Jumat, 17 Mei 2013

MAKALAH HADITS DHO’IF


MAKALAH
HADITS DHO’IF
Untuk Memenuhi Tugas Ilmu Kritik Hadits yang diampu oleh :
Drs.H. Abdul Ghaffar, M.H.I





STAINWARNA 2.gif
 










Disusun Oleh :
MOH. ABDUS SALAM
18201102010046




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
HUKUM PERDATA ISLAM
JURUSAN SYARIAH
2013
KATA PENGANTAR

Pertama kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunianya yang telah diberikan kepada kita. Semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada junjungan Nabi besar Muhammaad SAW, beserta sahabat dan keluarganya, serta pengikutnya hingga akhir zaman. Amin.
Kami penyusun makalah, alhamdulillah telah berhasil menyelesaikan makalah “Ilmu Kritik Hadits“ tentang “Hadits Dho’if”. Dan makalah ini kami ajukan sebagai tugas untuk melaksanakan kewajiban sebagai mahasiswa.
Kami menyadari bahwa penulisan dan penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu adanya masukan, pendapat, maupun kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan. Semoga hasil makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan dan mendapat ridho Allah SWT. Amin.


Pamekasan, 07 Mei 2013
                                                                                                   


    Penyusun



DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
KATA PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang..................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah................................................................................. 1
C.     Tujuan................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hadits Dho’if..................................................................... 2
B.     Kedudukan Dalam Islam...................................................................... 4
C.     Pendapat Ulama Tentang hadits Dho’if............................................... 4
D.    Macam-macam Hadits Dho’if.............................................................. 10
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan .......................................................................................... 14
B.     Saran .................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA           



BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang pokok banyak mengandung ayat-ayat yang bersifat global. Oleh karena itu kehadiran hadits berfungsi sebagi penjelas dari ayat ayat tersebut. Tanpa kehadiran hadits umat islam tidak akan mampu menangkap dan merealisasikan hukum-hukum yang terkandung di dalam Al Quran secara mendalam.
Hadits mempunyai fungsi dan kedudukan begitu besar namun hadits tidak seperti Al-Qur’an yang secara resmi telah di tulis pada zaman Nabi dan dibukukan pada masa khalifah Abu Bakar As Shidiq. Sedangkan hadits baru ditulis dan dibukukan pada masa khalifah Umar Ibn Abd Al Azizi (abad ke-2).[1]
Dengan seiring perkembangan zaman banyak sekali hadits-hadits yang muncul. Sehingga kita perlu mempelajari ilmu tentang hadits dan pembagian hadits. Diketahui bahwa macam-macam hadits yaitu shahih, hasan dan dho’if. Pada makalah ini akan dibahas tentang hadits dhoif.

B.       RUMUSAN MASALAH
Dari pembahasan materi tentang hadits dhoif ini, ada beberapa rumusan masalah yang harus diselesaikan diantaranya:
1.      Apa itu hadits dhoif?
2.      Bagaimana kedudukan hadits dho’if dalam hukum islam ?
3.      Bagaimana pendapat ulama mengenai penggunaan hadits dho’if?
4.      Apa saja macam-macam hadits dhoif?



BAB II
PEMBAHASAN

A.  PENGERTIAN HADITS DHO’IF

Secara etimologi, kata dho’if berasal dari bahasa Arab dhuf’un yang berarti lemah, lawan kata dari al qowiy yang berarti kuat. Dengan makna bahasa ini, maka yang dimaksud dengan dho’if dari segi bahasa berarti hadits yang lemah atau tidak kuat.[2]
Secara terminologi, terdapat perbedaan rumusan di antara para ulama dalam mendefinisikan hadits dho’if ini. Tetapi, pada dasarnya, isi dan maksudnya adalah sama. Beberapa definisi, di antaranya dapat dilihat di bawah ini.
An-Nawawi mendefinisikannya dengan :  

مَا لَمْ يُوْجَدْ فِيْهِ شُرُوطُ الصِّحَّةِ وَ لاَ شُرُوْطُ الْحَسَنِ
Artinya :
“Hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan.”
Ulama lainnya menyebutkan bahwa hadits dho’if ialah :

كُلُّ حَدِيْثٍ لَمِ تَجْتَمِعْ فِيْهِ صِفَةُ الْقَبُوْلِ
Artinya :
“Hadits yang didalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul.”[3]
Sedangkan yang dimaksud Hadits Maqbul di sini adalah hadits yang diterima, yaitu sempurna padanya syarat-syarat diterimanya.[4]


Menurut Nur Ad-Din ‘Atr definisi hadits dhoif ialah :
مَا فَقِدَ شَرْطًا مِنْ شُرُوْطِ اْلحَدِيْثِ اْلمَقْبُوْلِ
Artinya :
“Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul (hadits yang shahih atau hadits yang hasan).”

Pada definisi yang ketiga disebutkan secara tegas bahwa jika satu syarat saja (dari persyaratan hadits shahih atau hadits hasan hilang, berarti hadits itu dinyatakan sebagai hadits dho’if. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau tiga syarat, seperti perawinya tidak adil, dan adanya kejanggalan dalam matan. Hadits seperti ini dapat dinyatakan sebagai hadits dho’if yang sangat lemah.[5]
Selain itu, Ibnu Shalah memberikan definisi hadits dho’if ialah :
ما لم يجمع صفات الصحيح ولاصفات الحسن
 “Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan”.

Zinuddin Al-Traqy menanggapi bahwa definisi tersebut kelebihan kalimat yang seharusnya dihindarkan, menurut dia cukup :
ما لم يجمع صفات الحسن
 “Yang tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan”
Karena sesuatu yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan sudah barang tentu tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih.
Drs. Fatkhur Rahman memberikan definisi hadits dho’if ialah:
ما فقد شرطا او اكثر من شروط الصحيح اوالحس
 “Hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat –syarat hadits shahih atau hadits hasan”
Para ulama memberikan batasan bagi hadits dha’if :
الحديث الضعيف هو الحديث الذي لم يجمع صفات الحديث الصحيح ولا صفات الحديث
“Hadits dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
DR. Subhi As-Shalih, mengatakan hadits dha’if menempati urutan ketiga dalam pembagian hadits. Batasannya yang paling tepat adalah hadits yang padanya tidak terdapat ciri-ciri hadits shahih atau hasan.
Berdasarkan definisi rumusan di atas, dapat kita pahami bahwa hadits yang kehilangan salah satu syarat dari syarat-syarat hadits shahih atau hasan, maka hadits tersebut dapat kita kategorikan sebagai hadits dho’if.[6]

B.  KEDUDUKAN DALAM HUKUM ISLAM

Sebagaimana kita ketahui bahwa hadits merupakan dasar hukum islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Hadits dari segi kualitasnya terbagi atas tiga, yaitu Hadits Shahih, Hadits Hasan, dan Hadits Dho’if.
Berdasarkan dari pendapat DR. Subhi As-Shalih pada sub-materi sebelumnya, hadits dho’if menempati urutan ketiga dalam pembagian hadits. Oleh karena itu, bagi ulama yang memperbolehkan untuk menggunakan hadits dho’if, apabila suatu hal tertentu tidak ditemukan pada hadits shahih dan hadits hasan sementara hal tersebut ditemukan pada hadits dho’if, maka yang digunakan adalah hadits dho’if karena hadits dho’if mempunyai derajat yang lebih tinggi dari pendapat seorang ulama.
Jadi, dapat dikatakan bahwa kedudukan hadits dho’if dilihat dari segi kualitasnya walaupun berada setelah hadits shahih dan hadits hasan, akan tetapi mempunyai derajat yang lebih tinggi dari pendapat para ulama.

C.  PENDAPAT ULAMA TENTANG HADITS DHO’IF

Pendapat para ulama dalam hal penggunaan Hadits Dho’if terbagi atas tiga mazhab, yaitu :
Mazhab pertama, mereka mengatakan bahwa hadits dho’if boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam masalah halal, haram, fardh maupun wajib dengan syarat tidak ditemukan hadits lain dalam bab tersebut. Pendapat ini dipilih oleh beberapa ulama seperti Imam Ahmad, Abu Dawud dan lain-lain.
Yang dimaksud dengan hadits dho’if di sini adalah hadits yang kadar kedho’ifannya tidak parah -- karena sudah jelas bahwa hadits yang keadaannya demikian pasti ditinggalkan oleh para ulama -- dan juga tidak ada hadits lain yang menyelisihinya.
Adanya kemungkinan bahwa hadits yang dinilai dho’if tersebut mengandung kebenaran sementara tak ada hadits lain yang menyelisihinya, maka hal ini menjadi alasan kuat bahwa hadits tersebut memiliki kemungkinan shahih sehingga boleh diamalkan.
Al-Hafizh Ibnu Mandah meriwayatkan bahwa ia mendengar Muhammad bin Sa'd Al Bawardi berkata: "Konsep yang dipakai oleh Imam Nasa'i adalah bahwa beliau menyebutkan setiap hadits yang tidak ada kesepakatan – dari para ulama -- untuk meninggalkannya". Ibnu Mandah menambahkan, "Demikian pula Abu Dawud menyetujui pendapat tersebut. Beliau menyebutkan riwayat-riwayat lemah (dho’if) jika tidak ditemukan hadits lain dalam suatu bab karena hadits tersebut dianggapnya lebih kuat daripada pendapat murni seseorang".
Mazhab ini juga diikuti oleh Imam Ahmad, beliau mengatakan: "hadits dho’if lebih aku sukai daripada pendapat pribadi seseorang", karena beliau tidak beralih kepada Qiyas kecuali setelah dipastikan bahwa benar-benar tidak ada nash.
Beberapa ulama mentakwilkan riwayat-riwayat tersebut dengan mengatakan bahwa yang dimaksud hadits dho’if tersebut bukanlah hadits-hadits dho’if menurut istilah Ilmu Hadits melainkan yang dimaksud adalah hadits hasan, karena hadits tersebut bermakna lemah (dho’if) dibandingkan hadits shahih.
Akan tetapi, takwil tersebut bermasalah sebagaimana dikatakan oleh Imam Abu Dawud: "ada beberapa hadits dalam kitabku, As-Sunan yang sanadnya tidak tersambung (terputus), yaitu mursal dan mudallas, hal itu dikarenakan tidak adanya hadits-hadits shahih pada (riwayat) para ahli hadits secara umum yang bersambung (muttashil). Contohnya seperti riwayat Al-Hasan dari Jabir, Al-Hasan dari Abu Hurairah, Al-Hakam dari Muqsim dari Ibnu Abbas…". Imam Abu Dawud menganggap hadits yang tidak tersambung (sanadnya) boleh diamalkan ketika tidak ditemukan hadits shahih, padahal sebagaimana diketahui bahwasannya hadits munqathi' (terputus sanadnya) merupakan salah satu jenis hadits dho’if.
Mazhab kedua, mereka mengatakan bahwa beramal dengan hadits dho’if hukumnya mustahabb (disukai) dalam hal keutamaan-keutamaan (fadhail). Ini adalah pendapat mayoritas (Jumhur) Ulama ahli hadits, ahli fikih dan lain-lain. Imam Nawawi mengatakan bahwa pendapat ini menjadi kesepakatan di antara para ulama, demikian pula Syaikh Ali Al-Qari dan Ibnu Hajar Al-Haitami.[7]
Menurut Imam An-Nawawi kita boleh mempergunakan hadits yang dho’if untuk fadha ‘ilul a’mal, baik untuk yang bersifat targhib maupun yang bersifat tarhib, yaitu sepanjang hadits tersebut belum sampai ke derajat maudhu (palsu). Imam An-Nawawi memperingatkan bahwa diperbolehkannya hal tersebut bukan untuk menetapkan hukum, melainkan hanya untuk menerangkan keutamaan amal, yang hukumnya telah ditetapkan oleh hadits shahih, setidak-tidaknya hadits hasan.
Ulama-ulama hadits sepakat boleh mempergunakannya dalam bidang :
1.    Fadha ‘ilul A’mal (Keutamaan-Keutamaan Amal)
Yaitu hadits-hadits yang menerangkan tentang keutamaan-keutamaan amal yang sifatnya sunnah ringan, yang sama sekali tidak terkait dengan masalah hukum yang qath’i, juga tidak terkait dengan masalah aqidah dan juga tidak terkait dengan dosa besar.
2.    At-Targhiib (Memotivasi)
Yaitu hadits-hadits yang berisi pemberian semangat untuk mengerjakan suatu amal dengan janji Pahala dan Surga.
3.    At-Tarhiib (Menakuti)
Yaitu hadits-hadits yang berisi ancaman Neraka dan hal-hal yang mengerikan bagi orang yang mengerjakan suatu perbuatan.
4.    Kisah-kisah Tentang Para Nabi Dan Orang-Orang Sholeh
5.    Do’a Dan Dzikir
Yaitu hadits-hadits yang berisi lafazh-lafazh do’a dan dzikir.[8]
Akan tetapi tidak semua hadits dho’if dapat digunakan, Al-Hafizh Ibnu Hajar Asqalani menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi, berikut ini cuplikan perkataan beliau:
"Persyaratan yang harus dipenuhi dalam mengamalkan hadits dho’if ada tiga: Pertama, telah disepakati, yaitu bahwa hadits dho’if tersebut tidak parah kedho’ifannya. Oleh karena itu, hadits yang diriwayatkan oleh seorang pendusta (kazzab), atau orang yang tertuduh berdusta atau orang yang memiliki kesalahan fatal tidak termasuk dalam kategori ini. Kedua, hadits tersebut harus berada dalam koridor Syariat Islam secara umum. Oleh karena itu, hadits yang sengaja dibuat-buat padahal tidak memiliki dasar sama sekali dalam Syariat Islam tidak dapat diterima. Ketiga, ketika mengamalkan hadits tersebut tidak disertai keyakinan bahwa hadits tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah saw, dengan tujuan agar tidak terjadi penyandaran sesuatu yang tidak berasal dari beliau".
Ibnu Hajar Al-Haitami lebih mengarahkan pada pengamalan hadits dho’if dalam masalah keutamaa-keutamaan amal, beliau menyebutkan: "Para ulama telah bersepakat mengenai bolehnya mengamalkan hadits dho’if dalam hal keutamaan-keutamaan amal, karena andaikan hadits tersebut ternyata benar keberadaannya (shahih), maka dengan mengamalkannya berarti hak-hak hadits tersebut telah terpenuhi. Kalaupun tidak demikian – terbukti dho’if -- maka hal tersebut tidak akan menimbulkan pengaruh buruk apapun seperti menghalalkan atau mengharamkan sesuatu atau hilangnya hak orang lain".
Mazhab ketiga, mereka mengatakan bahwa mengamalkan hadits dho’if adalah tidak boleh secara mutlak, baik dalam masalah fadhail amal maupun halal dan haram. Pendapat ini diklaim sebagai pendapat Al-Qadhi Abu Bakr Ibnul Arabi.
Asy-Syihab Al-Khafaji dan Al-Jalal Ad-Dawani juga berpendapat demikian. Beberapa penulis kontemporer lebih cenderung memilih pendapat ini dengan alasan bahwa perkara-perkara tersebut di atas sama hukumnya seperti halal dan haram karena semuanya merupakan perkara syar'i. Lagipula hadits-hadits shahih dan hasan sudah mencukupi dan tidak diperlukan lagi hadits dho’if.
Demikianlah, permasalahan ini mengundang banyak polemik dan perdebatan-perdebatan. Kendatipun demikian, tampak bahwa pendapat yang bersifat paling menengahi di antara mazhab-mazhab tersebut adalah pendapat kedua. Hal itu dikarenakan menimbang persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh para ulama dalam masalah beramal dengan hadits dho’if tersebut yang menunjukkan bahwa hadits dho’if yang menjadi perdebatan di sini bukanlah hadits yang divonis palsu, melainkan hadits yang belum jelas kemungkinan kebenarannya (validitas) sehingga masih menyisakan peluang, dan peluang ini dapat diselesaikan ketika tidak ditemukan hadits lain yang menentangnya atau jika hadits tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip Islam sehingga dibenarkan beramal dengan hadits tersebut demi menjaga hak-haknya, tetapi dengan harus memiliki dasar dalam syariat islam sebelumnya.
Adapun anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwa beramal dengan hadits dho’if dalam masalah fadhail adalah sama dengan menciptakan ibadah baru dan membuat aturan baru dalam agama yang tidak direstui oleh Allah swt, maka hal itu telah dijawab oleh para ulama, mereka mengatakan bahwa diutamakannya beramal adalah sejalan dengan prinsip-prinsip dasar Islam yang menganjurkan beramal demi menjaga (berhati-hati) dalam masalah agama. Beramal dengan hadits dho’if termasuk dalam kategori ini, dengan demikian tak terdapat penambahan apapun dalam syariat Islam.
Menurut pandangan DR. Nuruddin 'Eter, seseorang yang mengamati persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh para ulama tersebut menafikan adanya peluang untuk menambah hal-hal baru dalam syariat. Hal itu tampak jelas dari syarat mereka bahwa sebuah hadits dho’if diharuskan tidak keluar dari koridor syariat dan prinsip-prinsip syar'i yang sudahbaku secara umum. Oleh karena itu, status hukum asal hal ini adalah legal menurut hukum syar'i, baru kemudian muncullah hadits dho’if tersebut yang tidak bertentangan dengan syariat.
Contoh:
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, sebagai berikut:
Abu Ahmad al-Marrar bin Hammuyah mengabarkan kami, ia berkata: Muhammad bin Mushaffa mengabarkan kami, ia berkata: Baqiyyah bin Al-Walid mengabarkan kami dari Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Mi'dan dari Abu Umamah dari Rasulullah saw bahwasannya beliau bersabda: "Barangsiapa yang mendirikan shalat pada dua malam hari raya dengan mengharapkan ridha Allah, maka hatinya takkan mati di saat hati-hati yang lain sedang mati".
Pada sanad tersebut, para perawi adalah Tsiqat, kecuali Tsaur bin Yazid, ia dituduh dengan tuduhan bid'ah Qadariyah. Akan tetapi dalam hal ini ia meriwayatkan hadits yang tidak ada sangkut pautnya dengan kebid'ahannya tersebut sehingga tidak berpengaruh terhadap haditsnya. Muhamad bin Mushaffa adalah seorang yang sangat jujur (Shaduq), ia banyak meriwayatkan hadits sehingga Ibnu Hajar memberikan label "Hafizh" kepadanya. Adz-Dzahabi berkomentar bahwa ia adalah seorang tsiqah masyhur (sangat terpercaya dan populer), akan tetapi dalam riwayat-riwayatnya terdapat riwayat yang munkar. Dalam sanad tersebut juga terdapat Baqiyyah bin Al-Walid, dia termasuk di antara jajaran para imam huffahz yang sangat jujur. Akan tetapi ia sering sekali melakukan tadlis (pengaburan) dari para perawi lemah (dho’if). Imam Muslim menukil riwayatnya hanya sebagai penguat saja (mutaba'ah). Sementara dia (Baqiyyah) tidak menyebutkan secara terus terang bahwa ia benar-benar telah mendengar hadits tersebut, sehingga hadits tersebut dianggap dho’if.
Para ulama berpendapat bahwa menghidupkan dua malam hari raya, baik dengan berzikir maupun ibadah-ibadah lainnya hukumnya sunnah (mustahab) sesuai dengan hadits dho’if ini, karena hadits dho’if boleh diamalkan dalam hal keutamaan-keutamaan amal sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya, Al-Adzkar.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa qiyamullail (shalat pada malam hari) dan mengisi malam tersebut dengan ibadah adalah sesuai anjuran agama sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah yang mutawatir. Mendekatkan diri kepada Allah dengan cara berdoa, berzikir dan lain sebagainya adalah perkara yang dianjurkan di setiap waktu dan tempat, termasuk dua malam hari raya.
Di sini tampak jelas bahwa hadits tersebut tidaklah membawa ajaran baru, melainkan membawa sesuatu yang bersifat parsial yang sejalan dengan prinsip-prinsip Syariat dan teks-teks syar'I secara umum sehingga tidak diragukan lagi bahwa beramal dengan hadits tersebut hukumnya adalah boleh.[9]

D.  MACAM – MACAM HADITS DHO’IF
Berdasarkan penelitian para ulama hadits, bahwa kedho’ifan suatu hadits bisa terjadi pada tiga tempat, yaitu pada sanad, matan dan pada perowi hadits. Dari bagi ketiga ini, lalu mereka membagi hadits ke dalam beberapa macam hadits dho’if.
  1. Dho’if ditinjau dari segi persambungan sanad.
Hadits yang tergolong dalam kelompok ini, diantaranya:
a.    Hadits Mursal
Hadits mursal adalah hadits yang disandarkan langsung oleh tabi’in pada Rosulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya, tabi’in yang di maksud bisa tabi’in kecil ataupun besar.
Pada dasarnya hukum hadits mursal adalah dho’if dan ditolak. Hal tersebut karena kurangnya (hilangnya) salah satu syarat ke-shahih-an dan syarat diterimanya suatu hadits, yaitu persambungan sanad. Selain itu juga tidak dikenalnya tentang keadaan perawi yang dihilangkan tersebut, sebab boleh jadi perawi yyang dihilangkan tersebut adalah bukan sahabat. Dengan adanya kemungkinan demikian, maka ada kemungkinan hadits tersebut adalah dho’if.
b.    Hadits Munqothi’
Hadits munqothi’ adalah hadits yang gugur pada sanadnya seorang perawi atau pada sanad tersebutkan seseorang yang tidak dikenal namanya. Tetapi kebanyakan ulama hadits menggunakan istilah Munqothi’ secara umum, meliputi setiap hadits yang terputus sanadnya seperti hadits mursal, mu’dhal, dan mu’allaq.
c.    Hadits Mu’dhal
Hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang sanadnya atau lebih secara berturut-turut. Dengan pengertian diatas, menunjukkan bahwa hadits mu’dhal berbeda dengan hadits munqothi’. Pada hadits mu’dhal, gugurnya dua orang perawi terjadi secara berturut-turut. Sedangkan pada hadits munqothi’, gugurnya dua orang perawi, terjadi secara terpisah ( tidak berturut-turut).[10]
d.   Hadits Mu’allaq
Hadits mu’allaq adalah hadits yang dihapus dari awal sanadnya seorang perawi atau lebih secara berturut-turut.
Hadits mu’allaq hukumnya adalah mardud (tertolak), karena tidak terpenuhinya salah satu syarat qabul, yaitu persambungan sanad, yang dalam hal ini adalah dihapuskannya satu orang perawi atau lebih dari sanadnya, sementara keadaan perawi yang di hapuskan tersebut tidak diketahui.
e.    Hadits mudallas
Kata “Mudallas” secara etimologi diambil dari kata “dals” yang berarti “bercampurnya gelap dan terang”, dan kata itu digunakan untuk menyebut sebuah hadits yang didalmnya mengandung unsur-unsur kesamaan dengan unsur-unsur yang dikandung oleh makna kata tersebut. Sedang pengertian hadits mudallas menurut terminologi ialah hadits yang disamarkan oleh rawi dengan berbagai macam penyamaran.
Hadits mudallas ada dua macam yaitu:
-          Tadlisu Al Sanad
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi dari orang yang satu masa dengannya, namun disebutkan seolah-olah dia benar-benar mendengar darinya, agar hadits tersebut dipandang baik.
-          Tadlisu Al Syuyuukhi
Yaitu meriwayatkan hadits yang didengarnya dari seorang guru, namun dia menyebut nama gurunya itu dengan menggunakan sebutan yang tidak populer misalnya dengan menggunakan nama kuniahnya, nisbatnya atau sifatnya dengan pertimbangan agar tidak di ketahui dengan jelas identitas gurunya yang lemah, sehingga tertutupi kelemahannya.[11]
2.      Dho’if ditinjau dari segi cacatnya perawi.
Yang dimaksud dengan cacat pada perawi adalah terdapatnya kekurangan atau cacat pada diri perawi, baik dari segi keadilannya, agama, atau dari segi ingatan, hafalan, dan ketelitiannya.
Cacat yang berhubungan dengan keadilan perawi diantaranya adalah berbohong, dituduh berbohong, fasik, berbuat bid’ah dan tidak diketahui keadaanya.
Cacat yang berhubungan dengan ingatan dan hafalan adalah sangat keliru/ sangat dalam kesalahannya, buruk hafalannya, lalai, banyak prasangka dan menyalahi perawi yang tsiqah.
Macam-macam hadits dho’if berdasarkan cacat yang dimiliki oleh perawinya  yaitu :
a.       Hadits Matruk
Hadits Matruk adalah hadits yang perawinya mempunyai cacat tertuduh dusta, pembohong atau pendusta.
b.      Hadits Munkar
Hadits munkar adalah hadits yang terdapat pada sanadnya seorang perawi yang sangat keliru, atau sering kali lalai dan terlihat kefasikannya secara nyata.
c.       Hadits Mu’allal
Hadits Mu’allal adalah hadits yang perawinya cacat karena al-wahm, yaitu banyaknya dugaan atau sangkaan yang tidak mempunyai landasan yang kuat.


d.      Hadits Mudroj
Hadits mudroj adalah hadits yang terdapat tambahan yang bukan dari hadits tersebut.
e.       Hadits Maqlub
Hadits maqlub adalah hadits yang mengganti suatu lafadz dengan lafadz yang lain pada sanad hadits atau pada matannya dengan cara mendahulukan atau mengakhirkannya.
f.       Hadits Mudhorib
Hadits mudhorib adalah hadits yang diriwayatkan dalam beberapa bentuk yang berlawanan yang masing-masing sama-sama kuat.
g.      Hadits Mushoffaf
Hadits mushoffaf adalah  mengubah kalimat yang terdapat pada suatu hadits menjadi kalimat yang tidak diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqoh, baik secara lafadz maupun maknanya.[12]
h.      Hadits Syadz
Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang maqbul, namun bertentangan dengan riwayat perawi yang lebih tsiqat atau yang lebih baik dari padanya.[13]













BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
Setelah memahami, membuat dan mempelajari makalah ini maka penyusun dapat menyimpulkan:
1.      Secara etimologi, kata dho’if berasal dari bahasa Arab dhuf’un yang berarti lemah, dan yang dimaksud hadits dho’if dari segi bahasa berarti hadits yang lemah atau tidak kuat. Secara terminologi, di antara para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadits dho’if ini. Akan tetapi, pada dasarnya, isi dan maksudnya adalah sama yaitu hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul.
2.      Kedudukan hadits dho’if dalam hukum islam yaitu berada setelah hadits shahih dan hadits  hasan.
3.      Terdapat 3 madzhab pendapat para ulama mengenai pengamalan hadits dho’if, yaitu :
a.       Mazhab Pertama mengatakan bahwa hadits dho’if boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam masalah halal, haram, fardh maupun wajib dengan syarat tidak ditemukan hadits lain dalam bab tersebut.
b.      Mazhab kedua mengatakan mempergunakan hadits yang dho’if untuk fadha ‘ilul a’mal, baik untuk yang bersifat targhib maupun yang bersifat tarhib, yaitu sepanjang hadits tersebut belum sampai ke derajat maudhu (palsu). Imam An-Nawawi memperingatkan bahwa diperbolehkannya hal tersebut bukan untuk menetapkan hukum, melainkan hanya untuk menerangkan keutamaan amal, yang hukumnya telah ditetapkan oleh hadits shahih, setidak-tidaknya hadits hasan.
c.       Mazhab ketiga mengatakan bahwa mengamalkan hadits dho’if adalah tidak boleh secara mutlak, baik dalam masalah fadhail amal maupun halal dan haram.
4.      Berdasarkan ke-dho’if-an suatu hadits, maka hadits dho’if terbagi atas :
a.       Dho’if ditinjau dari segi persambungan sanadnya : Hadits Mursal, Hadits Munqothi, Hadits Mu’dhal, Hadits Mu’allaq, Hadits Mudallas
b.      Dho’if ditinjau dari segi cacatnya perawi : Hadits Matruk, Hadits Munkar, Hadits Mu’allal, Hadits Mudroj, Hadits Maqlub, Hadits Mudhorib, Hadits Mushoffaf, dan Hadits Syadz.

B.       SARAN
Saran yang dapat kami berikan terkait pembahasan Hadots Dho’if ini adalah :
1.      Bagi pembaca diharapkan dapat membedakan hadits dho’if dengan hadits lainnya.
2.      Untuk lebih memahami mengenai hadits dho’if, diharapkan pembaca dapat mencari lebih banyak lagi informasi dari berbagai sumber.





















DAFTAR PUSTAKA
Al Maliki , Muhammad Alawi; 2009; Ilmu Ushul Hadis; Pustaka Pelajar; Yogyakarta.
Ash Shiddieqy, M. Hasbi; 1987; Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid 1; PT Bulan Bintang; Jakarta.
Ichwan , Mohammad Nor; 2007; Study Ilmu Hadits; Rasail Media Group; Semarang.
Mudasir; 1999; Ilmu Hadits; Pustaka Setia; Bandung.
Suparto, Munzier; 2003; Ilmu  Hadits; PT RajaGrafindo Persada;  Jakarta.
Yuslem , Nawir; 2001; Ulumul Hadits;  PT Mutiara Sumber Widya; Jakarta.


[1] Munzier  Suparto, Ilmu  Hadis, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2003) hlm 175
[2] Mohammad Nor Ichwan, Study Ilmu Hadits, (Semarang: Rasail Media Group, 2007), hlm 133
[3] Drs.H.Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung:Pustaka Setia, 1999), hlm 156-157
[4] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid 1, (Jakarta : PT Bulan Bintang, 1987), hlm 220
[5] Drs.H.Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung:Pustaka Setia, 1999), hlm 156-157
[10]  Munzier  Suparto, Ilmu  Hadis, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2003) hal 157
[11]  Muhammad Alawi Al Maliki,  Ilmu Ushul Hadis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal 95-98
[12] Mohammad Nor Ichwan, Study Ilmu Hadits, (Semarang: Rasail Media Group, 2007), hlm 133-146
[13] Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, (Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya, 2001), hlm 278

Tidak ada komentar:

Posting Komentar