RESUME
HUKUM
PERDATA INTERNASIONAL
Dosen
Pengampu Mata Kuliah : ACH. FAIDI, M.A., LL.M.
OLEH
:
KHAIRUL
RASYID
18201102010043
STAIN
PAMEKASAN
JURUSAN
SYARIAH
PRODI
AL-AHWAL AL-SYAKHSYIYAH
2013
BAB I
SEJARAH HPI
Pada
umumnya pengertian dari Hukum Perdata Internasional adalah seperangkat
kaidah-kaidah, asas-asas, dan aturan-aturan hukum nasional yang dibuat untuk
mengatur peristiwa atau hubungan hukum yang mengandung unsur-unsur
transnasional (unsur-unsur ekstrateritorial).
Sejarah
Perkembangan Hukum Perdata Internasional dibagi menjadi lima tahapan yang akan dijelaskan sebagai
berikut :
- Tahap Pertama ( Masa Kekaisaran Romawi Abad ke 2-6 sesudah Masehi )
Masa
ini adalah masa awal perkembangan hukum perdata internasional. Wujud nyatanya
adalah dengan tampaknya hubungan antara warga romawi dengan penduduk provinsi
atau municipia, dan penduduk provinsi atau orang asing dengan satu sama lain
didalam wilayah kekaisaran romawi. Dalam hubungan hukum tersebut tentu memiliki
sengketa, dan untuk menyelesaikan sengketa dibentuklah peradilan khusus yang
disebutpreator peregrines [1] Hukum yang digunakan
adalah Ius Civile, yaitu hukum yang berlaku bagi warga Romawi, yang sudah
disesuaikan untuk kepentingan orang luar.
Asas
HPI yang berkembang pada masa ini dan menjadi asas penting dalam Hukum Perdata
Internasional modern yakni:
a. Asas
Lex Rei Sitae (Lex Situs) yang
berarti perkara-perkara yang menyangkut benda-benda tidak bergerak tunduk pada
hukum dari tempat di mana benda itu berada/terletak.
b.
Asas Lex Domicilii yang berarti hak dan kewajiban perorangan harus diatur
oleh hukum dari tempat seseorang berkediaman tetap.
c.
Asas Lex Loci Contractus yang berarti bahwa terhadap perjanjian-perjanjian (yang
melibatkan para pihak-pihak warga dari provinsi yang berbeda) berlaku hukum
dari tempat pembuatan perjanjian [2].
- Tahap Kedua ( Masa Pertumbuhan Asas Personal Hukum Perdata Internasional Abad ke-6 sampai 10 )
Pada
masa ini kekaisaran romawi ditaklukan oleh orang “barbar” dan wilayah bekas provinsi-provinsi jajahan romawi, dan
akibatnya ius civile pada masa kekaisaran romawi tidak berguna.
Pada
masa ini tumbuh dan berkembang beberapa prinsip atau asas genealogis, yaitu :
1.Asas umum yang menetapkan bahwa dalam setiap proses
penyelesaian sengketa hukum, hukum yang digunakan adalah hukum dari pihak
tergugat.
2.Penetapan
kemampuan untuk membuat perjanjian bagi seseorang harus dilakukan berdasarkan
hukum perssonal dari masing-masing pihak.
3.Proses
pewarisan harus dilangsungkan berdasarkan hukum personal dari pihak pewaris.
4.Peralihan
hak milik atas benda harus dilaksanakan sesuai dengan hukum personal pihak
transferor.
5.Penyelesaian
perkara tentang perbuatan melanggar hukum harus dilakukan berdasarkan hukum
personal dari pihak pelaku perbuatan yang melanggar hukum.
6.Pengesahan
suatu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum dari piahak suami.
- Tahap Ketiga ( Pertumbuhan Asas Teritorial Abad ke 11-12 di Italia )
Pertumbuhan asas genealogis sulit untuk
dipertahankan diakibatkan
struktur masyarakat yang semakin condong ke arah masyarakat teritorialistik
diseluruh wilayah eropa.
Keanekaragaman sistem-sistem hukum lokal kota-kota ini
didukung dengan intensitas perdagangan antar kota yang tinggi yang sering
menimbulkan persoalan mengenai pengakuan terhadap hak asing diwilayah suatu
kota. Dalam hal menyelesaikan masalah inilah untuk menjawab perselisihan
tersebu dapat dianggap sebagai pemicu tumbuhnya teori Hukum Perdata
Internasional yang dikenal dengan sebutan teori statuta diabad ke 13 sampai
abad 15.
- Tahap Keempat ( Perkembangan Teori Statuta ) yang terdiri dari :
- Perkembangan Teori Statuta di Italia ( Abad ke 13-15 ).
Lahirnya teori statuta italia dipicu oleh gagasan seorang
tokoh post glassator yang bernama Accurcius yaitu “Bila seorang yang berasal dari suatu
kota tertentu di Italia di gugat disebuah kota lain, maka ia tidak dapat
dituntut berdasarkan hukum dari kota lain it karena ia bukan subjek hukum dari
kota lain itu.”
- Perkembangan Teori Statuta di Prancis ( Abad ke-16).
Situasi
Struktur kenegaraan Prancis pada abad ini,
mendorong untuk mempelajari hubuungan
perselisihan secara intensif. Para ahli hukum Prancis berusaha menjalani dan memodifikasi teori Statuta Italia
dan menerapkannya dalam konflik antar propinsi di Prancis, beberapa tokoh teori statuta diprancis yang dikenal
yaitu Dumoulin (1500-1566) dan D’Argentre (1523-1603).
- Perkembangan Teori Statuta di Belanda ( Abad ke 17-18 ).
Tokoh dalam Teori Statuta Belanda adalah Ulrik Huber
(1636-1694), dan Johannes Voet (1647-1714)
Prinsip dasar yang dijadikan titik tolak dalam teori
statuta belanda ini adalah kedaulatan ekslusif negara yang berlaku didalam
teritorial suatu negara.
Menurut
Ulrik, untuk menyelesaikan perkara hukum perdata internasional, ulrik
berpendapat bahwa orang harus bertitik tolak dari 3 prinsipdasar, yaitu :
- Hukum suatu negara hanya berlaku dalam batas-batas teritorial negara itu
- Semua orang atau subjek hukum secara tetap atau sementara berada didalam teritorial wilayah suatu negara berdaulat.
- Berdasarkan prinsip sopan santun antarnegara, hukum yang belaku dinegara asalnya tetap memilikikekuatan berlaku dimana-mana, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan subjek hukum dari negara pemberin pengakuan.
Menurut Johannes Voet, ia menjelaskan kembali ajaran comitas gentium, yaitu :
- Pemberlakuan hukum asing disuatu negara bukan merupakan kewajiban hukum internasional
- Suatu negara asing tidak dapat menuntut pengakuan kaidah hukumnya didalam wilayah hukum suatu negara lain.
- Karena itu, pengakuan atas berlakunya suatu hukum asing hanya dilakukan demi sopan santun pergaulan antar negara
- Namun, asas comitas gentium harus ditaati oleh setiap negara dan asas ini harus dianggap sebagai bagian dari suatu sistem hukum nasional negara itu.
- Tahap Kelima ( Teori Hukum Perdata Internasional Universal ) Abad ke-19
Tokoh yang mencetuskan teori ini adalah Friedrich Carl V.
Savigny yang berasal dari Jerman. Pemikiran Savigny ini juga berkembang setelah
didahului oleh pemikiran tokoh lain yang juga berasal dari jerman yaitu C.G.
Von Wacher yang mengkritik bahwa teori statuta italia dianggap menimbulkan
ketidakpastian hukum. [3]
Watcher berasumsi bahwa Hukum intern forum hanya dibuat
untuk dan hanya diterapkan pada kasus-kasus hukum lokal saja. Karena itu kaidah
perkara Hukum perdata internasional, forumlah yang harus menyediakan kaidah
hukum perdata internasional.
Sedangkan demikian pandangan F.C Von Savigny adalah bahwa
:
- Savigny mencoba menggunakan konsepsi “legal seat” itu dengan berasumsi bahwa “untuk setiap jenis hubungan hukum, dapat ditentukan legal seat/tempat kedudukan hukumnya” dengan melihat hakikat dari hubungan tersebut.
- Jika orang hendak menetukan aturan hukum apa yang seharusnya berlaku dalam suatu perkara yang terbit dari suatu hubungan hukum
- Savigny beranggapan bahwa legal seat itu harus ditetapkan terlebih dahulu dan caranya adalah dengan melokalisasi tempat kedudukan hukum dari hubungan hukum itu melalui bantuanm titik-titik taut.
- Jika tempat kedudukan hukum dari suatu jenis hubungan hukum telah dapat ditentukan, sistem hukum dari tempat itulah yang akan digunakan sebagai lex causae.
- Setelah tempat kedudukan hukum itu dapat selalu dilokalisasi, melalui penerapan titik-titik taut yang sama pada hubungan hukum yang sejenis.
- Asas hukum itulah yang menjadi asas Hukum Perdata Internasional yang menurut pendekatan tradisional mengandung titik taut penentu yang harus digunakan dalam rangka menentukan lex causae.
- Menggunakan sebuah asas HPI yang bersifat tetap untuk menyelesaikan berbagai perkara HPI .
BAB II
PENGERTIAN HPI
Perbedaan antara
Hukum Internasional dalam pengertian publik dengan Hukum Perdata Internasional
bukanlah ditinjau dari unsur perbedaan subyeknya dengan menyatakan bahwa subyek
hukum Internasional Publik adalah negara sedangkan subyek hukum Internasional
Perdata adalah individu. Dalam perkembangannya perbedaan semacam ini tidak
dapat dipertanggungjawabkan sebab antara keduannya dapat memiliki subyek hukum
negara ataupun individu.
Oleh karena itu
yang paling tepat adalah dengan meninjau urusan yang diatur oleh keduanya, jika
mengatur urusan yang bersifat publik maka disebut sebagai Hukum Internasional
Publik tetapi jika mengatur urusan yang bersifat perdata disebut sebagai Hukum
Internasional Perdata. Sedangkan Persamaan antara Hukum Internasional Publik
dengan Hukum Perdata Internasional adalah bahwa urusan yang diatur oleh kedua
perangkat hukum ini adalah sama – sama melewati batas wilayah suatu negara.
Kalau dilihat
dalam Pengertiannya sebagai berikut :
HI Publik (HI) :
“keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan
yang melintasi batas- batas negara yang bukan bersifat perdata”. Hukum
Perdata
Internasional : “keseluruhan
kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang
melintasi batas- batas negara yang berfat perdata” [4]
Persamaan :
Keduanya mengatur hubungan-hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas
negara.
Perbedaan
keduanya terletak pada : sifat hubungna/ persoalan dan obyek yang diaturnya.
Cara membedakan
berdasarkan sifat dan obyeknya adalah tepat, dari pada membedakan berdasarkan
pelaku-pelaku (subyeknya), yaitu dengan mengatakan HI Publik mengatur hubungan
atara negara, sedangkan H Perdata Internasional mengatur hubungan
orang-perorang.
Hal tersebut
dikarenakan :
- Negara dapat saja menjadi subyek Hukum perdata Internasional, dan perorangan dapat saja menjadi subyek HI.
- Batasan yang bersifat negatif lebih tepat karena ukuran publik memang sering kali sukar dicari bats-batasnya.
- Dewasa ini persoalan Internasional tidak semuannya merupakan persoalan antar negara; persoalan perseoranga dapat dikatakan persoalan negara (pelanggaran pidana Konvensi Jenewa 1949).
- Persoalan yang menyangkut “perseorangan” yang demikian tidak dapat dimasukkan dalam bidang Tata Usaha Negara atau Pidana Internasional, dan bukan merupakan persoalan perdata Internasional.
Istilah HPI
diperkenalkan oleh Prof. Sudargo Gautama (Gouw Giok Siong) tahun 1972/1973 di
Cipanas dalam konsorsium ilmu hukum. Dalam bukunya Pengantar Hukum Perdata
Internasional, Prof.Sudargo Gautama mendefinisikan HPI sebagai :
“…keseluruhan
peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang
berlaku, atau apakah yang merupakan antar warga (-warga) negara pada suatu
waktu tertentu memperliuhatkan titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan
kaidah-kaidah hukum dari 2 (dua) atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan
kuasa, tempat, pribadi dan soal-soal.”
Sedangkan
Prof.Sunaryati hartono mengatakan bahwa :
Inti dari HPI
adalah pergaulan hidup masyarakat internasional. Oleh sebab itu, ia lebih
condong untuk menanamkan Hukum Perdata Internasional sebagai “Hukum Pergaulan
Internasional”, sebab bukan sifat perdatanya atau pun sifat internasionalnya
yang menentukan kaedah-kaedah hukum Perdata Internasional, akan tetapi
pergaulan Internasionallah (jadi, hubungan-hubungan internasional) yang
menentukan corak kaedah-kaedah Hukum Perdata Internasional.
Terlepas dari
perbedaan-perbedaan penekanan yang mungkin tampak dalam pendapat-pendapat yang
dikemukakan di atas, pada umumnya diterima pandangan bahwa :
Hukum Perdata
internasional adalah seperangkat kaidah hukum nasional yang mengatur peristiwa
atau hubungan hukum yang mengandung unsur-unsur transnasional (atau unsur-unsur
ekstrateritorial). [5]
Istilah HPI juga
berbeda ditiap-tiap Negara, HPI di Negara Inggris dikenal dengan International
Private law, sedangkan di Negara Denmark HPI disebut dengan International
private Recht.
Dengan adanya
perbedaan – p[erbedaan tersebut maka muncullah sebuah konsep hokum antar tata
hokum ( HATAH ) yang terbagi atas :
1. HATAH Intern, berlakunya dua sistem
hukum dalam sutu negara tanpa hukum asing. Contohnya meliputi Hukum Antar Wewenang, Hukum Antar
Tempat, Hukum Antar Golongan dan hukum Antar Agama (dulunya).
2. HATAH Ekstern, melibatkan dua sistem
hukum dalam suatu negara dan salah satunya sistem hukum asing.
Dengan adanya
HATAH tersebut maka HPI tersangkut 2 teori yakni :
1. Lingkungan kuasa hukum (gabied leer)
teori dari Hans Kelsen dan dikembangkan oleh Longemann.
2. Titik Taut Primer, point of
contact/Aanknopping punten.
Dari kedua
kontradiksi istilah HPI Indonesia dimana Perdata Internasional menunjuk pada
hukum perdata, bukan hukum publik (internasionalnya), sementara Indonesia
menunjuk pada nasional (Indonesia), bukan Internasional. Hal ini menimbulkan
dua aliran dalam HPI, yaitu :
1. Internasionalistis
Aliran pertama berisi dikehendakinya HPI
sebagai sistem hukum yang supra-nasional. Artinya hanya ada satu HPI yang
berlaku untuk seluruh dunia. Aliran ini hapus karena dua alasan, yaitu :
1.
Dengan adanya lembaga PBB yang mengakui tiap-tiap negara punya HPInya
sendiri-sendiri, tergantung jumlah negara merdeka yang ada.
2.
Dilihat dari segi teoritis yaitu masalah perbedaan ‘status personil seseorang’
dihadapan hukum, yang dapat digolongkan menjadi 2 yaitu :
- Nasionalitas (kewarganegaraan)
Contohnya
indonesia
menganut nasionalitas dengan dasr hukum pasal 16 AB.
- Tempat tinggal (domisili)
Contohnya
Inggris dan Amerika
2. Nasionalistis
Yaitu tiap negara mempunyai HPInya
sendiri-sendiri. Misal Sumber hokum tertulis yaitu Perundang-undangan, traktat,
Tidak Tertulis : Kebiasaan, Yurisprudensi, Doktrin.
Contoh traktat yaitu traktat Den Haag
1902 dan 1905 tentang perkawinan campuran internasional berlaku hukum calon
suami, tetapi dengan UU nomor 12 tahun 2007 prinsip ini berubah dimana anak
mempunyai dwikewarganegaraan sampai usia 18 tahun.
Sumber
hukum tertulis HPI Indonesia hanya pasal 16 AB, 17 AB, 18 AB, yaitu :
·
Pasal
16 AB : tentang status dan wewenang seseorang. Dalam hal ini berlaku hukum
nasional warga negara yang bersangkutan (asas lex patriae). Pasal 16 AB harus
dianalogikan terhadap orang asing dimana harus dinilai. Misalnya perkawinan
harus berlaku hukum nasionalnya sendiri. Pasal ini erat hubungannya dengan
traktat Den Haag 1902 tentang kawin campur internasional (yang berlaku hukum si
suami).
·
Pasal
17 AB : tentang benda-benda tetap atau tidak bergerak (lex resitae) berlaku
hukum dari negara dimana benda itu bergerak. Contonya isteri dari pegawai
pertamina tang menyimpan surat
berharga di Singapore-pasal 17.
·
Pasal
18 AB : tentang cara atau tindakan hukum/perbuatan hukum-hukum yang berlaku
adlah hukum dari negara dimana cara dilakukan (asasnya bernamalocus regit
actum). Contohnya surat
wasiat, i\orang sakit minta berobat.
Dalam menemukan hukum, hakim harus
memperhatikan cara-cara sarjana hukum terutama HPI dalam menyelesaikan perkara,
pendapat penulis dan yurisprudensi asing. Selain asas-asas umum yang merupakan
tradisi Sarjana Hukum HPI, sehingga putusannya benar-benar putusan yang hidup
(living law). Menurut pasal 22 AB, hakim akan dituntut jika menolak mengadili
karena tidak adanya peraturan. Hal ini karena sering terjadi kekosongan hukum
dalam masalah HPI, sehingga sumber hukum tidak tertulis menjadi sangat penting.
BAB
III
STATUS
PERSONIL, RENVOI dan KWALIFIKASI
3.1. Status
Personil.
Status personil
adalah kondisi atau keadaan suatu pribadi dalam hukum yang diberikan/diakui
oleh negara untuk mengamankan dan melindungi masyarakat dan lembaga-lembaganya.
Status personil ini meliputi hak dan kewajiban, kemampuan dan ketidakmampuan
besikap tindak di bidang hukum, yang unsur-unsurnya tidak dapat diubah atas
kemauan pemiliknya.
Isi dan
jangkauan status personil ada 3 yaitu :
1. Konsepsi luas mengartikan status
personil meliputi berbagai hak, permulaaan/lahir dan terhentinya/mati,
kepribadian, kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum, perlindungan hukum, perlindungan
kepentingan pribadi, soal-soal yang berhubungan dengan hukum keluarga dan
perkawinan.
2. Konsepsi yang agak sempit, seperti yang
dianut di Peancis, tidak menganggap sebagai status personnel : hukum harta
benda perkawinan, pewarisan dan ketidakmampuan bertindak di bidang hukum dalam
hal khusus, misalnya dokter yang tidak akan diperkenankan memperoleh sesuatu
hak yang timbul dari testamen pasiennya.
3. Konsepsi yang lebih sempit, sama sekali
tidak memasukkan hukum keluarga dan pewarisan dalam jangkauan status personel.
Cara menentukan
status personil yaitu ada 2 asas :
1. Asas Personalitas/Kewarganegaraan (Lex patriae)
Untuk personel
suatu pribadi berlaku hukum nasionalnya. Biasanya dianut oleh negara-negara
Eropa kontinental (Civil Law) misalnya Indonesia. Mengedepankan segi
personalitas.
Ada 2 asas dalam
menentukan kewarganegaraan seseorang adalah :
·
Asas
tempat kelahiran (ius soli) yaitu
kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahirannya.
·
Asas
Keturunan (ius sanguinis) yaitu
kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunannya.
Alasan yang
mendukung asas kewarganegaraan, yaitu :
-
Cocok untuk perasaan hukum seseorang
- Sifatnya lebih
permanen
- Lebih membawa
kepastian
2. Asas Territorialitas/Domisili (Lex Domicili)
Status personil
suatu pribadi tunduk pada hukum di negara mana ia berdomisili. Domisili adalah
negara/tempat menetapnya yang menurut hukum dianggap sebagai pusat daripada
kehidupan seseorang (center of his life).
Banyak dianut oleh negara Anglo Saxon. Alasan yang mendukung asas domisili, yaitu
:
·
Hukum
dimana yang bersangkutan hidup
·
Prinsip
kewarganegaraan memerlukan bantuan prinsip domisili (dalam hal terdapat
perbedaan kewarganegaraan)
·
Seringkali
hukum domisili sama dengan hukum hakim
·
Cocok
dalam negara pluralisme hukum
·
Menolong
dimana prinsip kewarganegaraan tidak dapat dilaksanakan Demi kepentingan
adaptasi dari negara imigran
Sistem hukum
Inggris mempunyai keistimewaan tersendiri, dengan 3 macam domisili:
1. Domicile of
origin, diperoleh seseorang pada waktu kelahirannya. Bagi anak sah, domicile of
origin-nya adalah negara dimana ayanhnya berdomisili pada saat ia dilahirkan.
Sedangkan bagi anak tidak sah, domisili ibunyalah yang menjadi domicile of
origin. Bila sang ayahnya mempunyai domicile of choice maka yang merupakan
domisili sang anak adalah domicile of choice ayahnya ini.
2. Domicile of
choice, sistem hukum di Inggris memerlukan 3 syarat bagi seseorang untuk
memilih domicile of choice yaitu kemampuan (capacity), tempat kediaman
(recidence), dan hasrat atau itikad (intention). Pribadi yang tidak mampu
bersikap tindak dalam hukum, tidak dapat memperoleh domicile of choice sendiri.
Juga pribadi tersebut harus mempunyai tempat kediaman sehgari-hari pada suatu
tempat tertentu. Disamping itu harus ada hasrat untuk tetap tinggal pada tempat
kediaman tersebut/permanent-residence.
3. Domicile by
operation of the law, ialah domisili yang dimiliki oleh pribadi-pribadi yang
domisilinya tergantung pada domisili orang lain/dependent.Mereka ini adalah
anak-anak yang belum dewasa, wanita yang berada dalam pekawinan dan orang-orang
yang berada di bawah pengampuan
Domisili anak
yang belum dewasa adalah domisili ayahnya, sedangkan domisili wanita yang
berada dalam perkawinan adalah domisili suaminya.
Beberapa hal
yang harus diperhatikam dalam konsepsi domisili menurut ketentuan di inggris
ini adalah :
1. Setiap orang harus mempunyai domisili
2. Setiap orang hanya diperbolehkan
mempunyai satu domisili.
3. Penentuan domisili seseorang menurut
Hukum Perdata Internasional di Inggris ditentukan oleh hukum Inggris (lex fori).
Bila Indonesia
memakai prinsip domisili meskipun dalam pasal 16 AB memakai prinsip
nasionalitas, ada beberapa sebab karena :
·
Belum
punya bahan bacaan yang cukup
·
Indonesia
menganut pluralisme hukum
·
Sebagai
negara imigran, banyak orang asing yang berimigrasi ke Indonesia
·
Akibatnya
asas ius soli (asal daerah kelahiran) dilepaskan, maka banyak orang yang
menjadi asing di negeri ini
·
Negara
tetangga memakai prinsip domisili, seperti Australia,
Malaysia, Singapore.
3.2. Renvoi
(Penunjukan Kembali) .
Renvoi sangat
erat hubungannya dengan kualifikasi dan titik taut. Memang sebenarnya ketiga
soal ini dapat mencakup dalam satu permasalahan, yaitu hukum manakah yang akan
berlaku (lex cause) dalam suatu
peristiwa Hukum Perdata Internasional. Renvoi timbul apabila hukum, asing yang
ditunjuk oleh lex fori, menunjuk
kembali ke arah lex fori itu, atau
kepada sistim hukum asing lain.
Setelah
mengkwalifikasikan fakta-fakta yang kita hadapi itu, maka kemudian kita mencari
titik-titik taut yang memberi petunjuk kepada kita hukum mana yang akan
berlaku.
Renvoi adalah
penunjukan kembali atau penunjukan lebih lanjut oleh kaidah-kaidah HPI dari
suatu sistem hukum asing yang ditunjuk oleh kaidah HPI lex fori.Penunjuk kembali (Renvoi) merupakan salah satu pranata HPI
tradisional yang terutama berkembang di dalam tradisi Civil Law (Hukum Eropa
Kontinental) sebagai pranata yang dapat digunakan untuk menghindari
pemberlakuan kaidah atau sistem hukum yang seharusnya berlaku (lex causae) yang sudah ditetapkan
berdasarkan prosedur HPI yang normal. Pelaksanaan Renvoi ini pada dasarnya
dimungkinkan karena adanya berbagai sistem hukum di dunia yang masing-masing
memiliki sistem dan kaidah-kaidah HPI-nya sendiri.
Menunjuk ke arah
sistem hukum tertentu, orang dapat melakukan penunjukan dengan 2 (dua)
pengertian yang berbeda, yaitu :
·
Penunjukan
ke arah kaidah-kaidah Hukum Intern (Sachnormen)
dari suatu sistem hukum tertentu. Penunjukan semacam ini dalam bahasa Jerman
dinamakan Sachnormenverweisung.
·
Penunjukan
ke arah keseluruhan sistem hukum tertentu, yang artinya, prima facie, adalah kaidah-kaidah HPI (Kollisionsnormen) dari sistem hukum
tersebut. Penunjukan semacam ini dimnamakan Gesamtverweisung.
Perlu disadari
sepenuhnya bahwa doktrin renvoi harus digunakan sebagai alat bagi hakim untuk
merekayasa penentuan Lex Causae ke
arah sistem hukum yang dianggap akan memberikan putusan yang dianggapnya
terbaik.
Ada
persoalan dalam HPI Renvoi (penundukan kembali) disebabkan karena perbedaan
sistem HPI dibidang status personal dari negara-negara yang terlibat perkara
HPI tersebut.
Misalnya :
perkara perceraian warga negara malaysia
(suami, isteri). Keduanyanb berdomisili di Jakarta. Maka sidasng diadakan di Pengadilan
Negeri Jakarta tetapi hukum yang berlaku menurut pasal 16 AB menentukan
berlakunya hukum malaysia
maka hukum perkawinan malaysia
berlaku. Lalu hakim mendatangkan ahli hukum dari malaysia tapi persoalan tidak
sampai disitu. Kualifikasi hukum malaysia apakah tanpa kaidah HPI
atau sebagai kaidah HPI?
Disini ada
persoalan kualifikasi terhadap hukum asing, yaitu :
1. Hukum perkawinan malaysia
sebagai hukum asing dikualifikasikan sebagai sachnormen (tanpa HPI) Sudah
selesai, menunjuk hikum intern, tanpa renvoi
2. Hukum malaysia
sebagai kaidah HPI yang harus diselesaikan (kallisionsnormen) jadi memberlakukan
hukum malaysia
dimana berdasarkan hukum dimana warga negara berdomisili. Berdasarkan prinsip
domisili maka timbul adanya penundukan kembali (Renvoi). Maka dengan proses
penundukan kembali berlaku hukum indonesia.
Kapan suatu
perkara HPI tidak mungkin terjadi Renvoi?
1. Tidak ada perbedaan sistem HPI
2. Bisa juga apabila hukum asing yang
ditunjuk dikualifikasikan sebagai sach normen (tanpa kaidah HPI).
Sebagaimana
diketahui, renvoi hanya dipersoalkan dalam perkara-perkara yang menyangkut
status seseorang. Jadi tidak ada persoalan renvoi dalam hukum perjanjian.
Karena dalam hukum perjanjian para pihak mempunyai hak untuk memilih hukumnya
sendiri.
Penggunaan Renvoi dalam
HPI.
Menurut
Cheshire, doktrin renvoi ini tidak dapat digunakan disemua jenia perkara HPI,
terutama dalam perkara-perkara yang sedikit banyak berkaitan dengan
transaksi-transaksi bisnis, dan setiap tindakan pilihan hukum dalam
transaksi-transaksi seperti itu pasti akan dimaksudkan sebagai penunjukan ke
arah hukum intern (Sachnormenverweisung). Di dalam pasal 15 dari Konvensi Roma
(1980 yang mengikat semua negara anggota Masyarakat Eropa, misalnya, Renvoi
tegas-tegas ditolak.
Masalah-masalah
HPI yang jika dimungkinkan masih dapat diselesaikan dengan menggunakan doktrin
Renvoi adalah masalah validitas pewarisan (testamenter atau intestatis),
tuntutan-tuntutan atas benda-benda tetap di negara asing, perkara-perkara yang
menyangkut benda bergerak, dan masalah-masalah hukum keluarga (perkawinan,
akibat perkawinan, harta perkawinan, status personal, dan sebagainya).
Masalah renvoi
yang selalu menarik perhatian dari penulis-penulis HPI dari dahulu sampai
sekarang, dikenal dengan berbagai istilah. Di Indonesia memilih istilah
“Penunjukan Kembali”.
Dalamkenyataan
orang dapat melakukan penunjukan dengan dua pengertian yang berbeda :
1. Penunjukan kearah Kaidah-kaidah Hukum
Intern (Sachnormen) dari suatu sistem hukumt ertentu. Penunjukan semacam ini
dalam bahasa Jerman dinamakan Sachnormenverweisung.
2. Penunjukan kearah keseluruhan sistem
hukum tertentu, yang artinya prima facie, adalah kaidah-kaidah HPI
(Kollisionsnormen) dari sistem hukum tersebut. Penunjukan semacam ini dinamakan
Gesamtverweisung.
Secara umum
dapat dikatakan bahwa renvoi adalah Penunjukan kembali atau penunjukan lebih
lanjut oleh kaidah-kaidah HPI dari suatu sistem hukum asing yang ditunjuk oleh
kaidah HPI lexfori.
Dalam HPI
tradisional, orang mengenal dua jenis single-renvoi :
1. Remission ( Penunjukankembali,
Ruckverweisung, Tutugverwijzing ), yaitu proses renvoiolehkaidah HPI
asingkembalikearahlexfori.
2. Transmission (Penunjukan lebih lanjut,
Weiterverweisung, Verderverwijzing), yaitu proses renvoiolehkaidah HPI
asingkearahsuatusistemhukumasing lain.
Bila pranata
renvoi yang dijelaskan dalam paragraf-paragraf sebelumnya dipahami sebagai
renvoi yang berkembang di Eropa Kontinental dan dikenal sebagai pranata Single
Renvoi, maka dalam sistem hukum Inggris berkembang pula sejenis renvoi yang
diberi nama The Foreign Court Theory. Pengadilan di Inggris pada dasarnya
menolak pelaksanaan doktrin single-renvoi dalam penyelesaian perkara-perkara
HPI.Namun demikian, dalam beberapa perkara tampak adanya kebutuhan bagi sistem
peradilan HPI Inggris untuk mengenyampingkan berlakunya lex causae dengan
menggunakan pola pikir yang mirip renvoi.
Renvoi timbul
karena adanya perbedaan sistem HPI. Setiap negara yang berdaulat memiliki
sistem hukum perdata internasionalnya sendiri-sendiri. Dalammenentukan status
personil, ada 2 sistem :mengikuti prinsip nasionalitas atau prinsip domisili.
Hal-hal inilah yang menimbulkan terjadinya renvoi.
3.3. KWALIFIKASI.
Dalam HPI, masalah kwalifikasi
masalah hukum ini ditangani secara lebih khusus, karena dalam perkara-perkara
HPI orang selalu berurusan dengan kemungkinan berlakunya lebih dari satu sistem
atau aturan hukum dari dua negara yang berbeda untuk mengatur sekumpulan fakta
tertentu.
Kwalifikasi
sebenarnya adalah melakukan “translation” atau “penyalinan” daripada
fakta-fakta sehari-hari dalam istilah-istilah hukum.
Ada
sistim-sistim HPI yang meletakkan titikberat pada tempat di mana dikirimkan
penerimaan penawaran yang telah di adakan.
Dalam garis
besar terdapat tigamacam kwalifikasi :
- Kwalifikasi menurut lexfori ( hukum hakim). Menurut pendirian ini kwalifikasi harus dilakukan menurut hukum materil sang hakim.
- Kwalifikasi menurut lex causae (hukum yang dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan HPI bersangkutan). Menurut pandangan ini, maka kwalifikasi dilakukan menurut sistem hukum darimana pengertian ini berasal.
- Kwalifikasi secara otonom, berdasarkan “comparative method” atau “analytical jurisprudence”. Kwalifikasi dilakukan secara otonom, terlepas dari salah satu sistem hukum tertentu.
Kwalifikasi
dibedakan menjadi dua ,yaitu :
1. Kwalifikasi Primer adalah kwalifikasi
yang diperlukan untuk dapat menentukan hukum yang harus dipergunakan.
2. Kwalifikasi Sekunder adalah apabila
sudah diketahui hukum asing manakah yang harus dipergunakan, maka perlu
dilakukan kwalifikasi lebih jauh menurut hukum asing tersebut
DAFTAR
PUSTAKA
Bayu Seto, Dasar-dasar hukum perdata Internasional, Bandung : PT Citra Aditya
bakti, 2001.
Hardjowohono, Bayu
Seto.2006. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional.Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti.
Mochtar Kusumaatmaja dan Etty R. Agoes, Pengantar
Hukum Internasional, Bandung
: PT Alumni, 2003
Undang-Undang:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
[1]
Hardjowohono, Bayu Seto.2006.
Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional.Bandung : PT. Citra Aditya Bakti hal 32
[2]
Hardjowohono, Bayu Seto.2006.
Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional.Bandung : PT. Citra Aditya Bakti hal 33
[3]
Hardjowohono, Bayu Seto.2006.
Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional.Bandung : PT. Citra Aditya Bakti
hal 51
[4]
Mochtar Kusumaatmaja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung : PT Alumni,
2003,hlm 1-2
[5] Bayu
Seto, Dasar-dasar hukum perdata Internasional, Bandung : PT Citra Aditya bakti, 2001, hlm 8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar