“Dan di antara tanda-tanda
kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di
antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” [Ar-Rum : 21]
BAB I PENDAHULUAN
Namun kenyataannya banyak terjadi dalam kehidupan
berkeluarga timbul masalah-masalah yang mendorong seorang isteri melakukan
gugatan cerai (Khulu) dengan segala alasan. Fenomena ini banyak terjadi dalam
media massa, sehingga diketahui khalayak ramai. Yang pantas disayangkan, mereka
tidak segan-segan membuka rahasia rumah tangga, hanya sekedar untuk bisa
memenangkan gugatan,. Padahal, semestinya persoalan gugatan cerai ini harus
dikembalikan kepada agama, dan menimbangnya dengan Islam karna dengan
demikianlah, kita semua dapat ber-Islam dengan kaffah (sempurna dan
menyeluruh). Oleh karena itu, kami selaku mahasiswa fakultas syari’ah dan Hukum
akan sedidikit memaparkan mengenai permasalahan-permasalahan tentang khulu’,
sebab-sebab seseorang melakukan khuluk dan sebagainya.
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Khulu’
Menurut bahasa, kata khulu’ berasal dari khala’
ats-tsauba idzaa azzalaba yang artinya melepaskan pakaian; karena isteri adalah
pakaian suami dan suami adalah pakaian isteri. Allah SWT berfirman, ”Mereka itu
adalah pakaian bagimu dan kamu pun pakaian bagi mereka.” (Al-Baqarah:187). Para
pakar fiqih memberi definisi bahwa khulu’ adalah seorang suami menceraikan
isterinya dengan imbalan mengambil sesuatu darinya. Dan khulu’ disebut juga
fidyah atau if tidak (tebusan) karena istri menebus dirinya dari suaminya
dengan mengembalikan apa yang diterimanya.
Sedangkan menurut pengertian syari’at, para ulama
mengatakan dalam banyak defenisi, yang semuanya kembali kepada pengertian,
bahwasanya Al-Khulu ialah terjadinya perpisahan (perceraian) antara sepasang
suami-isteri dengan keridhaan dari keduanya dan dengan pembayaran diserahkan
isteri kepada suaminya . Adapaun Syaikh Al-Bassam berpendapat, Al-Khulu ialah
perceraian suami-isteri dengan pembayaran yang diambil suami dari isterinya,
atau selainnya dengan lafazh yang khusus. Dengan demikian khulu’ menurut
istilah syara’ adalah perceraian yang diminta oleh istri dari suaminya dengan
memberikan ganti sebagai tebusannya.
Di antara dalil adanya Khulu' adalah dalil-dalil
berikut ini:
عن ابن عباس
أن امرأة ثابت بن قيس أتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله, ثابت بن
قيس ما أعيب عليه فى خلق ولا دين, ولكنى أكره الكفر فى الإسلام, فقال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: ((أتردين عليه حديقه)), فقالت: نعم, فرددت عليه فقال رسول
الله صلى الله عليه وسلم: ((اقبل الحديقة وطلقها تطليقة)) [رواه البخارى]
Artinya: "Dari Ibnu Abbas, bahwasannya isteri
Tsabit bin Qais datang kepada Nabi saw sambil berkata: "Ya Rasulullah,
Saya tidak mendapati kekurangan dari Tsabit bin Qais, baik akhlak maupun
agamanya. Hanya saja, saya takut saya sering kufur (maksudnya kufur, tidak
melaksanakan kewajiban kepada suami dengan baik) dalam Islam. Rasulullah saw
lalu bersabda: "Apakah kamu siap mengembalikan kebunnya?" Wanita itu
menjawab: "Ya, sanggup. Saya akan mengembalikan kebun itu kepadanya".
Rasulullah saw lalu bersabda (kepada Tsabit): "Terimalah kebunnya itu dan
ceraikan dia satu kali cerai". (HR. Bukhari).
B Hukum Khulu'
Para ulama Fiqh mengatakan bahwa Khulu' itu mempunyai
tiga hukum tergantung kondisi dan situasinya. Ketiga hukum dimaksud adalah:
1. Mubah
Isteri boleh-boleh saja untuk mengajukan Khulu'
manakala ia merasa tidak nyaman apabila tetap hidup bersama suaminya, baik
karena sifat-sifat buruk suaminya, atau dikhawatirkan tidak memberikan
hak-haknya kembali atau karena ia takut ketaatan kepada suaminya tidak
menyebabkan berdiri dan terjaganya ketentuan-ketentuan Allah. Dalam kondisi
seperti ini, Khulu' bagi si isteri boleh dan sah-sah saja, sebagaimana firman
Allah:
فَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ
بِهِ (البقرة: 229)
Artinya: "Jika kamu khawatir bahwa keduanya
(suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa
atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya"
(QS. Al-Baqarah: 229).
Demikian juga berdasarkan hadits berikut ini:
عن ابن عباس
أن امرأة ثابت بن قيس أتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله, ثابت بن
قيس ما أعيب عليه فى خلق ولا دين, ولكنى أكره الكفر فى الإسلام, فقال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: ((أتردين عليه حديقه)), فقالت: نعم, فرددت عليه فقال رسول
الله صلى الله عليه وسلم: ((اقبل الحديقة وطلقها تطليقة)) [رواه البخارى]
Artinya: "Dari Ibnu Abbas, bahwasannya isteri
Tsabit bin Qais datang kepada Nabi saw sambil berkata: "Ya Rasulullah,
Saya tidak mendapati kekurangan dari Tsabit bin Qais, baik akhlak maupun
agamanya. Hanya saja, saya takut saya sering kufur (maksudnya kufur, tidak
melaksanakan kewajiban kepada suami dengan baik) dalam Islam. Rasulullah saw
lalu bersabda: "Apakah kamu siap mengembalikan kebunnya?" Wanita itu
menjawab: "Ya, sanggup. Saya akan mengembalikan kebun itu kepadanya".
Rasulullah saw lalu bersabda (kepada Tsabit): "Terimalah kebunnya itu dan
ceraikan dia satu kali cerai". (HR. Bukhari).
2. Haram.
Khulu'' bisa haram hukumnya apabila dilakukan dalam dua
kondisi berikut ini:
1) Apabila si isteri meminta Khulu' kepada suaminya
tanpa ada alasan dan sebab yang jelas, padahal urusan rumah tangganya baik-baik
saja, tidak ada alasan yang dapat dijadikan dasar oleh isteri untuk mengajukan
Khulu'. Hal ini didasarkan kepada firman Allah berikut ini:
وَلَا
يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ
يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا
حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ (البقرة: 229).
Artinya: " Tidak halal bagi kamu mengambil
kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau
keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu
khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh
istri untuk menebus dirinya" (QS. Al-Baqarah: 229).
عن ثوبان قال
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((أيما امرأة سألت زوجها طلاقا فى غير ما بأس,
فحرام عليها رائحة الجنة)) [رواه أبو داود وابن ماجه وأحمد]
Artinya: "Tsauban berkata, Rasulullah saw
bersabda: "Wanita yang mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa
alasan yang jelas, maka haram baginya untuk mencium wangi surta" (HR. Abu
Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).
2) Apabila si suami sengaja menyakiti dan tidak
memberikan hak-hak si isteri dengan maksud agar si isteri mengajukan Khulu',
maka hal ini juga haram hukumnya. Apabila Khulu' terjadi, si suami tidak berhak
mendapatkan dan mengambil 'iwadh, uang gantinya karena maksudnya saja sudah
salah dan berdosa. Dalam hal ini Allah berfirman:
وَلَا
تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ
يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ (النساء: 19).
Artinya: "Dan janganlah kamu menyusahkan
mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu
berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata"
(QS. An-Nisa: 19).
Namun, apabila si suami berbuat seperti di atas
lantaran si isteri berbuat zina misalnya, maka apa yang dilakukan si suami
boleh-boleh saja dan ia berhak mengambil 'iwadh tersebut.
3. Sunnah
Khulu' juga bisa sunnah hukumnya apabila, menurut
Hanabilah, si suami tidak melaksanakan hak-hak Allah, misalnya si suami sudah
tidak pernah melaksanakan shalat wajib, puasa Ramadhan atau yang lainnya, atau
apabila si suami melakukan dosa besar, seperti berzina, nyandu dengan obat-obat
terlarang dan lainnya. Sebagian ulama lainnya menilai bahwa untuk kondisi
seperti ini, Khulu' bukan lagi sunnah, akan tetapi wajib hukumnya.
C. Rukun Khulu'
Khulu' dapat dipandang sah dan jatuh, apabila memenuhi
persyaratan rukun-rukunnya. Yang termasuk rukun Khulu' ada empat, yaitu suami
(al-mukhala', yang diKhulu'), isteri (al-mukhtali'ah, yang mengKhulu'), shigat
Khulu' dan iwadh, atau uang tebusan, uang ganti.
1. Al-mukhala' (yang diKhulu' yaitu suami)
Para ulama sepakat bahwasannya orang yang diKhulu''
atau suami hendaknya orang yang mempunyai hak untuk mentalak. Dalam hal ini ada
kaidah yang mengatakan: "man jaza thalakuhu, jaza Khulu' uh (Barangsiapa
yang boleh mentalak, boleh juga untuk mengKhulu' nya)".
2. Al-mukhtali'ah (wanita yang mengKhulu', yakni
isteri)
Bagi isteri yang hendak mengKhulu'' disyaratkan
hal-hal berikut:
1). Hendaknya dia itu adalah isterinya yang sah secara
syar'i. Hal ini karena Khulu' bertujuan untuk mengkahiri ikatan pernikahan,
maksudnya posisinya sebagai isteri. Ikatan ini baru dapat pudar manakala
dihasilkan dari pernikahan yang sah. Apabila dari pernikahan yang tidak sah,
maka si isteri tidak ada hak untuk mengajukan Khulu'.
Persoalan berikutnya adalah apakah wanita yang sedang
dalam masa Iddah boleh mengajukan Khulu'? Untuk hal ini ada dua keadaan:
- Apabila wanita tersebut sedang dalam masa Iddah karena Thalak Raj'i, maka wanita tersebut diperbolehkan mengajukan Khulu', lantaran wanita yang sedang dalam masa Iddah Talak Raj'i masih dipandang sebagai isterinya yang sah dan karenanya, ia diperbolehkan untuk mengajukan Khulu' dengan jalan membayar sejumlah 'iwadh.
- Apabila wanita tersebut sedang dalam masa Iddah Thalak Ba'in, maka tidak diperbolehkan mengajukan Khulu'. Apabila tetap mengajukan, maka Khulu' nya menjadi tidak sah. Hal ini lantaran dia sudah dipandang sebagai orang lain dan sudah dipandang tidak ada lagi ikatan pernikahan. Karena tidak ada lagi ikatan pernikahan, maka tidak dapat mengajukan Khulu'' dan Khulu'' hanya terjadi bagi mereka yang masih terikat dalam ikatan suami isteri. Demikian menurut Madzhab Syafi'iyyah dan Hanabilah.
Sedangkan menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah, wanita
yang sedang dalam masa Iddah Talak Ba'in diperbolehkan untuk mengajukan Khulu'.
Namun, pendapat pertama tentu lebih kuat dan lebih mendekati kepada kebenaran.
2). Isteri yang mengajukan Khulu' hendaknya orang yang
dipandang sah untuk melaksanakan tasharruf (penggunaan) harta juga dipandang
sah untuk berderma. Hal ini dengan melihat wanita tersebut sudah baligah,
berakal dan dapat dipercaya. Apabila wanita tersebut belum baligh atau orang
yang tidak waras akalnya, maka Khulu'nya tidak sah. Karena baik orang gila
maupun anak kecil bukan termasuk orang yang dipandang sah untuk melakukan derma
dan menggunakan hartanya.
3. 'Iwadh (Uang ganti)
'Iwadh adalah sejumlah harta yang diambil oleh suami
dari isterinya karena si isteri mengajukan Khulu'. Syarat dari iwadh ini
hendaknya harta tersebut layak untuk dijadikan sebagai mas kawin. Semua hal
yang dapat dijadikan mas kawin, maka dapat pula dijadikan sebagai Iwadh dalam
Khulu' (ma jaza an yakuna mahran, jaza an yakuna badalal Khulu').
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Menurut
Hanafiyyah dan Malikiyyah, Khulu' sah meskipun tidak memakai 'iwadh misalnya si
isteri mengatakan: "Khulu'lah saya ini", lalu si suami mengatakan:
"Saya telah mengKhulu' kamu", tanpa menyebutkan adanya iwadh. Di
antara alasannya adalah:
- Khulu' adalah pemutus pernikahan, karenanya boleh-boleh saja tanpa iwadh sebagaimana talak yang tidak memakai iwadh.
- Pada dasarnya, Khulu' ini terjadi lantaran si isteri sudah sangat membenci suaminya lantaran perbuatan suaminya itu sehingga ia memintanya untuk menceraikannya. Ketika si isteri meminta untuk diKhulu', lalu si suami mengabulkannya, maka hal demikian sah-sah saja meskipun tidak memakai iwadh.
Sedangkan menurut Madzhab Syafi'i, Dhahiriyyah dan
yang lainnya, bahwa Khulu' tidak sah kecuali harus memakai iwadh. Di antara
dalil dan alasannya adalah:
- Dalam firmanNya, Allah mengaitkan Khulu' ini dengan tebusan sebagaimana firmanNya yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 229: "Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya". Ini menunjukkan bahwa memang Khulu'' itu harus memakai iwadh.
- Ketika isteri dari Tsabit bin Qais hendak melakukan Khulu', Rasulullah saw memintanya untuk mengembalikan kebunnya. Ini sebagai syarat bahwa Khulu' baru sah manakala memakai iwadh
Dari kedua pendapat di atas, penulis lebih condong
untuk mengambil pendapat kedua bahwa Khulu' hanya sah apabila memakai iwadh.
Hal ini lantaran sepengetahuan penulis tidak ada nash baik dari ayat al-Qur'an
maupun dari hadits yang membolehkan praktek Khulu' tanpa memakai iwadh.
4. Shigat Khulu'
Shigat Khulu' maksudnya adalah kata-kata yang harus
diucapkan sehingga terjadinya akad Khulu'. Shigat ini mencakup dua hal, Ijab
dari salah satu pihak dan Qabul dari pihak lainnya. Dengan demikian, Shigat
Khulu' ini adalah kata-kata yang dapat digunakan sebagai Ijab Qabul dalam
Khulu'. Pada dasarnya, Shigat ini harus dengan kata-kata. Namun, untuk kondisi
yang tidak memungkinkan, seperti karena bisu misalnya, maka shigatnya boleh
dengan isyarat yang dapat dipahami.
D. Masa Iddah wanita yang mengajukan
Khulu' (al-mukhtali'ah)
Dalam hal ini para ulama terbagi kepada dua pendapat.
Menurut Jumhur ulama, Iddah wanita yang mengajukan Khulu' sama dengan Iddahnya
wanita yang ditalak yaitu tiga kali quru', tiga kali haid. Di antara dalilnya
adalah:
1. Khulu' adalah talak dan karenanya masuk ke dalam
keumuman ayat berikut ini:
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ (البقرة: 228)
Artinya: "Wanita-wanita yang ditalak handaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru'" (QS. Al-Baqarah: 228).
2. Khulu' adalah perceraian setelah dukhul, maka
Iddahnya adalah tiga kali haid sebagaimana dengan yang selain Khulu'.
3. Dalam sebuah riwayat dikatakan:
عن نافع عن
ابن عمر قال: ((عدتها أي المختلعة, عدة المطلقة)) [رواه مالك بسند صحيح]
Artinya: Dari Nafi' dari Ibn Umar berkata:
"Iddahnya wanita yang mengajukan Khulu' sama dengan Iddahnya wanita yang
ditalak (yaitu tida kali haid)" (HR. Malik dengan sanad Shahih).
Pendapat kedua mengatakan bahwa Iddahnya adalah satu
kali haid. Pendapat ini adalah pendapatnya Utsman bin Affan, Ibn Umar, Ibn
Abbas, Ibn Taimiyyah dan yang lainnya. Di antara alasannya adalah:
1. Dalam sebuah riwayat dikatakan:
عن الربيع
بنت معوذ قالت: اختلعت من زوجى ثم جئت عثمان فسألته: ماذا علي من العدة؟ فقال:
((لا عدة عليك إلا أن تكونى حديثة عهد به فتمكثى حتى تحيضى حيضة)) [رواه ابن أبي
شيبة بسند صحيح]
Artinya: "Dari ar-Rabi' bint Mu'awwadz berkata:
"Saya mengajukan Khulu' dari suami saya. Lalu saya datang kepada Utsman
bin Affan sambil bertanya: "Apa Iddah saya?" Utsman menjawab:
"Tidak ada Iddah bagi kamu kecuali jika kamu tidak menikah lagi dengannya
(dengan suaminya itu), maka tinggallah (ber-Iddahlah) selama satu kali
haid)" (HR. Ibn Abi Syaibah dengan sanad Shahih).
2. Demikian juga dengan riwayat berikut:
ولابي داودوالترمدي,
وحسنه:أن امرأة ثابت بن قيس اختلعت منه فجعل النبي صلى الله عليه وسلم عدتها حيضة
[رواه أبو داود بسند حسن]
Artinya: "dan Bagi Abu Dawud dan Tirmidzi dan ia
hasankan, bahwasannya isteri Tsabit bin Qais mengajukan Khulu'' dari suaminya.
Rasulullah saw lalu menjadikan Iddahnya satu kali haid" (HR. Abu Dawud
dengan sanad Hasan).
3. Ibnu Qayyim dalam hal ini berkata dalam bukunya
Zadul Ma'ad (V/197): "Iddah wanita yang mengajukan Khulu' satu kali haid,
ini lebih mendekati kepada maksud syara. Karena Iddah itu dijadikan tiga kali
haid dengan maksud untuk memperpanjang kesempatan untuk rujuk, sehingga si
suami dapat merujuknya selama masa Iddah tadi. Apabila sudah tidak ada
kesempatan untuk rujuk, maka maksudnya adalah untuk membersihkan rahim saja
(bara'atur rahm) dari kehamilan, dan hal itu cukup dengan satu kali haid
saja".
E. Kedudukan Khulu’
Jumhur Fuqoha berpendapat bahwa Khulu adalah talak
ba’in, karena apabila suami dapat merujuk istrinya pada masa iddah, maka
penebusannya itu tidak akan berarti lagi. pendapat ini dikemukakan pula oleh
imam Malik. Abu hanifah menyamakan Khulu’ dengan talak dan fasakh secara
bersamaan. Sedangkan imam syafi’I berpendapat bahwa khulu’ adalah Fasakh
pendapat ini juga dikemukakan Ahmad dan Dawud dan sahabat Ibnu Abbas r.a.
Diriwayatkan pula dari syaf’I bahwa khulu itu adalah kata-kata sindiran. Jadi,
jika dengan kata-kata sindiran itu suami menghendaki talak, maka talakpun jadi,
dan jika tidak maka menjadi fasakh. Tetapi dalam dalam pendapat barunya
(al-qaul al-jadid) ia menyatakan bahwa khulu’ itu talak.
Abu Tsaur berpendapat bahwa apabila khulu’ tidak
menggunakan kata-kata talak, maka suami tidak dapat merujuk istrinya, sedang
apabila khulu’ tersebut menggunakan kata-kata talak, maka suami dapat merujuk
istrinya. Fuqaha yang menganggap khulu’ sebagai talak mengemukakan alasan,
bahwa fasakh itu tidaklain merupakan perkara yang menjadikan suami sebagai
pihak yang kuat dalam pemutusan ikatan perkawinan tetapi tidak berasal dari
kehendaknya. Sedangkan khulu’ ini berpangkal pada kehendak, oleh karenya
khulu’itu bukan fasakh.
Adapun fuqaha yang tidak menganggap khulu’ sebagai
talak mengemukakan alasan bahwa dalam Al-Qur’an mula-mula Alloh menyebutkan
tentang talak:
الطلاق
مرتان. (البقرة: ۲۲۹)
Artinya: “talak yang dapat dirujuk itu dua kali”.
(Q.S. albaqarah: 2290
Kemudian Alloh menyebutkan tentang tebusan (Khulu’),
dan selanjutnya berfirman:
Artinya: “kemudian jika si suami mentalaknya
(sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga
Dia kawin dengan suami yang lain.” (Q.S. Albaqarah : 230).
Jika tebusan tersebut adalah talak, berarti yang
menyebabkan istri tidak halal lagi bagi suami, kecuali sesudah ia kawin lagi
dengan lelaki yang lain itu menjadi talak keempat. Mereka berpendapat bahwa
fasakh itu dapat terjadi dengan suka sama suka karena disamakan denga fasakh
dalam jual beli, yakni kegagalan atau pengunduran diri. Jadi jelaslah bahwa
Khulu’ Adalah Fasakh, Bukan Talak, Jika seorang isteri telah menebus
dirinya dan dicerai oleh suaminya. Maka ia berkuasa penuh atas dirinya sendiri,
sehingga suaminya tidak berhak untuk rujuk kepadanya, kecuali dengan ridhanya
dan perpecahan tidak dianggap sebagai talak meskipun dijatuhkan dengan redaksi
talak. Namun ia adalah perusakan akad nikah demi kemaslahatan sang isteri
dengan balasan menebus dirinya kepada suaminya.
Ibnul Qayyim r.a. menulis sebagai berikut, ”Dan
yang menunjukkan khulu’ bukan talak adalah bahwa Allah SWT telah menetapkan
tiga ketentuan yang berlaku pada talak terhadap (isteri) yang telah dikumpuli
jika talak tersebut telah mencapai talak tiga. Ketetapan-ketetapan itu, tidak
pada khulu’.
Pertama: Suamilah yang lebih berhak rujuk kepada
isterinya dalam masa iddah. Kedua: Talak maksimal tiga kali, sehingga setelah
terjadi talak ketiga, isteri tidak halal bagi suaminya, terkecuali ia kawin
lagi dengan suami kedua dan pernah bercampur dengannya. Ketiga: Iddah yang
berlaku dalam talak terdiri atas tiga kali quru’ (bersih dari iddah).
Sementara itu, telah sah berdasarkan nash (ayat Qur-an
ataua hadits) dan ijma’ (kesepatakan) bahwasanya tidak sah istilah rujuk dalam
khulu’. Dan, sudah sah berdasar sunnah Nabi saw dan pendapat para shahabat
bahwa iddah untuk khulu’ hanya satu kali haidh. Demikian pula telah sah juga
berdasar nash syar’i bahwa boleh melakukan khulu’ setelah talak kedua dan talak
ketiga. Ini jelas sekali menunjukkan bahwa khulu’ bukanlah talak. Oleh sebab
itu Allah SWT menegaskan, ”Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu
boleh rujuk lagi dengan Cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik
dan tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang pernah kami
berikan pada mereka kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
melaksanakan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri)
tidak dapat mejalangkan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.”
(Al-Baqarah:229).
Dan ini tidak dikhususkan bagi wanita yang telah
ditalak dua kali, karena hal ini ia mencakup isteri yang dicerai dua kali.
Tidak boleh dhamir (kata ganti). Itu kembali kepada oknum, yang tidak
disebutkan dalam ayat di atas dan meninggalkan oknum yang disebutkan dengan
jelas akan tetapi mungkin dikhususkan bagi oknum yang pernah disebutkan
sebelumnya atau meliputi juga selain yang sudah disebutkan sebelumnya. Kemudian
Allah SWT berfirman, ”Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang
kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya.” (Al-Baqarah:230).
Ayat al-Qur’an ini meliputi perempuan yang dicerai
setelah khulu’ dan setelah dicerai, dua kali secara qath’i (pasti) karena
dialah yang disebutkan dalam ayat di atas. Maka ia (wanita yang di khulu’)
harus masuk ke dalam kandungan lafazh ayat tersebut. Demikianlah yang difahami
Imam Ahli tafsir Ibnu Abbas r.a. yang pernah dido’akan oleh Rasulullah saw.
agar Allah mengajarinya tafsir Qur’an. Dan pasti doa itu terkabul, tanpa
keraguan. Manakala hukum-hukum yang berlaku dalam khulu’ berlainan dengan
hukum-hukum talak maka hal itu menunjukkan bahwa keduanya berlainan. Jadi
inilah yang sesuai dengan ketentuan na’ah, qiyas, dan dengan pendapat para
shahabat Nabi saw. (Zaadul Ma’ad V:199).
BAB III KESIMPULAN
Menurut bahasa, kata khulu’ berasal dari khala’
ats-tsauba idzaa azzalaba yang artinya melepaskan pakaian; karena isteri adalah
pakaian suami dan suami adalah pakaian isteri. Allah SWT berfirman, ”Mereka itu
adalah pakaian bagimu dan kamu pun pakaian bagi mereka.” (Al-Baqarah:187). Para
pakar fiqih memberi definisi bahwa khulu’ adalah seorang suami menceraikan
isterinya dengan imbalan mengambil sesuatu darinya. Dan khulu’ disebut juga
fidyah atau if tidak (tebusan) karena istri menebus dirinya dari suaminya
dengan mengembalikan apa yang diterimanya.
Khulu ialah terjadinya perpisahan (perceraian) antara
sepasang suami-isteri dengan keridhaan dari keduanya dan dengan pembayaran
diserahkan isteri kepada suaminya . Para ulama Fiqh mengatakan bahwa Khulu' itu
mempunyai tiga hukum tergantung kondisi dan situasinya. Ketiga hukum dimaksud
adalah: mubah, haram dan sunnah, tergantung keadaan yang menyebabkan seseorang
mengajikan khulu’. Khulu' dapat dipandang sah dan jatuh, apabila memenuhi
persyaratan rukun-rukunnya. Yang termasuk rukun Khulu' ada empat, yaitu suami
(al-mukhala', yang diKhulu'), isteri (al-mukhtali'ah, yang mengKhulu'), shigat
Khulu' dan iwadh, atau uang tebusan, uang ganti. Menurut Jumhur ulama, Iddah
wanita yang mengajukan Khulu' sama dengan Iddahnya wanita yang ditalak yaitu
tiga kali quru', tiga kali haid, Pendapat kedua mengatakan bahwa Iddahnya
adalah satu kali haid. Pendapat ini adalah pendapatnya Utsman bin Affan, Ibn
Umar, Ibn Abbas, Ibn Taimiyyah dan yang lainnya.
Daftar Pustaka
- Fiqhus Sunnah II:253, Manarus Sabil II:226 dan Fathul Bari IX:395.
- Shahih Fiqhis Sunnah, 3/340
- Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/468
- Slamet Abidin, Aminudin, Fiqih Munakahat 2, CV Pustaka Setia Bandung, 1999. Hal 86
- http://mbahrudisblog.blogspot.com/2009/05/al-khulu-gugatan-cerai-dalam-islam.html
- http://mtmcairo.multiply.com/journal/item/124/THALAK_DAN_KHULUK_DALAM_FIQIH_ISLAM
- Terjemah Bulughul Maram, A Hasan, CV Dipenogoro Bandung, Hal 527.
- Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Analisa fiqh Para Mujtahid. Jilid 2. Dar Al-Jill, Beirut, hal 599
- http://alislamu.com/index.php?option=com_content&task=view&id=440&Itemid=21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar