanfaatan yang umum, dengan imbalan yang telah disepakati bersama.
2.
Banyak dalil
yang menjadi dasar hukum diperbolehkannya ijarah, salah satunya adalah QS.
At-Thalaq ayat 6 dan hadits rasul yang berbunyi :
مَنِ اسْتَجَارَ أَجِيْرًا
فَلْيَعْلَمْهُ أَجْرَهُ (رواه عبد الرزاق و البيهاقى)
”Siapa yang menyewa seseorang maka hendaklah ia beritahu upahnya” (HR. Abd.
Ar-Razaq dan Al-Baihaqi).
3.
Rukun dan
syarat ijarah ada 5 :
a. Orang yang
menyewakan :
Syaratnya :
« Baligh
« Berakal
« Atas kehendak sendiri
b. Orang yang menyewa,
syaratnya sama dengan orang yang menyewakan.
c. Barang yang
disewakan
Syaratnya :
« Bermanfaat
« Tidak dilarang agama
« Diketahui jenis, kadar,
sifatnya dan ada ketentuan berapa lama barang tersebut disewa.
d. Imbalan
Syaratnya :
« Harus jelas
« Tidak berkurang nilainya
« Bermanfaat
e. Akad
Syaratnya sama dengan akad jual beli, ditambah dengan masa waktu yang
disepakati.
4.
Berakhirnya
akad
a. Obyeknya hilang
b. Tenggang Waktunya habis
c. Salah satu orang
yang berakad meninggal (menurut ulama’ hanafiah)
d. Uzur di salah satu pihak
(menurut ulama’ Hanafiah) menurut jumhur ulama’, uzurnya hanyalah apabila
obyeknya mengandung cacat atau manfaat yang dituju telah hilang.
DAFTAR PUSTAKA
Haroen, Nasrun, Fiqh Mu’amalah, Jakarta :
Gaya Media Pratama, 2007.
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung :
Sinar Baru, Algesindo, 2009.
Labib M – Harbiawati, Risalah Fiqh Islam,
Surabaya : Bintang Usaha Jaya, 2006.
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori
dan Praktik, (Jakarta :2001, Gema Insani), cet-1,
Ir. Adiwarman A. Karim, SE., M.B.A.,M.A.E.P,bank
islam analisis fiqih dan keuangan, (jakarta :2004, PT Raja Grafido Persada),
cet-2
[1]
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori dan Praktik, (Jakarta
:2001, Gema Insani), cet-1, hlm. 117-118
[2]
Ir. Adiwarman A. Karim, SE., M.B.A.,M.A.E.P,bank islam analisis fiqih dan
keuangan, (jakarta :2004, PT Raja Grafido Persada), cet-2,hml. 138
[3]
Ibid, bank islam analisis fiqih dan keuangan, hml 119
[4]
Ibid, bank syariah dari teori dan praktik, hml. 118
[5]
Ibid, bank islam, hml.140-44