BAB I
PENDAHULUAN
A.
|
LATAR
BELAKANG
Secara
sosiologis, hukum merupakan refleksi tata nilai yang diyakini oleh masyarakat
sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Hal ini
berarti, bahwa muatan hukum itu seharusnya mampu menangkap aspirasi
masyarakat yang tumbuh dan berkembang, bukan hanya bersifat kekinian, namun
juga menjadi acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi dan
politik di masa depan.[1]
Dengan demikian, hukum itu
tidak hanya sebagai norma statis yang hanya mengutamakan kepastian dan
ketertiban, namun juga berkemampuan untuk mendinamisasikan pemikiran serta
merekayasa perilaku masyarakat dalam menggapai cita-cita.
Dalam perspektif Islam,
hukum akan senantiasa berkemampuan untuk mendasari dan mengarahkan berbagai
perubahan sosial masyarakat. Hal ini mengingat, bahwa hukum Islam[2]
itu mengandung dua dimensi :
|
|
1.
|
Hukum Islam dalam kaitannya dengan syari'at[3]
yang berakar pada nash qath'i berlaku universal dan menjadi asas
pemersatu serta mempolakan arus utama aktivitas umat Islam sedunia.
|
|
2.
|
Hukum Islam yang berakar pada nas zhanni yang merupakan wilayah ijtihadi
yang produk-produknya kemudian disebut dengan fiqhi.[4]
|
|
Dalam
pengertiannya yang kedua inilah, yang kemudian memberikan kemungkinan
epistemologis hukum, bahwa setiap wilayah yang dihuni umat Islam dapat
menerapkan hukum Islam secara berbeda-beda,[5] sesuai
dengan konteks permasalahan yang dihadapi.
Di
Indonesia, sebagaimana negeri-negeri lain yang mayoritas penduduknya beragama
Islam, keberdayaannya telah sejak lama memperoleh tempat yang layak dalam
kehidupan masyarakat seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, dan
bahkan pernah sempat menjadi hukum resmi Negara.[6]
Setelah
kedatangan bangsa penjajah (Belanda) yang kemudian berhasil mengambil alih
seluruh kekuasaan kerajaan Islam tersebut, maka sedikit demi sedikit hukum
Islam mulai dipangkas, sampai akhirnya yang tertinggal-selain ibadah-hanya
sebagian saja dari hukum keluarga (nikah, talak, rujuk, waris) dengan Pengadilan
Agama sebagai pelaksananya.[7]
Meskipun demikian, hukum
Islam masih tetap eksis, sekalipun sudah tidak seutuhnya. Secara sosiologis
dan kultural, hukum Islam tidak pernah mati dan bahkan selalu hadir dalam
kehidupan umat Islam dalam sistem politik apapun, baik masa kolonialisme
maupun masa kemerdekaan serta sampai masa kini.
Berdasarkan hal tersebut, wacana yang dikembangkan
dalam pemikiran keislaman menjadi kurang empiris dan mengakibatkan
terbengkalainya sederet nomenklatur permasalahan sosial-politik yang terjadi
di masyarakat, yang telah menggerakkan Soekarno untuk ikut memberikan kritik
terhadap kerangka pikir yang selama ini dipakai oleh para ulama. Kungkungan
pola pikir para ulama yang berpacu pada fahm-u‘l-‘ilm li ‘l-inqiyâd ketika
memahami doktrin hukum Islam yang terdapat di dalam khazanah literatur klasik
membuat eksistensi hukum Islam tampak resisten, tidak mampu mematrik diri,
dan sebagai konsekuensinya ia menjadi panacea bagi persoalan sosial-politik.
Para ulama secara umum telah melupakan sejarah dan menganggap bahwa
mempelajari sejarah tidaklah begitu penting sehingga kritik atas dimensi ini
menjadi tidak ada.
Dengan demikian, pandangan mereka terhadap fiqh
adalah sebagai kebenaran ortodoksi mutlak, yang absolutitasnya menutup kritik
dan pengembangan, dan bukan sebagai pemikiran yang yang bersifat nisbi, yang
membutuhkan kritik dan pengembangan. Maka, perlulah sebuah pemikiran dan
pandangan baru yang dapat menggeser paradigma dari pola fahm-u ‘l-‘ilm li
‘l-inqiyâd ke pola fahm-u ‘ilm li ‘l-intiqâd.
Dari titik
berangkat kenyataan sosial dan politik seperti itulah pemikiran fiqh
Indonesia hadir, ia terus mengalir dan salah satunya disosialisasikan oleh Hasbi
Ash-Shiddieqy .
|
||
B.
|
RUMUSAN MASALAH
|
|
1.
|
Bagaimana
biografi dari TM. Hasbi Ash Shiddieqy?
|
|
2.
|
Bagaimana
ide pemikiran TM. Hasbi Ash Shiddieqy tentang hukum Islam di Indonesia?
|
|
3.
|
Bagaimana
metode istimbath hukum TM. Hasbi Ash Shiddieqy?
|
|
C.
|
TUJUAN
|
|
1.
|
Mengetahui biografi dari TM. Hasbi Ash Shiddieqy
|
|
2.
|
Untuk Mengetahui ide pemikiran TM. Hasbi Ash Shiddieqy tentang hukum
Islam di Indonesia
|
|
3.
|
Mengetahui metode istimbath hukum TM. Hasbi Ash Shiddieqy
|
BAB II
PEMBAHASAN
A.
|
Biografi
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy
Nama
lengkap dia Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. Dia lahir
di Lhoksumawe pada 10 Maret 1904 dan berasal dari keluarga
ulama-pejabat. Nama belakangnya, memang dinisbahkan kepada Abubakar
Ash-Shiddiq R.A. dan -menurut silsilahnya- Hasbi adalah keturunan ke-37.
Mulai usia
delapan tahun dia sudah nyantri di berbagai pesantren di Aceh. Hasbi pernah
menjadi murid Syaikh Al-Kalali, tokoh pembaharu asal Singapura. Lewat
Al-Kalali, Hasbi mendapat kesempatan ‘berkenalan’ dengan kitab-kitab para
ulama seperti Fatawa karya Ibnu Taimiyah dan Zâdul Ma’âd karya Ibnu Qayyim.
Hasbi lalu
ke Surabaya belajar kepada Syaikh Ahmad as-Surkati, di Al-Irsyad. Dia di
kelas takhasus selama satu setengah tahun. Di periode ini dia berkesempatan
melihat kiprah kaum pembaharu di Jawa yang bergerak secara terorganisasi.
Hasbi
tumbuh menjadi seorang pemikir yang berkelas. Pada 1957, Hasbi ke Pakistan
menghadiri International Islamic Colloquium yang diselenggarakan University
of Punjab. Dia menyampaikan makalah dalam bahasa Arab: ”Sikap Islam terhadap
Ilmu Pengetahuan”.
Bisa
dibilang Hasbi berbeda dengan rata-rata intelektual Muslim Indonesia.
Kecemerlangan intelektualitas mereka -antara lain bisa dimaknai dengan
penyampaian ide-ide pembaharuan baru terlihat setelah mereka pulang dari
berhaji atau belajar di Timur Tengah. Tapi, sampai wafat pada 9 Desember
1975, Hasbi belum berkesempatan berhaji dan menuntut ilmu di Timur Tengah.
(Catatan: Dia meninggal di Asrama Haji Jakarta, sesaat sebelum berangkat
berhaji).
Dalam
mengusung ide-ide pembaharuan, Hasbi tampak berani menantang arus. Sikapnya
yang tegas, menyebabkan dia dimusuhi, diasingkan, bahkan ditahan oleh pihak
yang tidak sepaham.Ada contoh pengalaman pahit. Di awal kemerdekaan, Hasbi
ditahan oleh Gerakan Revolusi Sosial di Lembah Burnitelong dan Takengon
selama satu tahun lebih, tanpa alasan jelas. Hasbi tidak pernah diinterogasi
maupun diadili. Tapi, ”Ada kemungkinan karena sikap pembaharuannya,” tulis
www.unmuha.ac.id, situs milik Universitas Muhammadiyah Aceh ’edisi’
7/11/2011.
Masih di
situs yang sama, di tahanan Hasbi berhasil menyelesaikan buku Al-Islam
setebal 1.404 halaman dalam dua jilid. Buku ini diterbitkan pada 1951 dan
terus dicetak ulang.
Dalam
meyakini kebenaran, Hasbi bisa tampil seperti ‘manusia bebas’. Dalam arti,
jika sedang membahas sebuah masalah, bisa saja dia berdialog, berdebat, atau
berpolemik dengan kawan-kawan seorganisasinya (dalam hal ini Muhammadiyah dan
PERSIS). Dia merasa tidak terbebani oleh pendapat organisasi tempat dia
bergabung. Bahkan, berani pula dia berbeda pendapat dengan jumhur ulama, satu
sikap langka di saat itu.
Hasbi
produktif menulis. Lebih dari 70 judul buku di berbagai bidang (seperti
tafsir, hadits, fiqh, dan pedoman ibadah) telah ditulisnya. Sebagian
buku-buku itu masih terus dicetak ulang hingga kini.
|
|
B.
|
Ide Pemikiran
TM. Hasbi Ash Shiddieqy tentang Hukum Islam di Indonesia
Pada masa
awal persiapan kemerdekaan Republik Indonesia, perbincangan tentang hukum
Islam dari aspek fiqh semakin surut karena semua umat Islam disibukkan dengan
pembentukkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, kesibukkan
tersebut tidak pernah membuat Hasbi ikut terlena untuk melupakan agenda
pembaruan hukum Islam di Indonesia kendatipun banyak para pembaru Muslim di
masanya yang mendirikan organisasi-organisasi kemsyarakatan (Ormas).
Menurutnya,
hukum Islam harus mampu menjawab persoalan-persoalan baru, khususnya dalam
segala cabang dari mu‘âmalah, yang belum ada ketetapan hukumnya. Ia harus
mampu hadir dan bisa berpartisipasi dalam membentuk gerak langkah kehidupan
masyarakat. Para ulama (lokal) dituntut untuk memiliki kepekaan terhadap
kebaikan (sense of mashlahah) yang tinggi dan kreatifitas yang penuh dengan
tanggung jawab dalam upaya merumuskan alternatif fiqh baru yang sesuai dengan
situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapinya.
Nalar
pemikiran yang digunakan oleh Hasbi dengan gagasan fiqh Indonesia adalah satu
keyakinan bahwa prinsip-prinsip hukum Islam sebenarnya memberikan ruang gerak
yang lebar bagi pengembangan dan ijtihad-ijtihad baru.Menurutnya, hingga
tahun 1961, salah satu faktor yang menjadi penghambat adalah adanya ikatan
emosional yang begitu kuat (fanatik, ta‘ashshub) terhadap madzhab yang dianut
oleh umat Islam. Dan untuk membentuk fiqh baru ala Indonesia, diperlukan
kesadaran dan kearifan lokal yang tinggi dari banyak pihak, terutama ketika
harus melewati langkah pertama, yaitu melakukan refleksi historis atas
pemikiran hukum Islam pada masa awal perkembangannya. Perspektif ini
mengajarkan bahwa hukum Islam baru bisa berjalan dengan baik jika ia sesuai
dengan kesadaran hukum masyarakat. Yakni, hukum yang dibentuk oleh keadaan
lingkungan atau dengan kebudayaan dan tradisi setempat (adat dan ‘urf), bukan
dengan memaksakan format hukum Islam yang terbangun dari satu konteks
tertentu kepada konteks ruang dan waktu baru. Maka, kita dapat menyimpulkan
bahwa ide fiqh Indonesia yang telah dirintis olehnya berlandaskan pada konsep
bahwa hukum Islam (fiqh) yang diberlakukan untuk umat Islam Indonesia adalah
hukum Islam yang sesuai dan memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia, selama itu
tidak bertentangan syari’at.
Salah satu
contoh kasus, adalah perdebatan Hasbi dengan A. Hasan tentang boleh tidaknya
jabat tangan antara laki-laki dan perempuan. Terlepas dari tidak adanya dalil
pasti dan alasan yang rasional tentang pengharaman jabatan tangan antara
laki-laki dan perempuan maka ia berpendapat bahwa tradisi jabat tangan antara
laki-laki dan perempuan bukan sesuatu yang berbahaya untuk dilakukan.
Ada juga
contoh kasus yang lain, TM. Hasbi Ash Shiddieqy menegaskan, bahwa sekiranya
menyetubuhi istri yang sedang beristihadah tidak dibolehkan, tentulah ada
turun wahyu kepada nabi untuk mencegah perbuatan itu, karena perbuatan itu
terjadi di zaman wahyu masih diturunkan.
Golongan
yang kedua berkata, Tuhan mencegah kita menyetubuhi perempuan yang sedang
haid, karena haid itu kotor mendatangkan penyakit. Kalau demikian maka hal
itu dapat juga berlaku pada istihadah.[8] TM.
Hasbi Ash Shiddieqy mengemukakan, sesungguhnya menetapakan keharaman sesuatu,
hendaklah dengan dalil qath'i. Sedangkan dalil qath'i yang mengharamkannya
tidak dijumpai. Di samping itu dapat juga di pahamkan bahwa kebolehan
bersenggama tersebut dari Nabi SAW setelah diwajibkannya shalat.
Kesimpulannya, bersenggama dengan istri yang heristihadah, dibolehkan. Akan
tetapi, perlu diingat soal kesehatan. Jika mengganggu kedua belah pihak atau
salah satu pihak, hendaklah dasar keharaman ini diutamakan, dalam hal
ini ada baiknya ditanyakan advis dokter.[9] Berikut
beberapa karya Hasbi :
|
|
a.
|
Koleksi
Hadis-hadis Hukum, 9 Jilid.
|
|
b.
|
Mutiara
Hadis 1 (Keimanan).
|
|
c.
|
Mutiara
Hadis 2 (Thaharah dan Shalat).
|
|
d.
|
Mutiara
Hadis 3 (Shalat).
|
|
e.
|
Mutiara
Hadis 4 (Jenazah, Zakat, Puasa, Iktikaf dan Haji).
|
|
f.
|
Mutiara
Hadis 5 (Nikah dan Hukum Keluarga, Perbudakan, Jual Beli, Nazar dan Sumpah,
Pidana dan Peradilan, Jihad).
|
|
g.
|
Sejarah
dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an.
|
|
h.
|
Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadis.
|
|
i.
|
Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir
|
|
j.
|
Islam dan
HAM (Hak Asasi Manusia): Dokumenter Politik Pokok-pokok Pikiran Partai Islam dalam
Sidang Konsituante 4 Februari 1958.
|
|
k.
|
Kriteria
Antara Sunnah dan Bid‘ah.
|
|
l.
|
Pedoman
Shalat.
|
|
m.
|
Pedoman
Puasa.
|
|
n.
|
Pedoman
Zakat.
|
|
o.
|
Pedoman
Haji.
|
|
p.
|
Tafsir
Al-Qur’an An-Nur.
|
|
Di antara karya-karya Hasbi, Tafsir Al-Qur’an An-Nur
disebut-sebut sebagai karyanya yang paling fenomenal. Disebut demikian karena
tidak banyak ulama Indonesia yang mampu menghasilkan karya tafsir semacam
itu.
Karena kepakarannya dalam ilmu hadits, pada tahun
1960 dia diangkat menjadi Guru Besar di bidang Ilmu Hadits. Sejak itu dia
juga menjadi dekan di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta
hingga tahun 1972.
Atas prestasi dan jasa-jasanya terhadap perkembangan
Perguruan Tinggi Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan keislaman di
Indonesia dia dinugerahi gelar Doktor Honoris Causa oleh Universitas Islam
Bandung (UNISBA) dan IAIN Sunan Kalijaga pada tahun yang sama, 1975.
Situs www.uin-malang.ac.id 18/11/2011 juga menyebut
Hasbi sebagai tokoh yang sangat gigih dalam memerjuangkan pendidikan Islam.
“Melihat tanah kelahiran dan sejarah hidupnya, seorang ulama yang memiliki
karya tulis sedemikian banyak itu, adalah merupakan prestasi yang
sangat luar biasa,” tulis situs Universitas Islam Negeri Malang itu.
|
||
C.
|
Metode Istimbath Hukum TM. Hasbi
Ash Shiddieqy
Metode
istinbath TM. Hasbi Ash Shiddieqy berpijak pada prinsip mashlahah mursalah,
keadilan, kemanfaatan, serta sadd-u ‘l-zarî‘ah. Semua prinsip itu, merupakan
prinsip gabungan dari setiap madzhab. Maka, untuk memberikan pemahaman yang
baik, ia menawarkan metode analogi-deduktif yaitu suatu model istinbâth hukum
yang pernah dipakai oleh Imam Abû Hanîfah untuk membahas satu permasalahan
yang tidak ditemukan ketentuan hukumnya dalam khazanah pemikiran klasik.
Dengan demikian, untuk memudahkan penerapan metode di atas, ia menggunakan
pendekatan sosial-kultural-historis dalam segala proses pengkajian dan
penemuan hukum Islam.
TM. Hasbi Ash Shiddieqy
dalam menggunakan metode istinbath hukumnya telah memposisikan
al-Qur'an sebagai basis awal dalam menentukan hukum terhadap suatu peristiwa
yang muncul di masyarakat. Jika al-Qur'an tidak menunjukkan aspek hukumnya
secara tegas, maka Hasbi menggunakan Hadits sebagai sumber hukum yang kedua.
Demikian pula manakala al-Qur'an dan Hadits tidak memberi petunjuk
secara qat’i, maka Hasbi menggunakan ijma’, qiyas, ra’yu dan urf. Ijma’
yaitu kesepakatan para mujtahid umat Islam pada suatu masa atas sesuatu
perkara hukum syara. Qiyas yaitu menghubungkan sesuatu persoalan yang tidak
ada ketentuan hukumnya di dalam nash dengan sesuatu persoalan yang telah
disebutkan oleh nash, karena di antara keduanya terdapat pertautan
(persoalan), illat hukum. Hukum
Islam yang berakar pada nas zhanni yang merupakan wilayah ijtihadi
yang produk-produknya kemudian disebut dengan fiqhi.[10] Tentang
masalah ‘urf, Hasbi menyebutkan, bahwa karena pentingnya kedudukan adat
kebiasaan dalam fikih, maka para fukaha membahas masalah urf secara
teliti. Sebab urf itu ada yang menyangkut agama di samping hanya sekadar
mengatur tertib hubungan antarmanusia, baik yang berhubungan dengan hukum
maupun yang menyangkut moral.[11]
|
BAB III
PENUTUP
A.
|
SIMPULAN
Perjalanan intelektualitas
Hasbi cukup mengesankan. Misal, dia bisa menulis banyak buku. Atau, dia bisa
menduduki jabatan sebagai Guru Besar dan membimbing banyak sarjana. Bersama
prestasinya yang lain, Hasbi layak untuk disebut pemikir besar. Hal itu
menjadi mungkin terjadi karena kepakarannya. Padahal, kita tahu, dia tak
tamat SD dan berasal dari kota yang sangat kecil. Tapi, semangat belajar yang
dipunyainyalah yang membedakannya dengan rata-rata orang.
Hasbi telah membuat sejarah. Buku-buku yang
diwariskannya, akan membuatnya ‘kekal’ lantaran buku-buku itu InsyaAllah
masih akan terus dicari dan dibaca sampai ke berbagai generasi sesudahnya.
Pikiran-pikiran Hasbi dalam menetapkan suatu hukum berpijak pada prinsip
mashlahah mursalah, keadilan, kemanfaatan, serta sadd-u ‘l-zarî‘ah, pikiran
pikiran tersebut masih akan terus dikaji oleh berbagai kalangan dan dengan
berbagai media. Hasbi masih ‘hidup’ bersama
kita dan terus memberi banyak inspirasi. Misal, “Sekalipun berasal dari kota
kecil dan dengan sarana terbatas serta lingkungan yang kerap tak bersahabat,
kita tetap berpeluang menjadi ‘orang besar’ berkontribusi untuk sebesar-besar
kemaslahatan umat manusia”.
|
|
B.
|
SARAN
Berdasarkan
berbagai uraian di atas, maka penulis memberikan saran kepada para generasi
islam bahwa prospek penerapan hukum Islam di Indonesia cukup cerah, oleh
karena itu bagi generasi islam terbuka lebar untuk menerapkan dan mengembangkan
hukum islam di Indonnesia.
Hal tersebut didasarkan pada berbagai kenyataan positif, antara lain :
|
|
1.
|
Berbagai kebijakan dan kebijaksanaan pemerintah selaku penyelenggara
Negara yang memberi peluang bagi berperannya hukum Islam.
|
|
2.
|
Telah terwujudnya berbagai
peraturan dan perundang-undangan yang membuat hukum Islam menjadi lebih eksis
sebagai sub system dalam system hukum nasional.
|
|
3.
|
Adanya
upaya yang cukup maksimal dari kalangan umat Islam dan pakar hukum Islam
melalui dakwah dan pendidikan, sehingga selain dapat lebih meningkatkan
kualitas iman juga kesadaran untuk melaksanakan hukum secara maksimal.
|
|
Sekian semoga bermanfaat bagi semuanya, jazakumullah khairul jaza.
|
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978) ;
Ali Syafie, Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Ummat, dalam Amrullah
Ahmad, Dimensi Hukum Islam ;
Amrullah Ahmad, SF. Dkk., Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum
Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1966) ;
Hasbi
Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988, cet
III),
Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia ;
Muhammad Abdul Ghani al-Bayiqani, al-Madkhal Ila Ushul al-Fiqh al-Maliki,
Beurit Libanon:
Dar Ribnan Littiba’ah wa al-Nasyr, 1968 ;
Nouruzzaman Shiddieqy, Jeram-Jeram Peradaban Muslim (Cet. I:
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996) ;
TM. Hasbi
Ash Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum, jilid I, Jakarta: PT
Magenta Bhakti Guna, 1994 ;
.
[1] Amrullah Ahmad, SF. Dkk., Dimensi Hukum Islam
Dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1966), hlm. 9
[5] Amruullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Surabaya:
Chay Press), hlm. 23
[8] TM. Hasbi Ash
Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum, jilid I, Jakarta: PT
Magenta Bhakti Guna, 1994, hlm. 192
[10] Muhammad Abdul Ghani al-Bayiqani, al-Madkhal Ila Ushul al-Fiqh al-Maliki,
(Beurit Libanon: Dar Ribnan Littiba’ah wa al-Nasyr, 1968), hlm. 107.
[11] Nourouzaman Shidiq, Fiqih Indonesia Penggagas dan Gagasannya, (Jakarta:Op.
Citra press, 2008) hlm. 124.