Jumat, 17 Mei 2013

makalah hukum perikatamn jual beli


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Larat Belakang
Peristiwa jual beli merupakan bagian dari hukum perdata yang apabila terjadi suatu perkara merupakan hal yang dapat dituntut atau diajukan tuntutannya di depan pengadilan. Faktanya; Peristiwa jual beli kerap kali kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari namun pada umumnya kita tidak benar-benar menyadari bahwa apa yang kita lakukan adalah suatu perbuatan hukum yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum apabila terjadi  kecurangan atau salah satu pihak mengingkari adanya perjanjian tersebut. Jadi apapun yang kita lakukan dalam suatu jual beli dapat di tuntuk ke muka hukum apabila ada sebuah kecurangan didalamnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian dari jual beli tersebut?
2.      Apa saja syarat-syarat dan asas dari jual beli tersebut?
3.      Siapa yang menjadi objek dari jual beli?
4.      Kewajiban apakah yang harus terpenuhi dalam transaksi jual beli?
5.      Bagaimana bentuk-bentuk dalam jual beli?
6.      Apasaja resiko-resiko yang terdapat dalam jual beli?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahu tentang apa itu jual beli
2.      Untuk mengetahui syarat-syarat dan asas dari jual beli tersebut
3.      Mengetahui objek-objek dari jual beli
4.      Mengetahui Kewajiban yang harus terpenuhi dalam transaksi jual beli
5.      Memahami bentuk-bentuk dalam jual beli
6.      memahami resiko-resiko yang terdapat dalam jual beli


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Perjanjian Jual Beli
Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara khusus terhadap perjanjian ini. Pengaturan perjanjian bernama dapat diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata maupun Kitab Undang-undang Hukum Dagang.
Perjanjian jual beli diatur dalam pasal 1457-1540 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual berjanji menyerahkan sesuatu barang / benda, dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga.
Dari pengertian yang diberikan pasal 1457 diatas, persetujuan jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban yaitu :[1]
1.      Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.
2.      Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada penjual.
Menurut Salim H.S., S.H.,M.S., Perjanjian jual beli adalah Suatu Perjanjian yang dibuat antara pihak penjual dan pihak pembeli.[2] Di dalam perjanjian itu pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual beli kepada pembeli dan berhak menerima harga dan pembeli berkewajiban untuk membayar harga dan berhak menerima objek tersebut.[3] Unsur yang terkandung dalam defenisi tersebut adalah :
a.       Adanya subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli
b.      Adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga
c.       Adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan pembeli
Unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga, dimana antara penjual dan pembeli harus ada kata sepakat tentang harga dan benda yang menjadi objek jual beli. Suatu perjanjian jual beli yang sah lahir apabila kedua belah pihak telah setuju tentang harga dan barang. Sifat konsensual dari perjanjian jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal 1458 yang berbunyi “ jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang ini belum diserahkan maupun harganya belum dibayar ”.[4]
Apabila terjadi kesepakatan mengenai harga dan barang namun ada hal lain yang tidak disepakati yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut, jual beli tetap tidak terjadi karena tidak terjadi kesepakatan. Akan tetapi, jika para pihak telah menyepakati unsur esensial dari perjanjian jual beli tersebut, dan para pihak tidak mempersoalkan hal lainnya, klausul-klausul yang dianggap berlaku dalam perjanjian tersebut merupakan ketentuan-ketentuan tentang jual beli yang ada dalam perundang-undangan (BW) atau biasa disebut unsur naturalia.[5]
Walaupun telah terjadi persesuaian antara kehendak dan pernyataan, namun belum tentu barang itu menjadi milik pembeli, karena harus diikuti proses penyerahan (levering) benda yang tergantung kepada jenis bendanya yaitu :[6]
1.      Benda Bergerak
Penyerahan benda bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata dan kunci atas benda tersebut.
2.      Piutang atas nama dan benda tak bertubuh
Penyerahan akan piutang atas nama dan benda tak bertubuh lainnya dilakukan dengan sebuah akta otentik atau akta di bawah tangan.
3.      Benda tidak bergerak
Untuk benda tidak bergerak, penyerahannya dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan, di Kantor Penyimpan Hipotek.

B.     Asas-asas dan syarat Perjanjian Jual Beli
Asas-asas yang terdapat dalam suatu perjanjian umumnya terdapat dalam perjanjian jual beli. Dalam hukum perjanjian ada beberapa asas, namun secara umum asas perjanjian ada lima yaitu :[7]
1.      Asas Kebebasan Berkontrak
Asas Kebebasan Berkontrak dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas Kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :[8]
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian,
b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun,
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan
d. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang paling penting di dalam perjanjian karena di dalam asas ini tampak adanya ungkapan hak asasi manusia dalam membuat suatu perjanjian serta memberi peluang bagi perkembangan hukum perjanjian.
2.      Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dapat dilihat dalam pasal 1320 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa salah satu syarat adanya suatu perjanjian adalah adanya kesepakatan dari kedua belah pihak.[9] Asas konsensualisme mengandung pengertian bahwa suatu perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal melainkan cukup dengan kesepakatan antara kedua belah pihak saja. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan dari kedua belah pihak.
3.      Asas mengikatnya suatu perjanjian
Asas ini terdapat dalam pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimana suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi pembuatnya. Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang.
4.      Asas iktikad baik (Goede Trouw)
Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata). Iktikad baik ada dua yaitu :[10]
a.       Bersifat objektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan. Contoh, Si A melakukan perjanjian dengan si B membangun rumah. Si A ingin memakai keramik cap gajah namun di pasaran habis maka diganti cap semut oleh si B.
b.      Bersifat subjektif, artinya ditentukan sikap batin seseorang. Contoh, si A ingin membeli motor, kemudian datanglah si B (penampilan preman) yang mau menjual motor tanpa surat-surat dengan harga sangat murah. Si A tidak mau membeli karena takut bukan barang halal atau barang tidak legal.
5.      Asas Kepribadian
Pada umumnya tidak seorang pun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri. Pengecualiannya terdapat dalam pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang janji untuk pihak ketiga.
Namun, menurut Mariam Darus ada 10 asas perjanjian, yaitu :[11]
1.        Kebebasan mengadakan perjanjian
2.        Konsensualisme
3.        Kepercayaan
4.        Kekuatan Mengikat
5.        Persamaan Hukum
6.        Keseimbangan
7.        Kepastian Hukum
8.        Moral
9.        Kepatutan
10.    Kebiasaan
Syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang terdapat dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan syarat sahnya perjanjian jual beli dimana perjanjian jual beli merupakan salah satu jenis dari perjanjian. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa syarat dari sahnya perjanjian adalah :
1.      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Syarat pertama untuk sahnya suatu perjanjian adalah adanya suatu kesepakatan atau konsensus pada para pihak. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian kehendak antara para pihak dalam perjanjian. Jadi dalam hal ini tidak boleh adanya unsur pemaksaan kehendak dari salah satu pihak pada pihak lainnya. Sepakat juga dinamakan suatu perizinan, terjadi oleh karena kedua belah pihak sama-sama setuju mengenai hal-hal yang pokok dari suatu perjanjian yang diadakan. Dalam hal ini kedua belah pihak menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Ada lima cara terjadinya persesuaian kehendak, yaitu dengan :[12]
a.       Bahasa yang sempurna dan tertulis
b.      Bahasa yang sempurna secara lisan
c.       Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan.
Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya.
d.      Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya
e.       Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan
Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa terjadinya kesepakatan dapat terjadi secara tertulis dan tidak tertulis . Seseorang yang melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan dengan akta otentik maupun akta di bawah tangan. Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat oleh para pihak tanpa melibatkan pejabat yang berwenang membuat akta. Sedangkan akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang. Menurut pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kata sepakat tidak didasarkan atas kemauan bebas / tidak sempurna apabila didasarkan :
a.       Kekhilafan (dwaling)
b.      Paksaan (geveld)
c.       Penipuan (bedrog)
Dengan adanya kesepakatan, maka perjanjian tersebut telah ada dan mengikat bagi kedua belah pihak serta dapat dilaksanakan.
2.      Cakap untuk membuat suatu perjanjian
Cakap artinya adalah kemampuan untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang dalam hal ini adalah membuat suatu perjanjian. Perbuatan hukum adalah segala perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum. Orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan adalah berumur 21 tahun sesuai dengan pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pasal 1330 disebutkan bahwa orang yang tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah :
a.       Orang yang belum dewasa
b.      Orang yang dibawah pengampuan
c.       Seorang istri. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya.
3.      Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu disebut juga dengan objek perjanjian. Objek perjanjian harus jelas dan ditentukan oleh para pihak yang dapat berupa barang maupun jasa namun juga dapat berupa tidak berbuat sesuatu. Objek Perjanjian juga biasa disebut dengan Prestasi. Prestasi terdiri atas :[13]
a.       memberikan sesuatu, misalnya membayar harga, menyerahkan barang.
b.      berbuat sesuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak, membangun rumah, melukis suatu lukisan yang dipesan.
c.       tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk tidak mendirikan suatu bangunan, perjanjian untuk tidak menggunakan merek dagang tertentu.
Prestasi dalam suatu perikatan harus memenuhi syarat-syarat :[14]
a.       Suatu prestasi harus merupakan suatu prestasi yang tertentu, atau sedikitnya dapat ditentukan jenisnya. Misalnya : A menyerahkan beras kepada B 1 kwintal.
b.      Prestasi harus dihubungkan dengan suatu kepentingan.
Tanpa suatu kepentingan orang tidak dapat mengadakan tuntutan. Misalnya Concurrentie Beding (syarat untuk tidak bersaingan). Contoh: A membeli pabrik sepatu dari B dengan syarat bahwa B tidak boleh mendirikan pabrik yang memproduksi sepatu pula. Karena A menderita kerugian, maka pabrik sepatu diganti dengan produk lain. Dalam hal ini B boleh mendirikan pabrik sepatu lagi, karena antara A dan B sekarang tidak ada kepentingan lagi
c.       Prestasi harus diperbolehkan oleh Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
d.      Prestasi harus mungkin dilaksanakan.
4.      Suatu sebab yang halal
Di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum perdata tidak dijelaskan pengertian sebab yang halal. Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.
Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif karena berkaitan dengan subjek perjanjian dan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif karena berkaitan dengan objek perjanjian. Apabila syarat pertama dan syarat kedua tidak terpenuhi, maka perjanjian itu dapat diminta pembatalannya. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan ijinnya secara tidak bebas.[15] Sedangkan apabila syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi, maka akibatnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum artinya perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada sama sekali sehingga para pihak tidak dapat menuntut apapun apabila terjadi masalah di kemudian hari.

C.    Subjek dan Objek Perjanjian Jual Beli
Perjanjian jual beli adalah merupakan perbuatan hukum. Subjek dari perbuatan hukum adalah Subjek Hukum. Subjek Hukum terdiri dari manusia dan badan hukum. Oleh sebab itu, pada dasarnya semua orang atau badan hukum dapat menjadi subjek dalam perjanjian jual beli yaitu sebagai penjual dan pembeli, dengan syarat yang bersangkutan telah dewasa dan atau sudah menikah. Namun secara yuridis ada beberapa orang yang tidak diperkenankan untuk melakukan perjanjian jual beli, sebagaimana dikemukakan berikut ini:[16]
1.      Jual beli Suami istri
Pertimbangan hukum tidak diperkenankannya jual beli antara suami istri adalah karena sejak terjadinya perkawinan, maka sejak saat itulah terjadi pencampuran harta, yang disebut harta bersama kecuali ada perjanjian kawin. Namun ketentuan tersebut ada pengecualiannya yaitu:[17]
a.       Jika seorang suami atau istri menyerahkan benda-benda kepada isteri atau suaminya, dari siapa ia oleh Pengadilan telah dipisahkan untuk memenuhi apa yang menjadi hak suami atau istri menurut hukum.
b.      Jika penyerahan dilakukan oleh seorang suami kepada isterinya, juga dari siapa ia dipisahkan berdasarkan pada suatu alasan yang sah, misalnya mengembalikan benda-benda si istri yang telah dijual atau uang yang menjadi kepunyaan istri, jika benda itu dikecualikan dari persatuan.
c.       Jika si istri menyerahkan barang-barang kepada suaminya untuk melunasi sejumlah uang yang ia telah janjikan kepada suaminya sebagai harta perkawinan.
2.      Jual beli oleh para Hakim, Jaksa, Advokat, Pengacara, Juru Sita dan Notaris.
Para Pejabat ini tidak diperkenankan melakukan jual beli hanya terbatas pada benda-benda atau barang dalam sengketa. Apabila hal itu tetap dilakukan, maka jual beli itu dapat dibatalkan, serta dibebankan untuk penggantian biaya, rugi dan bunga.
3.      Pegawai yang memangku jabatan umum
Yang dimaksud dalam hal ini adalah membeli untuk kepentingan sendiri terhadap barang yang dilelang.
Objek jual Beli
Yang dapat menjadi objek dalam jual beli adalah semua benda bergerak dan benda tidak bergerak, baik menurut tumpukan, berat, ukuran, dan timbangannya. Sedangkan yang tidak diperkenankan untuk diperjualbelikan adalah : [18]
a.       Benda atau barang orang lain
b.      Barang yang tidak diperkenankan oleh undang-undang seperti obat terlarang
c.       Bertentangan dengan ketertiban, dan
d.      Kesusilaan yang baik
Pasal 1457 Kitab Undang-Undang hukum Perdata memakai istilah zaak untuk menentukan apa yang dapat menjadi objek jual beli. Menurut pasal 499 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, zaak adalah barang atau hak yang dapat dimiliki. Hal tersebut berarti bahwa yang dapat dijual dan dibeli tidak hanya barang yang dimiliki, melainkan juga suatu hak atas suatu barang yang bukan hak milik.

D.    Hak dan Kewajiban para pihak dalam perjanjian Jual Beli
Hak dari Penjual menerima harga barang yang telah dijualnya dari pihak pembeli sesuai dengan kesepakatan harga antara kedua belah pihak. Sedangkan Kewajiban Penjual adalah sebagai berikut :
1.      Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenal tiga jenis benda yaitu benda bergerak, benda tidak bergerak dan benda tidak bertubuh maka penyerahan hak miliknya juga ada tiga macam yang berlaku untuk masing-masing barang tersebut yaitu :[19]
Ø  Penyerahan Benda Bergerak
Mengenai Penyerahan benda bergerak terdapat dalam pasal 612 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan Penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh dilakukan dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan itu berada.
Ø  Penyerahan Benda Tidak Bergerak
Mengenai Penyerahan benda tidak bergerak diatur dalam Pasal 616-620 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa penyerahan barang tidak bergerak dilakukan dengan balik nama. Untuk tanah dilakukan dengan Akta PPAT sedangkan yang lain dilakukan dengan akta notaris.
Ø  Penyerahan Benda Tidak Bertubuh
Diatur dalam pasal 613 KUH. Perdata yang menyebutkan penyerahan akan piutang atas nama dilakukan dengan akta notaris atau akta dibawah tangan yang harus diberitahukan kepada dibitur secara tertulis, disetujui dan diakuinya. Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu, penyerahan tiap-tiap piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen.
2.      Menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung terhadap cacat-cacat tersembunyi.
Pasal 30 sampai dengan pasal 52 United Nations Convention on Contract for the International Sale of Goods mengatur tentang kewajiban pokok dari penjual yaitu sebagai berikut :[20]
1.      Menyerahkan barang
2.      Menyerahterimakan dokumen
3.      Memindahkan Hak Milik
Hak dari Pembeli adalah menerima barang yang telah dibelinya, baik secara nyata maupun secara yuridis. Di dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penjualan barang-barang Internasional (United Nations Convention on Contract for the International Sale of Goods) telah diatur tentang kewajiban antara penjual dan pembeli.[21] Pasal 53 sampai 60 United Nations Convention on Contract for the International Sale of Goods mengatur tentang kewajiban pembeli. Ada 3 kewajiban pokok pembeli yaitu:[22]
a.       Memeriksa barang-barang yang dikirim oleh Penjual
b.      Membayar harga barang sesuai dengan kontrak
c.       Menerima penyerahan barang seperti disebut dalam kontrak
Kewajiban pembeli untuk membayar harga barang termasuk tindakan mengambil langkah-langkah dan melengkapi dengan formalitas yang mungkin dituntut dalam kontrak atau oleh hukum dan peraturan untuk memungkinkan pelaksanaan pembayaran. Tempat pembayaran di tempat yang disepakati kedua belah pihak. Kewajiban Pihak Pembeli adalah :
a.       Membayar harga barang yang dibelinya sesuai dengan janji yang telah dibuat
b.      Memikul biaya yang ditimbulkan dalam jual beli, misalnya ongkos antar, biaya akta dan sebagainya kecuali kalau diperjanjikan sebaliknya.
Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa Kewajiban dari pihak pembeli adalah merupakan Hak bagi pihak Penjual dan sebaliknya Kewajiban dari Pihak Penjual adalah merupakan hak bagi pihak Pembeli.

E.     Bentuk bentuk Perjanjian Jual Beli
Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan dan tulisan yang dapat bersifat sebagai alat bukti apabila terjadi perselisihan. Untuk beberapa perjanjian tertentu undang-undang menentukan suatu bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian bentuk tertulis tidaklah hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat untuk adanya perjanjian tersebut. Misalnya perjanjian mendirikan Perseroan Terbatas harus dengan akta Notaris. Bentuk perjanjian jual beli ada dua yaitu :
1.      Lisan, yaitu dilakukan secara lisan dimana kedua belah pihak bersepakat untuk mengikatkan dirinya melakukan perjanjian jual beli yang dilakukan secara lisan.
2.      Tulisan, yaitu Perjanjian Jual beli dilakukan secara tertulis biasanya dilakukan dengan akta autentik maupun dengan akta di bawah tangan.
Akta Autentik adalah suatu akta yang dibuat di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.[23] Mengenai Akta Autentik diatur dalam pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Berdasarkan inisiatif pembuatnya akta autentik dibagi menjadi dua, yaitu :
1.      Akta Pejabat (acte amtelijke)
Akta Pejabat adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu dengan mana pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya. Jadi inisiatifnya tidak berasal dari orang yang namanya diterangkan di dalam akta itu. Contohnya Akta Kelahiran.

2.      Akta Para Pihak (acte partij)
Akta Para Pihak adalah akta yang inisiatif pembuatannyadari para pihak di hadapan pejabat yang berwenang. Contohnya akta sewa menyewa.
Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat untuk tujuan pembuktian namun tidak dibuat di hadapan pejabat yang berwenang.[24] Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian berdasarkan pengakuan dari para pihak yang membuatnya. Hal ini bermakna kekuatan pembuktian akta di bawah tangan dapat dipersamakan dengan akta autentik sepanjang para pembuat akta dibawah tangan mengakui dan membenarkan apa yang telah ditandatanganinya. Dengan kata lain akta di bawah tangan merupakan akta perjanjian yang baru memiliki kekuatan hukum pembuktian apabila diakui oleh pihak-pihak yang menandatanganinya sehingga agar akta perjanjian tersebut tidak mudah dibantah, maka diperlukan pelegalisasian oleh notaris, agar memiliki kekuatan hukum pembuktian yang kuat seperti akta autentik.
Perbedaan prinsip antara akta di bawah tangan dengan akta otentik adalah karena jika pihak lawan mengingkari akta tersebut, akta di bawah tangan selalu dianggap palsu sepanjang tidak dibuktikan keasliannya, sedangkan akta otentik selalu dianggap asli, kecuali terbukti kepalsuannya.[25] Maksudnya adalah bahwa jika suatu akta di bawah tangan disangkal oleh pihak lain, pemegang akta di bawah tangan harus dapat membuktikan keaslian dari akta di bawah tangan tersebut, Sedangkan apabila akta otentik disangkal oleh pihak lain, pemegang akta otentik tidak perlu membuktikan keaslian akta tersebut tetapi pihak yang menyangkali yang harus membuktikan bahwa akta otentik tersebut adalah palsu. Oleh karena itu, pembuktian akta di bawah tangan disebut pembuktian keaslian sedangkan pembuktian akta otentik adalah pembuktian kepalsuan.

F.     Risiko dalam perjanjian jual beli
Di dalam hukum dikenal suatu ajaran yang dinamakan dengan Resicoleer. Resicoleer adalah suatu ajaran , yaitu seseorang berkewajiban memikul kerugian, jika ada sesuatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang menjadi objek perjanjian.[26]
Risiko dalam Perjanjian jual beli tergantung pada jenis barang yang diperjualbelikan, yaitu apakah :[27]
a.       Barang telah ditentukan
Mengenai risiko dalam jual beli terhadap barang tertentu diatur dalam pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal pertama yang harus dipahami adalah pengertian dari barang tertentu tersebut. Yang dimaksudkan dengan barang tertentu adalah barang yang pada waktu perjanjian dibuat sudah ada dan ditunjuk oleh pembeli.[28] Mengenai barang seperti itu pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menetapkan bahwa risiko terhadap barang tersebut ditanggung oleh si pembeli meskipun barangnya belum diserahkan. Dapat dilihat bahwa ketentuan tersebut adalah tidak adil dimana pembeli belumlah resmi sebagai pemilik dari barang tersebut akan tetapi ia sudah dibebankan untuk menanggung risiko terhadap barang tersebut. Si pembeli dapat resmi sebagai pemilik apabila telah dilakukan penyerahan terhadap si pembeli. Oleh sebab itu, dia harus menanggung segala risiko yang dapat terjadi karena barang tersebut telah diserahkan kepadanya. Ketentuan pasal 1460 ini dinyatakan tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung No 3 tahun 1963. Menurut Prof. R. Subekti, Surat edaran Mahkamah Agung tersebut merupakan suatu anjuran kepada semua hakim dan pengadilan untuk membuat yurisprudensi yang menyatakan pasal 1460 tersebut sebagai pasal yang mati dan karena itu tidak boleh dipakai lagi.
b.      Barang tumpukan
Barang yang dijual menurut tumpukan, dapat dikatakan sudah dari semula dipisahkan dari barang-barang milik penjual lainnya, sehingga sudah dari semula dalam keadaan siap untuk diserahkan kepada pembeli.[29] Oleh sebab itu dalam hal ini, risiko diletakkan kepada si pembeli karena barang-barang tersebut telah terpisah
c.       Barang yang dijual berdasarkan timbangan, ukuran atau jumlah.
Barang yang masih harus ditimbang terlebih dahulu, dihitung atau diukur sebelumnya dikirim (diserahkan) kepada si pembeli, boleh dikatakan baru dipisahkan dari barang-barang milik si penjual lainnya setelah dilakukan penimbangan, penghitungan atau pengukuran. Setelah dilakukannya penimbangan, penghitungan atau pengukuran, maka segala risiko yang terjadi pada barang tersebut adalah merupakan tanggung jawab dari si pembeli. Sebaliknya apabila barang tersebut belum dilakukan penimbangan, penghitungan atau pengukuran maka segala risiko yang ada pada barang tersebut merupakan tanggungjawab dari pihak penjual. Hal ini diatur dalam pasal 1461 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.



BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara khusus terhadap perjanjian ini. Pengaturan perjanjian bernama dapat diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata maupun Kitab Undang-undang Hukum Dagang.
Persetujuan jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban yaitu :
1.      Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.
2.      Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada penjual.



DAFTAR PUSTAKA

Handri Rahardjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Jakarta : Pustaka Yustisia, 2009,  
Salim H.S.,Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2003,  
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1995,  



[1] M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung : Alumni,1986, hlm. 181.
[2] Salim H.S.,Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2003, hlm. 49
[3] Ibid. 
[4] Prof.R.Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995, hlm. 2. 
[5] Dr. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 127. 
[6] Salim H.S.,Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2003, hlm. 49. 
[7] Ibid, hlm. 9. 
[8] Ibid, hlm. 9. 
[9] Ibid, hlm. 10. 
[10] Handri Rahardjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Jakarta : Pustaka Yustisia, 2009, hlm. 45. 
[11] Mariam Darus Badrulzaman, KUHPERDATA Buku III, Bandung : Alumni, 2006, hlm. 108-120 
[12] Salim H.S.,Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2003, hlm. 33. 
[13] Dr. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 69. 
[14] Komariah, Hukum Perdata, Malang : UPT Penerbitan Universitas Muhamadiyah, 2008, hlm. 148. 
[15] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung : Alumni, 1982, hlm. 20. 
[16] Salim H.S.,Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2003, hlm. 50. 
[17] Ibid. 
[18] Salim H.S.,Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2003, hlm. 51 
[19] Dr. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 128. 
[20] Salim H.S.,Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2003, hlm. 56. 
[21] Ibid
[22] Ibid
[23] Handri Rahardjo, Cara Pintar memilih dan mengajukan kredit, Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2003, hlm. 10. 
[24] Ibid, hlm 10 
[25] Dr. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 15. 
[26] Salim H.S., op.cit., hlm 103 
[27] Dr. Ahmadi Miru, op.cit., hlm 103 
[28] R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1995, hlm. 25. 
[29] Ibid, hlm 27 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar