BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pertumbuhan dan perkembangan fiqih menunjukkan pada suatu dinamika
pemikiran keagamaan itu sendiri. Hal tersebut merupakan persoalan yang tidak
pernah usai di manapun dan kapanpun, terutama dalam masyarakat-masyarakat agama
yang sedang mengalami modernisasi. Di lain pihak, evolusi historikal dari
perkembangan fiqih secara sungguh-sungguh telah menyediakan frame work bagi
pemikiran Islam, atau lebih tepatnya actual working bagi karakterisitik
perkembangan Islam itu sendiri.
Kehadiran fiqih ternyata mengiringi pasang-surut perkembangan Islam, dan
bahkan secara amat dominan, fiqih terutama fiqih abad pertengahan mewarnai dan
memberi corak bagi perkembangan Islam dari masa ke masa. Karena itulah,
kajian-kajian mendalam tentang masalah kesejahteraan fiqih tidak semata-mata
bernilai historis, tetapi dengan sendirinya menawarkan kemungkinan baru bagi
perkembangan Islam berikutnya.
Jika kita telusuri sejak saat kehidupan Nabi Muhammad saw, para sejarahwan
sering membaginya dalam dua priode yakni periode Mekkah dan periode Madinah.
Pada periode pertama risalah kenabian berisi ajaran-ajaran akidah dan akhlaq,
sedangkan pada periode kedua risalah kenabian lebih banyak berisi hukum-hukum.
Dalam mengambil keputusan masalah amaliyah sehari-hari para sahabat tidak perlu
melakukan ijtihad sendiri, karena mereka dapat langsung bertanya kepada Nabi
jika mereka mendapati suatu masalah yang belum mereka ketahui.
Sampai dengan masa empat khalifah pertama hukum-hukum syariah itu belum
dibukukan, dan belum juga diformulasikan sebagai sebuah ilmu yang sistematis.
Kemudian pada masa-masa awal periode tabi'in (masa Dinasti Umayyah) muncul
aliran-aliran dalam memahami hukum-hukum syariah serta dalam merespon
persoalan-persoalan baru yang muncul sebagai akibat semakin luasnya wilayah
Islam, yakni ahl al-hadis dan ahl al-ra'y. Aliran pertama, yang berpusat di
Hijaz (Mekkah-Madinah), banyak menggunakan hadis dan pendapat-pendapat sahabat,
serta memahaminya secara harfiah. Sedangkan aliran kedua, yang berpusat di
Irak, banyak menggunakan rasio dalam merespons persoalan baru yang muncul.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Sejarah munculnya Madzhab dalam fiqh?
2.
Bagaimana proses pertumbuhan dan perkembangan
Madzhab dalan fiqih?
3.
Apa dasar-dasar dari perbedaan munculnya madzhab
dalam fiqh?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui Sejarah munculnya Madzhab dalam fiqh
2.
Untuk mengetahui proses pertumbuhan dan
perkembangan Madzhab Fiqh
3.
Mengetahui dasar-dasar dari perbedaan munculnya
madzhab dalam fiqh
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam perkembangan fiqh di kenal beberapa mazhab fiqh. Berdasarkan
keberadaannya, mazhab fiqh ada yang masih utuh dan dianut masyarakat tertentu,
namun ada pula yang telah punah. Sedangkan berdasarkan aspek teologisnya,
mazhab fiqh dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu Mazhab Ahlusunnah,
Hawarij dan Mazhab Syiah.
Mazhab ini
terdiri atas 4 (empat) mazhab populer yang masih utuh sampai sekarang, yaitu
sebagai berikut:
Pemikiran fiqh
dari mazhab ini diawali oleh Imam Abu Hanifah. Ia dikenal sebagai imam Ahlurra’yi
serta faqih dari Irak yang banyak dikunjungi oleh berbagai ulama di zamannya.
Mazhab Hanafi dikenal banyak menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan.
Dalam memperoleh suatu hukum yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama mazhab
ini meninggalkan qaidah qiyas dan menggunakan qaidah istihsan. Alasannya,
qaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus
tertentu. Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadits mereka nilai
sebagai hadits ahad.
Yang menjadi
pedoman dalam menetapkan hukum Islam (fiqh) di kalangan Mazhab Hanafi adalah
Al-Qur’an, sunnah Nabi SAW, fatwa sahabat, qiyas, istihsan, ijma’i. Sumber asli
dan utama yang digunakan adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, sedangkan yang
lainnya merupakan dalil dan metode dalam meng-istinbat-kan hukum Islam dari
kedua sumber tersebut.
Tidak ditemukan
catatan sejarah yang menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah menulis sebuah buku
fiqh. Akan tetapi pendapatnya masih bisa dilacak secara utuh, sebab muridnya
berupaya untuk menyebarluaskan prinsipnya, baik secara lisan maupun tulisan.
Berbagai pendapat Abu Hanifah telah dibukukan oleh muridnya, antara lain
Muhammad bin Hasan asy-Syaibani dengan judul Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir.
Buku Zahir ar-Riwayah ini terdiri atas 6 (enam) bagian, yaitu:
·
Bagian pertama diberi nama al-Mabsut;
·
Bagian kedua al-Jami’ al-Kabir;
·
Bagian ketiga al-Jami’ as-Sagir;
·
Bagian keempat as-Siyar al-Kabir;
·
Bagian kelima as-Siyar as-Sagir; dan
·
Bagian keenam az-Ziyadah.
Keenam bagian
ini ditemukan secara utuh dalam kitab al-Kafi yang disusun oleh Abi
al-Fadi Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Maruzi (w. 344 H.). Kemudian pada
abad ke-5 H. muncul Imam as-Sarakhsi yang mensyarah al-Kafi tersebut dan diberi
judul al-Mabsut. Al-Mabsut inilah yang dianggap sebagai kitab induk
dalam Mazhab Hanafi.
Disamping itu,
Mazhab Hanafi juga dilestarikan oleh murid Imam Abu Hanifah lainnya, yaitu Imam
Abu Yusuf yang dikenal juga sebagai peletak dasar usul fiqh Mazhab Hanafi. Ia
antara lain menuliskannya dalam kitabnya al-Kharaj, Ikhtilaf Abu Hanifah wa
Ibn Abi Laila, dan kitab-kitab lainnya yang tidak dijumpai lagi saat ini.
Ajaran Imam Abu
Hanifah ini juga dilestarikan oleh Zufar bin Hudail bin Qais al-Kufi (110-158
H.) dan Ibnu al-Lulu (w. 204 H). Zufar bin Hudail semula termasuk salah seorang
ulama Ahlulhadits. Berkat ajaran yang ditimbanya dari Imam Abu Hanifah
langsung, ia kemudian terkenal sebagai salah seorang tokoh fiqh Mazhab Hanafi
yang banyak sekali menggunakan qiyas. Sedangkan Ibnu al-Lulu juga salah seorang
ulama Mazhab Hanafi yang secara langsung belajar kepada Imam Abu Hanifah,
kemudian ke pada Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani.
Pemikiran fiqh
mazhab ini diawali oleh Imam Malik. Ia dikenal luas oleh ulama sezamannya
sebagai seorang ahli hadits dan fiqh terkemuka serta tokoh Ahlulhadits.
Pemikiran fiqh
dan usul fiqh Imam Malik dapat dilihat dalam kitabnya al-Muwaththa’ yang
disusunnya atas permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid dan baru selesai di zaman
Khalifah al-Ma’mun. Kitab ini sebenarnya merupakan kitab hadits, tetapi karena
disusun dengan sistematika fiqh dan uraian di dalamnya juga mengandung
pemikiran fiqh Imam Malik dan metode istinbat-nya, maka buku ini juga disebut
oleh ulama hadits dan fiqh belakangan sebagai kitab fiqh. Berkat buku ini,
Mazhab Maliki dapat lestari di tangan murid-muridnya sampai sekarang.
Prinsip dasar Mazhab
Maliki ditulis oleh para murid Imam Malik berdasarkan berbagai isyarat yang
mereka temukan dalam al-Muwaththa’. Dasar Mazhab Maliki adalah
Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Ijma’, Tradisi penduduk Madinah (statusnya sama
dengan sunnah menurut mereka), Qiyas, Fatwa Sahabat, al-Maslahah al-Mursalah,
’Urf; Istihsan, Istishab, Sadd az-Zari’ah, dan Syar’u Man Qablana. Pernyataan
ini dapat dijumpai dalam kitab al-Furuq yang disusun oleh Imam al-Qarafi
(tokoh fiqh Mazhab Maliki). Imam asy-Syatibi menyederhanakan dasar fiqh
Mazhab Maliki tersebut dalam empat hal, yaitu Al-Qur’ an, sunnah Nabi SAW,
ijma’, dan rasio. Alasannya adalah karena menurut Imam Malik, fatwa sahabat dan
tradisi penduduk Madinah di zamannya adalah bagian dari sunnah Nabi SAW. Yang
termasuk rasio adalah al-Maslahah al-Mursalah, Sadd az-Zari’ah, Istihsan, ’Urf;
dan Istishab. Menurut para ahli usul fiqh, qiyas jarang sekali digunakan Mazhab
Maliki. Bahkan mereka lebih mendahulukan tradisi penduduk Madinah daripada
qiyas.
Para murid Imam
Malik yang besar andilnya dalam menyebarluaskan Mazhab Maliki diantaranya
adalah Abu Abdillah Abdurrahman bin Kasim (w. 191 H.) yang dikenal sebagai
murid terdekat Imam Malik dan belajar pada Imam Malik selama 20 tahun, Abu
Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim (w. 197 H.) yang sezaman dengan Imam
Malik, dan Asyhab bin Abdul Aziz al-Kaisy (w. 204 H.) serta Abu Muhammad
Abdullah bin Abdul Hakam al-Misri (w. 214 H.) dari Mesir. Pengembang mazhab ini
pada generasi berikutnya antara lain Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakam (w.
268 H.) dan Muhammad bin Ibrahim al-Iskandari bin Ziyad yang lebih populer
dengan nama Ibnu al-Mawwaz (w. 296 H.).
Disamping itu,
ada pula murid-murid Imam Malik lainnya yang datang dari Tunis, Irak, Hedjzaz,
dan Basra. Disamping itu Mazhab Maliki juga banyak dipelajari oleh mereka yang
berasal dari Afrika dan Spanyol, sehingga mazhab ini juga berkembang di dua
wilayah tersebut.
Pemikiran fiqh
mazhab ini diawali oleh Imam asy-Syafi’i. Keunggulan Imam asy-Syafi’i sebagai
ulama fiqh, usul fiqh, dan hadits di zamannya diakui sendiri oleh ulama
sezamannya.
Sebagai orang
yang hidup di zaman meruncingnya pertentangan antara aliran Ahlulhadits dan
Ahlurra ’yi, Imam asy-Syafi ’i berupaya untuk mendekatkan pandangan
kedua aliran ini. Karenanya, ia belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh
Ahlulhadits dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlurra’yi.
Prinsip dasar Mazhab
Syafi’i dapat dilihat dalam kitab usul fiqh ar-Risalah. Dalam buku
ini asy-Syafi’i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa
contoh merumuskan hukum far’iyyah (yang bersifat cabang). Dalam
menetapkan hukum Islam, Imam asy-Syafi’i pertama sekali mencari alasannya dari
Al-Qur’an. Jika tidak ditemukan maka ia merujuk kepada sunnah Rasulullah SAW.
Apabila dalam kedua sumber hukum Islam itu tidak ditemukan jawabannya, ia melakukan
penelitian terhadap ijma’ sahabat. Ijma’ yang diterima Imam asy-Syafi’i sebagai
landasan hukum hanya ijma’ para sahabat, bukan ijma’ seperti yang dirumuskan
ulama usul fiqh, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap
suatu hukum, karena menurutnya ijma’ seperti ini tidak mungkin terjadi. Apabila
dalam ijma’ tidakjuga ditemukan hukumnya, maka ia menggunakan qiyas, yang dalam
ar-Risalah disebutnya sebagai ijtihad. Akan tetapi, pemakaian qiyas bagi
Imam asy-Syafi ’i tidak seluas yang digunakan Imam Abu Hanifah, sehingga ia
menolak istihsan sebagai salah satu cara meng-istinbat-kan hukum syara’
Penyebarluasan
pemikiran Mazhab Syafi’i berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Maliki. Diawali
melalui kitab usul fiqhnya ar-Risalah dan kitab fiqhnya al-Umm,
pokok pikiran dan prinsip dasar Mazhab Syafi ’i ini kemudian disebarluaskan dan
dikembangkan oleh para muridnya. Tiga orang murid Imam asy-Syafi ’i yang
terkemuka sebagai penyebar luas dan pengembang Mazhab Syafi’i adalah Yusuf bin
Yahya al-Buwaiti (w. 231 H./846 M.), ulama besar Mesir; Abi Ibrahim Ismail bin
Yahya al-Muzani (w. 264 H./878 M.), yang diakui oleh Imam asy-Syafi ’i sebagai
pendukung kuat mazhabnya; dan ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 270 H.), yang
besar jasanya dalam penyebarluasan kedua kitab Imam asy-Syafi ’i tersebut.
Pemikiran
Mazhab Hanbali diawali oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Ia terkenal sebagai ulama
fiqh dan hadits terkemuka di zamannya dan pernah belajar fiqh Ahlurra’yi
kepada Imam Abu Yusuf dan Imam asy-Syafi’i.
Menurut Ibnu
Qayyim al-Jauziah, prinsip dasar Mazhab Hanbali adalah sebagai berikut:
1. An-Nusus
(jamak dari nash), yaitu Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, dan Ijma’;
2. Fatwa
Sahabat;
3. Jika
terdapat perbedaan pendapat para sahabat dalam menentukan hukum yang dibahas,
maka akan dipilih pendapat yang lebih dekat dengan Al-Qur’an dan sunnah Nabi
SAW;
4. Hadits
mursal atau hadits daif yang didukung oleh qiyas dan tidak bertentangan dengan
ijma’; dan
5. Apabila
dalam keempat dalil di atas tidak dijumpai, akan digunakan qiyas. Penggunaan
qiyas bagi Imam Ahmad bin Hanbal hanya dalam keadaan yang amat terpaksa.
Prinsip dasar Mazhab Hanbali ini dapat dilihat dalam kitab hadits Musnad Ahmad
ibn Hanbal. Kemudian dalam perkembangan Mazhab Hanbali pada generasi
berikutnya, mazhab ini juga menerima istihsan, sadd az-Zari’ah, ’urf; istishab,
dan al-maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam.
Para pengembang
Mazhab Hanbali generasi awal (sesudah Imam Ahmad bin Hanbal) diantaranya adalah
al-Asram Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani al-Khurasani al-Bagdadi (w. 273
H.), Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaj al-Masruzi (w. 275 H.), Abu Ishaq Ibrahim
al-Harbi (w. 285 H.), dan Abu al-Qasim Umar bin Abi Ali al-Husain al-Khiraqi
al-Bagdadi (w. 324 H.). Keempat ulama besar Mazhab Hanbali ini merupakan murid
langsung Imam Ahmad bin Hanbal, dan masing-masing menyusun buku fiqh sesuai
dengan prinsip dasar Mazhab Hanbali di atas.
Tokoh lain yang
berperan dalam menyebarluaskan dan mengembangkan Mazhab Hanbali adalah Ibnu
Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah. Sekalipun kedua ulama ini tidak selamanya
setuju dengan pendapat fiqh Imam Ahmad bin Hanbal, mereka dikenal sebagai
pengembang dan pembaru Mazhab Hanbali. Disamping itu, jasa Muhammad bin Abdul
Wahhab dalam pengembangan dan penyebarluasan Mazhab Hanbali juga sangat besar.
Pada zamannya, Mazhab Hanbali menjadi mazhab resmi Kerajaan Arab Saudi.
Mazhab fiqh
Syiah yang populer adalah Syiah Zaidiyah dan Syiah Imamiyah.
Mazhab ini
dikaitkan kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin (w. 122 H./740 M.), seorang
mufasir, muhaddits, dan faqih di zaman-nya. Ia banyak menyusun buku dalam
berbagai bidang ilmu. Dalam bidang fiqh ia menyusun kitab al-Majmu’ yang
menjadi rujukan utama fiqh Zaidiyah. Namun ada diantara ulama fiqh yang
menyatakan bahwa buku tersebut bukan tulisan langsung dari Imam Zaid. Namun
Muhammad Yusuf Musa (ahli fiqh Mesir) menyatakan bahwa pemyataan tersebut tidak
didukung oleh alasan yang kuat. Menurutnya, Imam Zaid di zamannya dikenal
sebagai seorang faqih yang hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah, sehingga
tidak mengherankan apabila Imam Zaid menulis sebuah kitab fiqh. Kitab al-Majmu’
ini kemudian disyarah oleh Syarifuddin al-Husein bin Haimi al-Yamani
as-San’ani (w.1221 H.) dengan judul ar-Raud an-Nadir Syarh Majmu, al-Fiqh
al-Kabir.
Para pengembang
Mazhab Zaidiyah yang populer diantaranya adalah Imam al-Hadi Yahya bin Husein
bin Qasim (w. 298 H.), yang kemudian dikenal sebagai pendiri Mazhab
Hadawiyah. Dalam menyebarluaskan dan mengembangkan Mazhab Zaidiyah, Imam
al-Hadi menulis beberapa kitab fiqh. di antaranya Kitab al-Jami’ fi al-Fiqh,
ar-Risalah fi al-Qiyas, dan al-Ahkam fi al-Halal wa al-Haram.
Setelah itu terdapat imam Ahmad bin Yahya bin Murtada (w. 840 H.) yang menyusun
buku al-Bahr az-Zakhkhar al-Jami’ li Mazahib ’Ulama’ al-Amsar.
Pada dasarnya
fiqh Mazhab Zaidiyah tidak banyak berbeda dengan fiqh ahlulsunnah. Perbedaan
yang bisa dilacak antara lain: ketika berwudlu tidak perlu menyapu telinga,
haram memakan makanan yang disembelih non-muslim, dan haram mengawini wanita
ahlulkitab. Disamping itu, mereka tidak sependapat dengan Syiah Imamiyah
yang menghalalkan nikah mut’ah. Menurut Muhammad Yusuf Musa, pemikiran
fiqh Mazhab Zaidiyah lebih dekat dengan pemikiran fiqh ahlurra’yi
Menurut
Muhammad Yusuf Musa, fiqh Syiah Imamiyah lebih dekat dengan fiqh Mazhab Syafi
’i dengan beberapa perbedaan yang mendasar.
Dalam
berijtihad, apabila mereka tidak menemukan hukum suatu kasus dalam Al-Qur’an,
mereka merujuk pada sunnah yang diriwayatkan para imam mereka sendiri. Menurut
mereka, yang juga dianut oleh Mazhab Syiah Zaidiyah, pintu ijtihad tidak pernah
tertutup. Berbeda dengan Syiah Zaidiyah, Mazhab Syiah Imamiyah tidak menerima
qiyas sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Alasannya, qiyas
merupakan ijtihad dengan menggunakan rasio semata. Hal ini dapat dipahami,
karena penentu hukum di kalangan mereka adalah imam, yang menurut keyakinan
mereka terhindar dari kesalahan (maksum). Atas dasar keyakinan tersebut,
mereka juga menolak ijma’ sebagai salah satu cara dalam menetapkan hukum
syara’, kecuali ijma’ bersama imam mereka.
Kitab fiqh
pertama yang disusun oleh imam mereka, Musa al-Kazim (128-183 H), diberi judul al-Halal
wa al-Haram. Kemudian disusul oleh Fiqh ar-Righa yang disusun oleh
Ali ar-Ridla (w. 203 H/ 818M).
Menurut
Muhammad Yusuf Musa, pendiri sebenarnya fiqh Syiah adalah Abu Ja’far Muhammad
bin Hasan bin Farwaij as-Saffar al-A’raj al-Qummi (w. 290 H.). Dasar pemikiran
fiqh Syiah Imamiyah dapat dilihat dalam buku karangannya yang berjudul Basya’ir
ad-Darajat fi ’Ulum ’Ali Muhammad wa ma Khassahum Allah bihi. Setelah itu
Mazhab Syiah Imamiyah disebarluaskan dan dikembangkan oleh Muhammad bin Ya’qub
bin Ishaq al-Kulaini (w. 328 H.) melalui kitabnya, al-Kafi fi ’ilm ad-Din.
Perbedaan
mendasar fiqh Syiah Imamiyah dengan jumhur Ahlussunnah antara lain:
1. Syiah
Imamiyah menghalalkan nikah mut’ah yang diharamkan ahlus sunnah;
2. Syiah
Imamiyah mewajibkan kehadiran saksi dalam talak, yang menurut pandangan ahlus
sunnah tidak perlu; dan
3. Syiah
Imamiyah, termasuk syiah Zaidiyah, mengharamkan lelaki muslim menikah dengan
wanita Ahlulkitab.
Syiah Imamiyah sekarang banyak dianut oleh masyarakat Iran dan
Irak. Mazhab ini merupakan mazhab resmi pemerintah Republik Islam Iran
sekarang.
Pengertian
mazhab yang telah punah di sini menurut ulama fiqh adalah mazhab tersebut tidak
memiliki tokoh dan pengikut yang fanatik, sekalipun ada sebagian pendapat
mazhab tersebut dianut sebagian ulama atau masyarakat, hal tersebut hanya
merupakan salah satu pendapat yang menjadi alternatif untuk menjawab kasus
tertentu. Selain itu, mazhab tersebut dinyatakan punah karena pendapatnya tidak
dibukukan sehingga tidak terpublikasikan secara luas, sehingga pengikutnya pun
tidak ada.
Menurut
Muhammad Yusuf Musa, mazhab-mazhab yang telah punah itu antara lain sebagai
berikut:
Tokoh
pemikirnya adalah Abdurrahman al-Auza’i (88-157 H.). Ia adalah seorang ulama
fiqh terkemuka di Syam (Suriah) yang hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah. Ia
dikenal sebagai salah seorang ulama besar Damascus yang menolak qiyas. Dalam
salah satu riwayat ia berkata: "Apabila engkau menemukan sunnah Rasulullah
SAW maka ambillah sunnah tersebut dan tinggalkanlah seluruh pendapat yang
didasarkan kepada yang lainnya (selain Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW)."
Mazhab
al-Auza’i pernah dianut oleh masyarakat Suriah sampai Mazhab Syafi’i
menggantikannya. Mazhab ini juga dianut masyarakat Andalusia, Spanyol, sebelum
Mazhab Maliki berkembang di sana. Pemikiran Mazhab al-Auza’i saat ini hanya
ditemukan dalam beberapa literatur fiqh (tidak dibukukan secara khusus). Pemikiran
al-Auza’i dapat dilihat dalam kitab fiqh yang disusun oleh Abu Ja’far Muhammad
bin Jarir ath-Thabari (w. 310 H./923 M.; mufasir dan faqih) yang berjudul Ikhtilaf
al-Fuqaha, dan dalam kitab al-Umm yang disusun Imam asy-Syafi’i.
Dalam al-Umm, asy-Syafi’i mengemukakan perdebatan antara Imam Abu
Hanifah dan al-Auza’i, serta antara Imam Abu Yusuf dan al-Auza’i. Menurut Ali
Hasan Abdul Qadir (ahli fiqh dari Mesir), Mazhab al-Auza’i tidak dianut lagi
oleh masyarakat sejak awal abad kedua Hijriyah.
Tokoh
pemikirnya adalah Sufyan as-Sauri (w. 161 H./778 M.). Ia juga sezaman dengan
Imam Abu Hanifah dan termasuk salah seorang mujtahid ketika itu. Akan tetapi,
pengikut as-Sauri tidak banyak. Ia juga tidak meninggalkan karya ilmiah. Mazhab
ini pun tidak dianut masyarakat lagi sejak wafatnya penerus Mazhab as-Sauri,
yaitu Abu Bakar Abdul Gaffar bin Abdurrahman ad-Dinawari pada tahun 406 H. Ia
adalah seorang mufti dalam Mazhab as-Sauri di Masjid al-Mansur, Baghdad.
Tokoh
pemikirnya adalah al-Lais bin Sa’ad. Menurut Ali Hasan Abdul Qadir, mazhab ini
telah punah dengan masuknya abad ke-3 H.
Fatwa hukum
yang dikemukakan al-Lais yang sampai sekarang tidak bisa diterima oleh ulama
mazhab adalah fatwanya tentang hukuman berpuasa berturut-turut selama dua bulan
terhadap seorang pejabat di Andalusia yang melakukan hubungan suami istri di
siang hari pada bulan Ramadlan.
Dalam fatwanya,
al-Lais tidak menerapkan urutan hukuman yang ditetapkan Rasulullah SAW, dalam
haditsnya yang diriwayatkan oleh mayoritas rawi hadits dari Abu Hurairah. Dalam
hadits itu dinyatakan bahwa hukuman orang yang melakukan hubungan suami istri
di siang hari pada bulan Ramadlan adalah memerdekakan budak; kalau tidak mampu
memerdekakan budak, maka diwajibkan berpuasa selama dua bulan berturut-turut;
dan kalau tidak mampu juga berpuasa selama dua bulan berturut-turut, maka
memberi makan fakir miskin sebanyak 60 orang. Al-Lais tidak menerapkan hukuman
pertama (memerdekakan budak). Alasannya, seorang penguasa akan dengan mudah
memerdekakan budak, sehingga fungsi hukuman sebagai tindakan preventif tidak
tercapai. Demikian juga dengan memberi makan 60 orang fakir miskin bukanlah
suatu yang sulit bagi seorang penguasa. Oleh sebab itu, al-Lais menetapkan
hukuman berpuasa dua bulan berturut- turut bagi pejabat tersebut. Menurutnya,
hukuman tersebut lebih besar kemaslahatannya dan dapat mencapai tujuan syara’.
Jumhur ulama menganggap fatwa ini tidak sejalan dengan nash, karena nash
menentukan bahwa hukuman pertama yang harus dijatuhkan pada pejabat tersebut
semestinya adalah memerdekakan budak, bukan langsung kepada puasa dua bulan
berturut-turut. Oleh sebab itu, landasan kemaslahatan yang dikemukakan al-Lais,
menurut jumhur ulama adalah al-maslahah al-gharibah (kemaslahatan yang
asing yang tidak didukung oleh nash, baik oleh nash khusus maupun oleh makna
sejumlah nash).
Tokoh
pemikirnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari atau Ibnu Jarir
ath-Thabari (w. 310 H.). Menurut Ibnu Nadim (w. 385 H./995 M.; sejarawan),
ath-Thabari merupakan ulama besar dan faqih di zamannva. Di samping seorang
faqih, ia juga dikenal sebagai muhaddits dan mufassir. Kitabnya di bidang
tafsir masih utuh sampai sekarang dan dipandang sebagai buku induk di bidang
tafsir, yang dikenal dengan nama Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an. Di
bidang fiqh ath-Thabari juga menulis sebuah buku dengan judul Ikhtilaf
al-Fuqaha.
Dalam bidang
fiqh, ath-Thabari pernah belajar fiqh Mazhab Syafi’i melalui ar-Rabi bin
Sulaiman di Mesir, murid Imam asy-Syafi’i. Akan tetapi, tidak banyak ulama dan
masyarakat yang mengikuti pemikiran fiqh ath-Thabari, sehingga sejak abad ke-4
H mazhab ini tidak mempunyai pengikut lagi.
Tokoh
pemikirnya adalah Daud az-Zahiri yang dijuluki Abu Sulaiman. Pemikiran mazhab
ini dapat ditemui sampai sekarang melalui karya ilmiah Ibnu Hazm, yaitu kitab al-Ahkam
fi Usul al-Ahkam di bidang usul fiqh dan al-Muhalla di bidang fiqh.
Sesuai dengan
namanya, prinsip dasar mazhab ini adalah memahami nash (Al-Qur’ an dan sunnah Nabi
SAW) secara literal, selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan bahwa
pengertian yang dimaksud dari suatu nash bukan makna literalnya. Apabila suatu
masalah tidak dijumpai hukumnya dalam nash, maka mereka berpedoman pada ijma’.
Ijma’ yang mereka terima adalah ijma’ seluruh ulama mujtahid pada suatu masa
tertentu, sesuai dengan pengertian ijma’ yang dikemukakan ulama usul fiqh.
Menurut Muhammad Yusuf Musa, pendapat az-Zahiri merupakan bahasa halus dalam
menolak kehujahan ijma’, karena ijma’ seperti ini tidak mungkin terjadi seperti
yang dikemukakan Imam asy-Syafi’i. Kemudian, mereka juga menolak qiyas,
istihsan, al-maslahah al-mursalah dan metode istinbat lainnya yang didasarkan
pada ra’yu (rasio semata):
Sekalipun para
tokoh Mazhab az-Zahiri banyak menulis buku di bidang fiqh, mazhab ini tidak
utuh karena pengikut fanatiknya tidak banyak. Akan tetapi, dalam
literatur-literatur fiqh, pendapat mazhab ini sering dinukilkan ulama fiqh
sebagai perbandingan antar mazhab. Mazhab ini pernah dianut oleh sebagian
masyarakat Andalusia, Spanyol.
Dengan punahnya
mazhab-mazhab kecil ini, maka mazhab fiqh yang utuh dan dianut masyarakat Islam
di berbagai wilayah Islam sampai sekarang adalah Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab
Syafi’i dan Mazhab Hanbali, yang dalam fiqh disebut dengan al-Mazahib
al-Arba’ah (Mazhab yang Empat) atau al-Mazahib al-Qubra (Mazhab-Mazhab
Besar)
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perbedaan pendapat dalam lapangan hukum tersebut merupakan sebuah hasil
penelitian (ijtihad), hal ini tidak perlu dipandang sebagai faktor yang
melemahkan kedudukan hukum Islam, akan tetapi sebaliknya bisa memberikan
kelonggaran kepada orang banyak sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi pada
sebuah hadis :
اختلاف امتى رحمة (رواه البيهقى فى الرسالة الاشعرية
Yang maksudnya : “Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat” (HR.
Baihaqi dalam Risalah Asy’ariyyah).
Ini berarti, bahwa orang bebas memilih salah satu pendapat dari pendapat
yang banyak itu, dan tidak terpaku hanya kepada satu pendapat saja.
Pada pembahasan selanjutnya akan dijelaskan tentang pengertian mazhab, latar belakang dan sejarah awal kemunculan mazhab-mazhab dalam fiqih, bilkhusus pada empat mazhab yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali serta beberapa hal lain yang berhubungan dengan keempat mazhab tersebut.
Pada pembahasan selanjutnya akan dijelaskan tentang pengertian mazhab, latar belakang dan sejarah awal kemunculan mazhab-mazhab dalam fiqih, bilkhusus pada empat mazhab yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali serta beberapa hal lain yang berhubungan dengan keempat mazhab tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Romli SA, Muqaranah Mazahib Fi Ushul, Gaya
Media Pratama, 1999
Asy Syak’ah, Mustofa
Muhammad, Islam Tidak Bermazhab, Cet. 2, Gema Insani Press: Jakarta, 1995
Mustofa Al Maraghi,
Abdullah, Pakar Pakar Fiqih Sepanjang Sejarah, Cet. 1, LKPSM: Yogyakarta, 2001
Sirry, Mun’im A.,
Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar, Cet.2, Risalah Gusti: Surabaya, 1996
http://diaz2000.multiply.com/journal/item/20/Sejarah_Singkat_Munculnya_Mazhab-Mazhab_dalam_Islam diakses tanggal 25 September 2013
http://apat-kedahi.blogspot.com/2009/04/mazhab-mazhab-fiqih-dan-pengertiannya.html diakses tanggal 25 September
2013
http://www.hupelita.com/baca.php?id=495 diakses tanggal 25 September 2013
http://www.cybermq.com/pustaka/detail//100/sejarah-perkembangan-fiqh diakses tanggal 25 September
2013
http://neobyadver.blog.plasa.com/2009/05/26/sejarah-singkat-munculnya-mazhab-mazhab-dalam-islam/ diakses tanggal 25 September
2013
http://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Hanifah diakses tanggal 25 September 2013
http://id.wikipedia.org/wiki/Malik_bin_Anas diakses tanggal 25 September
2013
http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_bin_Hanbal diakses tanggal 25 September
2013
http://www.mail-archive.com/sarikata@yahoogroups.com/msg08055.html diakses tanggal 25 September
2013
http://www.hayatulislam.net/persoalan-seputar-mazhab.html diakses tanggal 25 September
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar