Selasa, 21 Mei 2013

ijarah


BAB I
PEMBUKAAN

A.    Latar Belakang
Al-Ijarah adalah salah satu kegiatan muamalah yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Al-Ijarah, yang biasa kita kenal dengan persewaan, sangat sering membantu dalam kehidupan, karena dengan adanya ijarah/persewaan ini, seseorang yang terkadang belum bisa membeli benda untuk kebutuhan hidupnya, bisa diperoleh dengan cara menyewa.
Sebagai transaksi umum, maka ijarah memiliki aturan-aturan tertentu. Kebanyakan para pelaku ijarah saat ini melakukan transaksi ini hanya berdasarkan kebiasaan saja, tanpa tahu dasar hukum dan aturan-aturan yang berlaku.
Sehubungan dengan itu, maka kami susun makalah ini, guna menambah wawasan kita tentang ijarah.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka kami rumuskan permasalahan dalam makalah ini sebagai berikut :
1.       Apa pengertian ijarah dan apa dasar hukumnya?
2.       Apa saja hukum dan syarat ijarah?
3.       Bagaimana berakhirnya ijarah?

C.    Tujuan Pembahasan
Makalah ini kami susun bertujuan agar kita tahu tentang ijarah. Bagaimana hukumnya, rukun dan syaratnya, serta dapat mengetahui perbedaan pendapat para ulama’ yang berhubungan dengan ijarah





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian dan Dasar Hukum Ijarah

1.      Pengertian
Menurut bahasa Al Ijarah artinya adalah upah, sewa, jasa atau imbalan. Sedangkan menurut istilah, beberapa ulama’ mendefinisikan sebagai berikut :
Pertama, Ulama’ Hanafiah mendefinisikannya dengan :

عَقْدٌ عَلىَ مَنَافِعِ بِعِوَاضٍ
”Transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan”

Kedua, ulama’ Syafi’iyah mendefinisikan dengan :

عَقْدٌ عَلىَ مَنْفَعَةٍ مَقْصُوْدَةٍ مُبَاحَةٍ قَابِلَةٍ لِلْبَذْلِ وَاْلأِبَاحَةِ بِعِوَاضٍ مَعْلُوْمٍ
”Transaksi terhadap suatu manfa’at yang dituju tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu”

Ketiga, ulama’ Malikiyah dan Hanabilah mendefinisikan dengan :

تَمْلِيْكُ مَنَافِعِ شَيْئٍ مُبَاحَة مُدَّة مَحْلُوْمٍ بِعِوَضِ
”Pemilikan manfa’at sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan”
Jadi, yang dimaksud ijarah adalah menyewakan suatu benda kepada orang lain untuk diambil manfa’atnya, dengan imbalan yang telah disepakati bersama.



2.      Dasar Hukum
a.      Al- Qur’an (al-baqarah  : 233)[1]
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan

b.      Al- Hadits
·         Hadist (H.R. Bukhari dan Muslim)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu”, (H.R. Bukhari dan Muslim)
·         Hadist (H.R. Ibnu Majjah)
Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda, “berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.
·      Hadis riwayat Abu Dawud dari Saad bin Abi Waqqash, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada:
Artinya : Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya, maka Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.
·      Hadis riwayat Abd.Razaq dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada :
Artinya : Barangsiapa yang mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.
c.         Ijma ulama tentang kebolehan melakukan akad sewa menyewa / Ijarah.
·      Kaidah fiqh
Artinya : Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalilyang mengharamkannya.
·      Kaidah fiqh
Artinya : Menghindarkan mafsadat (kerusakan/bahaya) harusdidahulukan atas mendatangkan kemaslahatan.
d.        Kaidah-Kaidah dalam Ijaroh :
·       Semua barang yang dapat dinikmati manfaatnya tanpa mengurangi substansi barang tersebut, maka barang tersebut dapat disewakan.
·       Semua barang yang pemanfaatannya dilakukan sedikit demi sedikit tetapi tidak mengurangi substansi barang itu seperti susu pada unta dan air dalam sumur dapat juga disewakan.
·       Uang dari emas atau perak dan tidak dapat disewakan karena barang-barang ini setelah dikonsumsi menjadi hilang atau habis.
e.         Dalam Hukum Islam ada dua jenis ijarah
a.    Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa, yaitu mempekerjakan jasa seseorang dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewa. Pihak yang mempekerjakan disebut mustajir, pihak pekerja disebut ajir dan upah yang dibayarkan disebut ujrah.
b.    Ijarah yang berhubungan dengan sewa aset atau properti, yaitu memindahkan hak untuk memakai dari aset atau properti tertentu kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa. Bentuk ijarah ini mirip dengan leasing (sewa) pada bisnis konvensional. Pihak yang menyewa (lessee) disebut mustajir, pihak yang menyewakan (lessor) disebutmu’jir/muajir dan biaya sewa disebut ujrah.
Ijarah bentuk pertama banyak diterapkan dalam pelayanan jasa perbankan syari’ah, sementara ijarah bentuk kedua biasa dipakai sebagai bentuk investasi atau pembiayaan di perbankan syari’ah.
B.     Hak Dan Kewajiban Kedua Belah Pihak
Apa saja kewajiban  penyewa dan yang menyewakan? Yang menyewakan wajib mempersiapkan barang yang disewakan untuk dapat dipergunakan secara optimal untuk penyewa. Misalnya, mobil yang disewa ternyata tidak dapat digunakan karena akinya lemah, maka yang menyewakan wajib menggantinya. Bila yang menyewakan tidak dapat memperbaiinya, penyewa mempuyai pilihan untuk membatalkan akad atau menerima manfaat yang rusak. Bila demikian keadaannya, apakah harga sewa masih harus dibayar penuh? Sebagian ulama berpendapat, bila penyewa tidak membatalkan akad, harga sewa harus dibayar penuh. Sebagian ulama lain berpendapat harga sewa dapat dikurangkan dulu dengan biaya untuk perbaikan kerusakan.
Penyewa wajib menggunakan barang yang disewakan menurut syarat-syara atau menurut kelaziman penggunaannya. Penyewa juga wajib menjaga barang yang disewakan agar tetap utuh.[2]

C.    Rukun dan Syarat Ijarah
Rukun ijarah ada lima, yaitu:
1.          Orang yang menyewakan :
Syaratnya :
a.      Baligh
b.      Berakal
c.      Atas kehendak sendiri
2.          Orang yang menyewa
Syaratnya sama dengan orang yang menyewakan.
3.          Barang atau benda yang disewakan
Syaratnya :
a.   Barang yang disewakan harus bermanfaat
b.   Barang yang disewakan  termasuk yang dilarang agama
c.   Barang yang disewakan  harus diketahui jenis, kadar, sifatnya dan ada ketentuan sampai seberapa kemanfaatannya atau ditentukan waktunya.
4.     Imbalan sebagai bayaran (upah)
Syaratnya :
a.      Tidak berkurang nilainya
b.      Harus jelas
c.      Bisa membawa manfaat yang jelas
5.     Akad (Ijab qabul)
Syarat akad ijarah sama dengan akad jual beli dengan tambahan menyebutkan masa waktu yang telah ditentukan

D.      Berakhirnya Akad
Para ulama’ fiqh menyatakan bahwa akad Al-Ijarah akan berakhir apabila:
a.       Obyeknya hilang  atau musnah, sebagai contoh, serperti rumah yang terbakar.
b.      Tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah telah berakhir. Apabila yang disewakan itu adalah rumah, maka rumah itu dikembalikan pada pemiliknya, dan apabila yang disewakan itu adalah jasa seseorang, maka ia berhak menerima upahnya. Kedua hal ini disepakati oleh seluruh ulama’ fiqh.
c.       Menurut ulama’ Hanafiah, wafatnya salah seorang yang berakad, karena akad al-ijarah, menurut mereka, tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama’, akad al-ijarah tidak batal dengan wafatnya salah seorang yang berakad karena manfaat, menurut mereka, boleh diwariskan dan al-ijarah sama dengan jual beli, yaitu mengikat kedua belah pihak yang berakad.
d.      Menurut ulama’ Hanafiah, apabila ada uzur dari salah satu pihak, maka akadnya batal. Akan tetapi, menurut jumhur ulama’, uzur yang boleh membatalkan akad ijarah hanyalah apabila obyeknya mengandung cacat atau kemanfaatan yang dituju telah hilang.

E.  Pembayaran Upah dan Sewa
Jika Ijarah itu suatu pekerjan, maka kewajiban pembayaran upahya pada waktu berakhirnya pekerjaan. Jika akad sudah berlangsung dan tidak disyaratkan mengenai pembayaran dan tidak ada ketentuan penangguhannya.
Sabda Rosulullah SAW :
”Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering”. (H.R Ibnu Majjah)
Menurut Abu Hanifah, wajib diserahkan upahnya secara berangsur sesuai dengan manfaat yang telah diterimanya. Jika Ijarah tersebut berupa penyewaan, menurut Imam Syafi’i dan Ahmad, jika mu’jir telah menyerahkan zat benda yang disewakan kepada musta’jir, ia berhak menerima bayaran karena musta’jir (penyewa telah menerima manfaat dari barang yang disewakan. Jika menyewa barang, maka uang sewa dibayar ketika akad sewa, kecuali bila dalam akad ditentukan lain. Upah yang adil :
Upah yang adil merupakan upah yang wajib diberikan kepada pekerja. Upah yang adil adalah upah yang setara yang ditentukan oleh upah yang diketahui (disetujui), yang menjadi acuan bagi kedua belah pihak. Tingkat upah ditentukan oleh tawar menawar antara pemberi kerja dengan pekerja. Upah yang setara diberikan sesuai dengan kualitas pekerjaan.

F.  Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
Ijarah akan menjadi batal apabila terdapat hal-hal berikut :
1.      Terjadi cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa
2.      Rusaknya barang yang disewakan, (seperti rumah yang menjadi runtuh)
3.      Rusaknya barang yang diupahkan (baju yang diupahkan untuk dijahit)
4.      Terpenuhinya manfaat yang diadakan, berakhirnya masa yang ditentukan, dan selesainya pekerjaan.
5.      Menurut ulama hanafiyah boleh fasakh (membatalkan) ijarah dari salah satu pihak.
G. Keuntungan dan Kerugian Adanya Sewa Menyewa
Keuntungan adanya sewa menyewa :
1.      Adanya sewa-menyewa bisa membantu orang mengambil manfaat dari yang disewakan tersebut.
2.      Membantu orang yang tidak mampu membeli barang, jadi dengan adanya sewa ini orang tersebut bisa menyewa barang itu.
3.      Penyewa tidak dibebani biaya-biaya yang diperlukan kepada pemiliknya untuk menyerahkan barang jika barang tersebut rusak
Kerugian adanya sewa menyewa :
1.      Bila barang rusak maka yang menanggung resiko adalah pemilik barang
2.      Resiko yang ditanggung tak sebanding dengan harga sewa.
3.      Ajir musytarok terikat pada waktu yang telah dijanjikan namun bila waktu tersebut tidak dipenuhi maka penyewa mengalami kerugian.
H.      Aplikasi dalam Perbankan
Bank islam yang mengoperasikan produk al-ijarah, dapat melakukan leasing, baik dalam bentuk operating lease maupun finasial lease. Akan tetapi, pada umumnya bank tersebut lebih banyak menggunakan al-iarah al-muntahian bit-tamlik karena lebih sederhana dari sisi pembukuan.[3]
I.    Teknik Perbankan al-Ijarah
1.      Transaksi ijarah ditandai adanya pemindahan manfaat jadi, dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli. Namun perbedaan terletak pada objek barang, sedangkan pada sewa
2.      Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakan kepada nasabah, karena itu dalam perbankan syariah dikenal dengan al-Ijarah al-muntahiyah bit-tamlik (sewa yang diikuti dengan perpindahan kepemilikan).
3.      Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian antara bank dengan nasabah.



J.     Al- Ijarah Al-Muntahaia Bit-Tamlik
IMBT merupakan kependekan dari Ijarah Mumtahiya bit Tamlik. Pembiayaan IMBT tidak sama dengan IMBT, begitupun IMBT tidak sama dengan sewa beli, dan tidak sama pula dengan leasing. Dalam sewa beli, lessee otomatis jadi pemilik barang di akhir masa sewa. Dalam IMBT, janji pemindahan kepemilikan di awal akad ijarah adalah wa’ad (janji) yang hukumnya tidak mengikat. Bila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah selesai. Sedangkan pada leasing, kepemilikan lessee tersebut hanya terjadi bila hak opsinya dilaksanakan oleh lessee. Pada pembiayaan IMBT, bank sebagai penyedia uang untuk membiayai transaksi dengan prinsip IMBT paling tidak mempunyai dua pilihan[16][4].
Pertama, besarnya angsuran bulanan IMBT yang harus dibayarkan nasabah kepada bank telah memasukkan komponen nilai perolehan barang IMBT, sehingga pada akhir masa ijarah nilai perolehan barang IMBT yang masih tersisa telah nihil. Dalam hal ini, meskipun secara teori fikih dikatakan hukumnya tidak mengikat untuk memindahkan kepemilikan barang tersebut, namun secara praktik bisnisnya barang tersebut akan diserahkan kepemilikannya kepada nasabah. Jadi dalam hal ini pembiayaan IMBT lebih mirip dengan sewa beli dibandingkan dengan leasing.
Kedua, besarnya angsuran bulanan IMBT yang harus dibayarkan nasabah kepada tidak memasukkan komponen nilai perolehan barang IMBT, sehingga pada akhir masa ijarah nilai perolehan barang IMBT yang masih tersisa tidak nihil (biasanya disebut nilai residu). Dalam hal ini, bila nasabah membayar nilai residu tersebut maka bank akan memindahkan kepemilikannya pada nasabah. Namun bila nasabah belum membayar nilai residunya, bank belum memindahkan kepemilikan tersebut. Jadi dalam hal ini pembiayaan IMBT lebih mirip dengan leasing dibandingkan dengan sewa beli.
Pihak lessor dalam leasing hanya bermaksud untuk membiayai perolehan barang modal oleh lessee, dan barang tersebut tidak berasal dari pihak lessor, tapi dari pihak ketiga atau dari pihak lessee sendiri. Pada sewa beli, lessor bermaksud melakukan semacam investasi dengan barang yang disewakannya itu dengan uang sewa sebagai keuntungannya. Karena itu, biasanya barang tersebut berasal dari milik pemberi sewa sendiri. Pada IMBT keduanya dapat terjadi, menyediakaan barang sewa dengan cara menyewa, kemudian menyewakannya kembali. Juga dimungkinkan menyediakan barang sewa dengan membeli kemudian menyewakannya.
Pada pembiayaan IMBT, bank sebagai penyedia uang untuk membiayai transaksi dengan prinsip IMBT dapat saja membiayai penyewaan barang kemudian barang tersebut disewakan kembali, dan dapat pula membiayai pembelian barang kemudian barang tersebut disewakan. Yang jelas pembiayaan IMBT adalah penyediaan uang untuk membiayai transaksi dengan prinsip IMBT, bukan akad IMBT itu sendiri. Terakhir, leasing boleh dilakukan oleh perusahaan pembiayaan sedangkan sewa beli tidak termasuk kegiatan lembaga pembiayaan. Pembiayaan IMBT boleh dilakukan oleh bank syariah, sedangkan sewa beli, leasing, IMBT tidak termasuk kegiatan bank syariah.
Fatwa MUI tentang IMBT
        Pihak yang melakukan al-Ijarah al-Muntahiah bi al-Tamlik harus melaksanakan akad Ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau pemberian, hanya dapat dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
        Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad Ijarah adalah wa'd (الوعد), yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
K.   Ijarah dan Leasing
Ijarah adalah akad yang mengatur pemanfaatan hak guna tanpa terjadi pemindahan kepemilikan, sehingga banyak yang menyamakan ijarah dengan leasing. Hal ini terjadi karena kedua istilah itu sama-sama mengacu hal ihwal sewa menyewa. Karakteristik yang membedakan antara ijarah dan leasing terletak pada:[5]
a.      Objek
Objek yang disewakan dalam leasing hanya berlaku untuk sewa menyewa barang saja, terbatas pada manfaat barang saja, tidak berlaku untuk manfaat tenaga kerja. Sedangkan objek yang disewakan dalam ijarah bisa berupa barang dan jasa/tenaga kerja. Ijarah bila diterapkan untuk mendapatkan manfaat barang disebut sewa menyewa dan untuk mendapatkan manfaat tenaga kerja/jasa disebut upah mengupah. Objek yang disewakan dalam ijarah adalah manfaat barang dan manfaat tenaga kerja.
Dengan demikian, bila dilihat dari segi objeknya, ijarah mempunyai cakupan yang lebih luas daripada leasing.
b.      Metode Pembayaran
Dari segi metode pembayaran, leasing hanya memiliki satu metode pembayaran yaitu yang bersifat not contingent to formance (pembayaran tidak tergantung pada kinerja objek yang disewa). Pembayaran ijarah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ijarah yang pembayarannya tergantung pada kinerja objek yang disewa (contingent to formance) dan ijarah yang pembayarannya tidak tergantung pada kinerja objek yang disewa (not contingent to formance). Ijarah yang pembayarannya tergantung pada kinerja objek yang disewa disebut ijarah, gaji, sewa. Sedangkan ijarah yang pembayarannya tidak tergantung pada kinerja objek yang disewa disebut ju’alah atau success fee.
c.       Pemindahan Kepemilikan (Transfer of Title)
Dari aspek perpindahan kepemilikan dalam leassing dikenal dua jenis yaitu operating lease dimana tidak terjadi pemindahan kepemilikan baik di awal maupun di akhir periode sewa dan financial lease. Ijarah sama seperti operating lease yakni tidak ada transfer of title baik di awal maupun di akhir periode, namun pada akhir sewa dapat dijual barang yang disewakan kepada nasabah yang dalam perbankan syariah dikenal dengan ijarah muntahia bi al-tamlik. Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan :

1.      Al-Ijarah adalah salah satu kegiatan mu’amalah, yaitu sewa menyewa pada sebuah kemanfaatan yang umum, dengan imbalan yang telah disepakati bersama.

2.      Banyak dalil yang menjadi dasar hukum diperbolehkannya ijarah, salah satunya adalah QS. At-Thalaq ayat 6 dan hadits rasul yang berbunyi :

مَنِ اسْتَجَارَ أَجِيْرًا فَلْيَعْلَمْهُ أَجْرَهُ (رواه عبد الرزاق و البيهاقى)
”Siapa yang menyewa seseorang maka hendaklah ia beritahu upahnya” (HR. Abd. Ar-Razaq dan Al-Baihaqi).

3.      Rukun dan syarat ijarah ada 5 :
a.      Orang yang menyewakan :
Syaratnya :
«     Baligh
«     Berakal
«     Atas kehendak sendiri

b.     Orang yang menyewa, syaratnya sama dengan orang yang menyewakan.

c.      Barang yang disewakan
Syaratnya :
«     Bermanfaat
«     Tidak dilarang agama
«     Diketahui jenis, kadar, sifatnya dan ada ketentuan berapa lama barang tersebut disewa.
d.     Imbalan
Syaratnya :
«     Harus jelas
«     Tidak berkurang nilainya
«     Bermanfaat
e.      Akad
Syaratnya sama dengan akad jual beli, ditambah dengan masa waktu yang disepakati.

4.      Berakhirnya akad
a.      Obyeknya hilang
b.     Tenggang Waktunya habis
c.      Salah satu orang yang berakad meninggal (menurut ulama’ hanafiah)
d.     Uzur di salah satu pihak (menurut ulama’ Hanafiah) menurut jumhur ulama’, uzurnya hanyalah apabila obyeknya mengandung cacat atau manfaat yang dituju telah hilang.
















DAFTAR PUSTAKA


Haroen, Nasrun, Fiqh Mu’amalah, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007.
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung : Sinar Baru, Algesindo, 2009.
Labib M – Harbiawati, Risalah Fiqh Islam, Surabaya : Bintang Usaha Jaya, 2006.
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori dan Praktik, (Jakarta :2001, Gema Insani), cet-1,
Ir. Adiwarman A. Karim, SE., M.B.A.,M.A.E.P,bank islam analisis fiqih dan keuangan, (jakarta :2004, PT Raja Grafido Persada), cet-2




[1] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori dan Praktik, (Jakarta :2001, Gema Insani), cet-1, hlm. 117-118
[2] Ir. Adiwarman A. Karim, SE., M.B.A.,M.A.E.P,bank islam analisis fiqih dan keuangan, (jakarta :2004, PT Raja Grafido Persada), cet-2,hml. 138
[3] Ibid, bank islam analisis fiqih dan keuangan,  hml 119
[4] Ibid, bank syariah dari teori dan praktik,   hml. 118
[5] Ibid, bank islam, hml.140-44