Selasa, 21 Mei 2013

hukum-hukum Islam


                                                                       BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
 remaja adalah generasi penerus bangsa. Oleh karena itu, remaja perlu di didik dan mengetahui lebih mendalam tentang hokum islam dengan sebaik-baiknya melalui berbagai wadah atau lembaga pendidikan, sehingga dapat mencapai harapan yang diinginkan bersama dan menjadi remaja islam yang seutuhnya

1.2  Tujuan
Tujuan Masyarakat meyakini bahwa Al qur’an, As Sunah, dan Ijtihad sebagai kesatuan yang tidak berdiri sendiri Masyarakat memahami ruang lingkup Al Qur’an, As Sunah, dan ijtihad
Masyarakat termotivasi untuk mempelajari hukum-hukum Islam

1.3  Rumusan Masalah
  • Apa pengertian hukum islam ?
  • Apa pengertian Al Qur’an ?
  • Apa pengertian As Sunah ?
  • Apa pengertian Ijtihad ?














BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sumber Sumber hukum Islam
Sumber-sumber hukum islam (mashadir al-syari’at) adalah dalil –dalil syari’at yang darinya hukum syari’at digali. Sumber-sumber hukum islam dalam pengklasifikasiannya didasarkan pada dua sisi pandang. Wahbah al-Zuhaili memaparkan analisisnya mengenai sumber-sumber islam secara ringkas. Menurutnya batasan ringkas mengenai dalil ini bahwasanya dalil-dalil adakalanya merupakan wahyu dan bukan wahyu. Dalil yg merupakan wahyu adakalanya dibacakan dan tidak dibacakan. Wahyu yg dibacakan adalah al-Qur’an dan wahyu yg tidak dibacakan adalah al-sunah. Sedangkan dalil yg bukan merupakan wahyu bila merupakan kesepakatan pendapat atau analisis mujtahid disebut ijma’, bila meruapakan analogi suatu hal terhadap hal lain mengenai status hukumnya Karena adanya persamaan dalam ‘illatnya maka disebut qiyas. Sedangkan bila tidak memiliki criteria-kriteria di atas maka dinamakan istidlal,dan klasifikasi ini memiliki bermacam-macam jenis. 
Selanjutnya ia mengulas sisi independensi dalil-dalil ini menjadi dua klasifikasi. Dalil –dalil ini adakalanya merupakan sumber hukum mandiri dalam pensyari’atan yaitu al-Qur’an, al-sunah,ijma’ dan sumber-sumber yg berkaiatn dengannya sebagaimana istihsan,’urf dan madzhab sahabat. Adakalanya dalil-dalil ini merupakan sumber hukum islam yg memiliki ketergantungan, tidak mandiri yaitu qiyas. Yang dimaksud dalil mandiri adalah bahwa sumber hukum ini dalam penetapan hukumnya tidak membutuhkan pada yang lain. Sedangkan qiyas diklasifikasikan tidak mandiri karena dalam penetapan hukum ia masih membutuhkan pada ashl (kasus lama) atau maqis ‘alaih (sumber analogi) yg terdapat dalam al-Qur’an,al-sunah,dan ijma’. Selain itu dalam penggunaannya qiyas membutuhkan pengetahuan dan analisis yg mendalam tentang ‘illat dari hukum ashl. Sedangkan ijma’ walaupun dalam penggunaannya masih membutuhkan sandaran namun hal ini tidak mencegah keberadaanya sebagai dalil mandiri karena hal tersebut dibutuhkan sebagai legalitas dan keabsahan ijma’ sebagai sumber hukum,bukan dari sisi istidlal (penggalian hukumnya) nya, berbeda dengan qiyas. Kata-kata sumber dalam hukum Islam merupakan terjemah dari kata mashadir yang berarti wadah ditemukannya dan ditimbanya norma hukum. Sumber hukum Islam yang utama adalah Al Qur’an dan sunah. Selain menggunakan kata sumber, juga digunakan kata dalil yang berarti keterangan yang dijadikan bukti atau alasan suatu kebenaran. Selain itu, ijtihad, ijma’, dan qiyas juga merupakan sumber hukum karena sebagai alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al Qur’an dan sunah Rasulullah SAW
Secara sederhana hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu; berlaku mengikat, untuk seluruh anggotanya”. Bila definisi ini dikaitkan dengan Islam atau syara’ maka hukum Islam berarti: “seperangkat peraturan bedasarkan wahyu Allah SWT dan sunah Rasulullah SAW tentang tingkah laku manusia yang dikenai hukum (mukallaf) yang diakui dan diyakini mengikat semua yang beragama Islam”. Maksud kata “seperangkat peraturan” disini adalah peraturan yang dirumuskan secara rinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat, baik di dunia maupun di akhirat.

2.2 Pengertian Al Qur’an
Al Qur’an Adalah wahyu-wahyu dari Allah SWT yang diturunkan secara berangsur-angsur (mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Al Qur’an diawali dengan surat Al Fatihah, diakhiri dengan surat An Nas. Membaca Al Qur’an merupakan ibadah.
Al Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu menngikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangnannya
Al Qur’an memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat manusia.
a. Tuntunan yang berkaitan dengan keimanan/akidah, yaitu ketetapan yantg berkaitan dengan iman kepada Allah SWT, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir, serta qadha dan qadar
b. Tuntunan yang berkaitan dengan akhlak, yaitu ajaran agar orang muslim memilki budi pekerti yang     baik serta etika kehidupan.
c. Tuntunan yang berkaitan dengan ibadah, yakni shalat, puasa, zakat dan haji.
d. Tuntunan yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia dalam masyarakat
Isi kandungan Al Qur’an
Isi kandungan Al Qur’an dilihat dari segi kuantitas dan kualitas.
1. Segi Kuantitas
Al Quran terdiri dari 30 Juz, 114 surat, 6.236 ayat, 323.015 huruf dan 77.439 kosa kata
2. Segi Kualitas
Isi pokok Al Qur’an (ditinjau dari segi hukum) terbagi menjadi 3 (tiga) bagian:
a. Hukum yang berkaitan dengan ibadah: hukum yang mengatur hubungan rohaniyah dengan Allah SWT dan hal – hal lain yang berkaitan dengan keimanan. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam
b. Hukum yang berhubungan dengan Amaliyah yang mengatur hubungan dengan Allah, dengan sesama dan alam sekitar. Hukum ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syariat. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fiqih
c. Hukum yang berkaitan dngan akhlak. Yakni tuntutan agar setiap muslim memiliki sifat – sifat mulia sekaligus menjauhi perilaku – perilaku tercela.
Bila ditinjau dari Hukum Syara terbagi menjadi dua kelompok:
a. Hukum yang berkaitan dengan amal ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah dan sebagainya yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan tuhannya.
b. Hukum yang berkaitan dengan amal kemasyarakatan (muamalah) seperti perjanjian perjanjian, hukuman (pidana), perekonomian, pendidikan, perkawinan dan lain sebagainya.
Hukum yang berkaitan dengan muamalah meliputi:
1. Hukum yang berkaitan dengan kehidupan manusia dalam berkeluarga, yaitu perkawinan dan warisan
2. Hukum yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu yang berhubungan dengan jual beli (perdagangan), gadai-menggadai, perkongsian dan lain-lain. Maksud utamanya agar hak setiap orang dapat terpelihara dengan tertib
3. Hukum yang berkaitan dengan gugat menggugat, yaitu yang berhubungan dengan keputusan, persaksian dan sumpah
4. Hukum yang berkaitan dengan jinayat, yaitu yang berhubungan dengan penetapan hukum atas pelanggaran pembunuhan dan kriminalitas
5. Hukum yang berkaitan dengan hubungan antar agama, yaitu hubungan antar kekuasan Islam dengan non-Islam sehingga tercpai kedamaian dan kesejahteraan.
6. Hukum yang berkaitan dengan batasan pemilikan harta benda, seperti zakat, infaq dan sedekah.
Ketetapan hukum yang terdapat dalam Al Qur’an ada yang rinci dan ada yang garis besar. Ayat ahkam (hukum) yang rinci umumnya berhubungan dengan masalah ibadah, kekeluargaan dan warisan. Pada bagian ini banyak hukum bersifat ta’abud (dalam rangka ibadah kepada Allah SWT), namun tidak tertutup peluang bagi akal untuk memahaminya sesuai dengan perubahan zaman. Sedangkan ayat ahkam (hukum) yang bersifat garis besar, umumnya berkaitan dengan muamalah, seperti perekonomian, ketata negaraan, undang-undang sebagainya. Ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan masalah ini hanya berupa kaidah-kaidah umum, bahkan seringkali hanya disebutkan nilai-nilainya, agar dapat ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman.
Selain ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan hukum, ada juga yang berkaitan dengan masalah dakwah, nasehat, tamsil, kisah sejarah dan lain-lainnya. Ayat yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut jumlahnya banyak sekali.


2.3 Pengertian As Sunah

As Sunah  merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:
Artinya: “ … Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hasyr : 7)
Perintah meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan seluruh perilaku Nabi Muhammad SAW mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan cerminan akhlak mulia. Apabila seseorang bisa meneladaninya maka akan mulia pula sikap dan perbutannya. Hal tersebut dikarenakan Rasulullah SAW memilki akhlak dan budi pekerti yang sangat mulia. Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua, juga dinyatakan oleh Rasulullah SAW:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوْا اَبَدًا كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةُ رَسُوْلِهِ ( رواه همام ما لك)
Artinya: “Aku tinggalkan dua perkara untukmu seklian, kalian tidak akan sesat selama kalian berpegangan kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunah rasulnya”. (HR Imam Malik)
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki kedua fungsi sebagai berikut.
Memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al Qur’an, sehingga kedunya (Al Qur’an dan Hadits) menjadi sumber hukum untuk satu hal yang sama. Misalnya Allah SWT didalam Al Qur’an menegaskan untuk menjauhi perkataan dusta, sebagaimana ditetapkan dalam firmannya :
Artinya: “…Jauhilah perbuatan dusta…” (QS Al Hajj : 30)
Ayat diatas juga diperkuat oleh hadits-hadits yang juga berisi larangan berdusta.
1. Memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang masih bersifat umum. Misalnya, ayat Al Qur’an yang memerintahkan shalat, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji, semuanya bersifat garis besar. Seperti tidak menjelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara melaksanakan shalat, tidak merinci batas mulai wajib zakat, tidak memarkan cara-cara melaksanakan haji. Rincian semua itu telah dijelaskan oelh rasullah SAW dalam haditsnya. Contoh lain, dalam Al Qur’an Allah SWT mengharamkan bangkai, darah dan daging babi. Firman Allah sebagai berikut:
Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging babi…” (QS Al Maidah : 3)
Dalam ayat tersebut, bangkai itu haram dimakan, tetap tidak dikecualikan bangkai mana yang boleh dimakan. Kemudian datanglah hadits menjelaskan bahwa ada bangkai yang boleh dimakan, yakni bangkai ikan dan belalang. Sabda Rasulullah SAW:
اُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَ دَمَانِ, فَامَّا الْمَيْتَتَانِ : الْحُوْتُ وَالْجَرَادُ, وَاَمَّا
الدَّمَانِ : فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالِ ( رواه ابن الماجه و الحاكم)
Artinya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan dan belalalng, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa…” (HR Ibnu Majjah)
2. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al Qur’an. Misalnya, cara menyucikan bejana yang dijilat anjing, dengan membasuhnya tujuh kali, salah satunya dicampur dengan tanah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
طُهُوْرُ اِنَاءِ اَحَدِكُمْ اِذَا وَلِغَ فِيْهِ الْكَلْبُ اَنْ يُغْسِلَ سَبْعَ مَرَّاتٍ اَوْلَهِنَّ بِالتُّرَابِ ( رواه مسلم و هحمد و هبو داود و البيهقى)
Artinya: “Mennyucikan bejanamu yang dijilat anjing adlah dengan cara membasuh sebanyak tujuh kali salah satunya dicampur dengan tanah” (HR Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Baihaqi)
Hadits menurut sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai berikut:
1. Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat, dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohehan suatu hadits
2. Hadits Makbul, adalah hadits-hadits yang mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima sebagai Hujjah. Yang termasuk Hadits Makbul adalah Hadits Shohih dan Hadits Hasan
3. Hadits Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat dan kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul biasanya dibuat hujjah untuk sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau tidak terlalu penting
4. Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhi
Adapun syarat-syarat suatu hadits dikatakan hadits yang shohih, yaitu:
1. Rawinya bersifat adil
2. Sempurna ingatan
3. Sanadnya tidak terputus
4. Hadits itu tidak berilat, dan
5. Hadits itu tidak janggal
2.4 Pengertian Ijtihad
Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits, dengan menggunkan akal pikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukumyang telah ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga. Hasil ini berdasarkan dialog nabi Muhammad SAW dengan sahabat yang bernama muadz bin jabal, ketika Muadz diutus ke negeri Yaman. Nabi SAW, bertanya kepada Muadz,” bagaimana kamu akan menetapkan hukum kalau dihadapkan pada satu masalah yang memerlukan penetapan hukum?”, muadz menjawab, “Saya akan menetapkan hukumdengan Al Qur’an, Rasul bertanya lagi, “Seandainya tidak ditemukan ketetapannya di dalam Al Qur’an?” Muadz menjawab, “Saya akan tetapkan dengan Hadits”. Rasul bertanya lagi, “seandainya tidak engkau temukan ketetapannya dalam Al Qur’an dan Hadits”, Muadz menjawab” saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri” kemudian, Rasulullah SAW menepuk-nepukkan bahu Muadz bi Jabal, tanda setuju. Kisah mengenai Muadz ini menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam setelah Al Qur’an dan hadits.
Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi bebrapa syarat berikut ini:
1. mengetahui isi Al Qur’an dan Hadits, terutama yang bersangkutan dengan hukum
2. memahami bahasa arab dengan segala kelengkapannya untuk menafsirkan Al Qur’an dan hadits
3. mengetahui soal-soal ijma
4. menguasai ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih yang luas.
Islam menghargai ijtihad, meskipun hasilnya salah, selama ijtihad itu dilakukan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Dalam hubungan ini Rasulullah SAW bersabda:
اِذَا حَكَمَ الْحَاكِمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَصَابَ فَلَهُ اَجَرَانِ وَ اِذَا حَكَمَ وَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ ( رواه البخارى و مسلم )
Artinya: “Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim)
Islam bukan saja membolehkan adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad, tetapi juga menegaskan bahwa adanya beda pendapat tersebut justru akan membawa rahmat dan kelapangan bagi umat manusia. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:
…اِخْتِلاَ فِ اُمَّتِيْ رَحْمَةٌ (رواه نصر المقدس)
Artinya: ”… Perbedaan pendapat di antara umatku akan membawa rahmat” (HR Nashr Al muqaddas)
Dalam berijtihad seseorang dapat menmpuhnya dengan cara ijma’ dan qiyas. Ijma’ adalah kese[akatan dari seluruh imam mujtahid dan orang-orang muslim pada suatu masa dari beberapa masa setelah wafat Rasulullah SAW. Berpegang kepada hasil ijma’ diperbolehkan, bahkan menjadi keharusan. Dalilnya dipahami dari firman Allah SWT:
Artinya: “Hai orang-oran yang beriman, taatilah Allah dan rasuknya dan ulil amri diantara kamu….” (QS An Nisa : 59)
Dalam ayat ini ada petunjuk untuk taat kepada orang yang mempunyai kekuasaan dibidangnya, seperti pemimpin pemerintahan, termasuk imam mujtahid. Dengan demikian, ijma’ ulam dapat menjadi salah satu sumber hukum Islam. Contoh ijam’ ialah mengumpulkan tulisan wahyu yang berserakan, kemudian membukukannya menjadi mushaf Al Qur’an, seperti sekarang ini
Qiyas (analogi) adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada hukumnya dengan kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena antara keduanya terdapat persamaan illat atau sebab-sebabnya. Contohnya, mengharamkan minuman keras, seperti bir dan wiski. Haramnya minuman keras ini diqiyaskan dengan khamar yang disebut dalam Al Qur’an karena antara keduanya terdapat persamaan illat (alasan), yaitu sama-sama memabukkan. Jadi, walaupun bir tidak ada ketetapan hukmnya dalam Al Qur’an atau hadits tetap diharamkan karena mengandung persamaan dengan khamar yang ada hukumnya dalam Al Qur’an.
Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya mengetahui Rukun Qiyas, yaitu:
1. Dasar (dalil)
2. Masalah yang akan diqiyaskan
3. Hukum yang terdapat pada dalil
4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan
Bentuk Ijtihad yang lain
• Istihsan/Istislah, yaitu mentapkan hukum suatu perbuatan yang tidak dijelaskan secara kongret dalam Al Qur’an dan hadits yang didasarkan atas kepentingan umum atau kemashlahatan umum atau unutk kepentingan keadilan
• Istishab, yaitu meneruskan berlakunya suatu hukum yang telah ada dan telah ditetapkan suatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan dari hukum tersebut
• Istidlal, yaitu menetapkan suatu hukum perbuatan yang tidak disebutkan secara kongkret dalam Al Qur’an dan hadits dengan didasarkan karena telah menjadi adat istiadat atau kebiasaan masyarakat setempat. Termasuk dalam hal ini ialah hukum-hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat istiadat dan hukum agama sebelum Islam bisa diakui atau dibenarkan oleh Islam asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Al Qur’an dan hadits
• Maslahah mursalah, ialah maslahah yang sesuai dengan maksud syarak yang tidak diperoeh dari pengajaran dalil secara langsung dan jelas dari maslahah itu. Contohnya seperti mengharuskan seorang tukang mengganti atau membayar kerugian pada pemilik barang, karena kerusakan diluar kesepakatan yang telah ditetapkan.
• Al ‘Urf, ialah urursan yang disepakati oelh segolongan manusia dalam perkembangan hidupnya
• Zara’i, ialah pekerjaan-pekerjaan yang menjadi jalan untuk mencapai mashlahah atau untuk menghilangkan mudarat.







































BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Hukum Islam terdiri dari Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijtihad. Ketiga bagian ini tidak bisa berdiri sendiri. Seorang muslim tidak bisa hanya beriman tapi tidak shalat, atau shalat tapi berakhlak buruk. Kekuatan akidah akan terpancar melalui amal syariat dan akhlak. Walaupun akidah berada dalam hati, namun dapat diperkirakan melalui perbuatan dan kebiasaan. Amal ibadah dan muamalah, turut menjaga kadar keimanan dalam hati. Seorang muslim yang memiliki akhlak, akan menjaga dirinya dari bermain-main dengan Syariat, mencari-cari celah, dan memelintir dalil. Akhlak merupakan ihsan dalam setiap aspek kehidupan kita, baik dalam menjaga akidah, maupun dalam menjalankan syariat. Jika akidah adalah pondasi, syariat ialah penyangga, maka akhlak merupakan atap yang menyempurnakan bangunan Islam.

3.2. Saran
Melalui penelitian kepustakaan, Adanya kenyataan yang demikian pada Masyarakat, maka diharapkan dapat lebih memahami dan mengerti tentang suber hokum islam dan pembagiannya, sehingga masyarakat mempunyai bekal dan pedoman hidup yang jelas.































DAFTAR PUSTAKA

  • Aboebakar Atjeh, H. Sumber Sumber Hukum Islam. Yudistira.Jakarta.2009    
  • kamudaponti.blogspot.com/.../tugas-sumber-hukum-islam-awal.html -
  • prince-mienu.blogspot.com/.../makalah-tentang-sumber hokum islam-hubungan.html






Tidak ada komentar:

Posting Komentar